Rukun Keempat: Iman Kepada Para Rasul-Nya.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani dan beri’tiqad dengan i’tiqad yang bulat bahwa Allah SWT telah mengutus para Rasul-Nya kepada para hamba-Nya sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan, dan sebagai penyeru kepada agama yang haq, untuk menunjukkan manusia dan mengeluarkan mereka dari gelap-gulita kepada cahaya yang terang benderang.
Dakwah mereka adalah sebagai penyelamat bagi seluruh ummat manusia dari kesyirikan dan penyembahan berhala; dan sebagai pembersih bagi semua lapisan masyarakat dari kerusakan.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani bahwa para Rasul telah menyampaikan risalahnya (misinya), melaksanakan amanat, menasehati ummat dan mereka berjihad di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Mereka membawa risalahnya dengan mukjizat-mukjizat (mukjizat adalah suatu hal yang terjadi secara luar biasa dimana manusia biasa tidak mampu melakukannya. Allah yang menampakkannya kepada Nabi sesuai dengan misinya dan sebagai pembenar baginya. Sesungguhnya terjadi mukjizat adalah suatu hal yang mungkin terjadi. Karena Allah-lah yang menciptakan sebab-akibat, Dia mampu merubah ketentuan-Nya, maka mukjizat tersebut tidak menjadi tunduk karena sebab ketentuan sebelumnya. Tidaklah heran yang demikian itu, karena hal itu tersebut berhubngan dengan kekuasaan Allah yang tidak dibatasi oleh suatu batasan tertentu. Dia berbuat apa yang dikehendaki-Nya dengan lebih cepat dari sekejab mata. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: ‘jadilah!’ maka akan jadi.” (Yaasin: 82)) yang agung sebagai bukti kebenaran mereka. Barangsiapa mengingkari satu sari mereka, maka ia telah kafir kepada Allah Ta’ala dan semua Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya, dan bermaksud membedakan antara (keimanan kepada) Allah dan Rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan, ‘Kami beriman kepada yang sebagian dan kami kafir terhadap sebagian (yang lain)’, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) diantara yang demikian (iman atau kafir). Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir itu siksaan yang menghinakan. Orang-orang yang beriman kepada Allah dan para Rasul-Nya dan tidak membedakan-bedakan seorang pun diantara mereka. Kelak Allah akan memberikan kepada mereka pahala-nya. Dan adalah Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.” (An-Nisaa’: 150-152).
Allah telah menjelaskan hikmah diutusnya para Rasul yang mulia seraya berfirman, “(Mereka Kami utus) selaku Rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (An-Nisaa’: 165).
Allah telah mengutus para Rasul dan Nabi yang sangat banyak, diantara mereka ada yang Allah sebutkan kepada kita dalam kitab-kitabnya ataupun melalui lisan Nabi-Nya SAW. Dan ada juga yang tidak Allah kabarkan tentang mereka kepada kita. Allah Ta’ala berfirman, “Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang Rasul sebelum kamu, diantara mereka adalah yang Kami ceritakan kepada dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu…..” (Al-Mu’min: 78).
Allah juga berfirman, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap ummat (untuk menyerukan): ‘Ibadahlah Allah (saja) dan jauhilah Thaghut itu!…..” (An-Nahl: 36).
Nama-nama mereka yang tersebut dalam al-Qur-anul Karim ada dua puluh lima Rasul dan Nabi, yaitu: Adam (bapak semua manusia), Idris, Nuh (Rasul yang pertama), Hud, Shalih, Ibrahim, Luth, Ismail, Ishaq, Ya’qub, Yusuf, Syua’ib, Ayyub, Dzul Kifli, Musa, Harun, Dawud, Sulaiman, Ilyas, al-Yasa’, Yunus, Zakariya, Yahya, ‘Isa dan Muhammad sebagai penutup para Nabi dan Rasul shalawaatullaahi wa salaamuhu’alaihim ajma’iin.
Allah Ta’alah telah memuliakan sebagian para Nabi dan Rasul atas sebagian lainnya. Kaum Muslimin telah sepakat bahwa para Rasul itu lebih utama dari pada para Nabi. Setelah itu Rasul pun bertingkat-tingkat derajat keutamaannya. Di antara para Rasul dan Nabi yang paling utama adalah Ulul’Azmi, mereka adalah lima yaitu, Muhammad, Nuh, Ibrahim, Musa dan ‘Isa shalawaatullaahi wa salaamuhu’alaihim ajma’iin.
Dari Ulul ‘Azmi yang paling mulia adalah Nabi Islam, penutup para Nabi dan Rasul serta utusan rabb semesta alam, yaitu: Muhammad bin Abdullah SAW.
Allah Ta’ala berfirman, “…Tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para Nabi…. “ (Al-Ahzaab: 40).
Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani mereka seluruhnya baik yang disebut oleh Allah maupun tidak, dari yang pertama yaitu Adam as sampai Nabi terakhir, penutup dan termulia yaitu: Muhammad bin ‘Abdullah shalawaatullaahi’alaihim ajma’iin.
Beriman kepada para seluruh Rasul adalah beriman secara global, sedang beriman kepada Nabi kita Muhammad SAW harus dengan keimanan yang rinci, yang menurut ummatnya untuk ittiba’ mengikutinya dengan apa yang beliau bawa secara rinci.
Muhammad Adalah Rasulullah SAW
Beliau adalah Abu al-Qasim Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Muththalib bin Hasyim bin ‘Abdil Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu-ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bi Adnan dari anak Nabi Ismail bin Ibrahim ‘ala nabiyyina wa ‘alaihimas salaam (semoga salam terlimpah kepada Nabi kita dan kepada keluarganya)
Beliau sebagai penutup para Nabi dan Rasul. Beliau adalah Rasulullah (utusan Allah) kepada semua manusia. Beliau seorang hamba yang tidak berhak diibadah dan rasul yang tidak boleh didustakan. Beliau adalah sebaik-baik makhluk, yang paling utama dan paling mulai di antara mereka disisi Allah Ta’ala, paling tinggi derajatnya serta paling dekat kedudukannya di sisi Allah.
Beliau diutus kepada manusia dan jin dengan membawa agama yang haq dan petunjuk. Allah mengutusnya sebagai rahmat bagi alam semesta. Allah Ta’ala berfirman, “Dan tidaklah Kami mengutusmu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (Al-Anbiya’: 107).
Allah menurunkan al-Qur-an kepadanya, Dia memberikan amanah atas agama-Nya dan Dia memberikan tugas untuk menyampaikan risalah-Nya. Sungguh Allah telah memeliharanya dari kesalahan dalam menyampaikan risalah-Nya. Allah Ta’ala berfirman, “Dan tiadalah yang diucapkan itu (al-Qur-an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4).
Maka tidak sah iman seorang hamba sehingga ia beriman dengan kerasulannya dan bersaksi atas kenabiannya. Barangsiapa taat kepadanya, maka ia masuk Surga, dan sebaliknya barangsiapa durhaka kepadanya, maka pasti masuk Neraka. Allah Ta’ala berfirman, “Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (An-Nisaa’: 65)
Setiap Nabi diutus khusus untuk kaumnya saja, sedang Muhammad SAW diutus untuk seluruh manusia. Allah Ta’ala berfirman, “Dan kami tidak mengutusmu, melainkan kepada ummat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan.” ( Saba’: 28)
Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani bahwa allah Ta’ala menguatkan Nabi-Nya SAW dengan mukjizat yang nyata dan ayat-ayat yang terang:
- Diantara mukjizat-mukjizat tersebut yang paling agung adalah al-Qur-an, dimana Allah telah menantang orang-orang (Arab) yang paling fasih, ahli balaghah (sastra Arab) dan yang paling pandai berbicara.
- Dan mukjizat yang paling besar setelah al-Qur-an dimana Allah menguatkan Nabi-Nya SAW dengan mukjizat “Isra’ Mi’raj”
Maka Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani bahwa Nabi SAW dinaikkan ke langit dalam keaadan sadar dengan ruhnya dan jasadnya, hal tersebut terjadi ketika malam Isra’. Dan beliau telah diperjalan-kan pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha (Palestina) berdasarkan nash al-Qur-an. Allah Ta’ala berfirman, “Mahasuci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Mahamendengar lagi Mahamelihat.” (Al-Isra’: 1)
Kemudian beliau SAW dinaikkan ke langit, dimana beliau naik sampai langit ketujuh kemudian setelah itu berada disisi tempat yang Dia kehendaki yaitu Sidratul Muntaha dan didekatnya ada Surga tempat tinggal (bagi kaum Mukminin kelak).
Allah memuliakan Nabi Muhammad SAW dengan apa yang Dia kehendaki, mewahyukan kepadanya, berbicara dengannya mensyari’atkan shalat lima waktu dalam sehari semalam. Beliau memasuki Surga dan melihat apat yang ada didalamnya, melihat Neraka, melihat Malaikat dan melihat Jibril dalam bentuk aslinya sebagaimana yang diciptakan oleh Allah. Hati Nabi SAW tidak bisa membohongi terhadap apa yang beliau lihat, bahkan apa yang beliau lihat adalah benar-benar dengan kedua mata kepalanya, hal tersebut sebagai tanda keagungan dan kemuliaan beliau diatas seluruh pada Nabi. Hal tersebut juga menunjukkan tingginya kedudukan beliau SAW di atas seluruh para Nabi. Kemudian beliau singgah di Baitul Maqdis lalu shalat berjama’ah bersama para Nabi sebagai imam, lalu kembali ke Makkah sebelum fajar. (Perincian secara detail tentang kejadian malam yang penuh barakah itu terdapat dalam al-Bukhari, Muslim, kitab-kitab sunnah yang lainnya dan musnad-musnad.
Allah Ta’ala berfirman:
“Maka apakah kamu (musryikin Makkah) hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? Sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratul Muntaha. Didekatnya ada Surga tempat tinggal. (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh suatu yang meliputinya. Penghlihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Rabb-nya yang paling besar.” (QS. An-Najm: 12-18).
Diantara mukjizat beliau SAW juga berupa:
- Terbelahnya bulan, merupakan tanda kenabian yang agung dimana Allah telah berikan kepada Nabi-Nya SAW sebagai bukti atas kenabian beliau. Hal itu terjadi di Makkah ketika kaum musryikin memintanya sebagai bukti atas kenabian beliau.
- Memperbanyak makanan, sungguh hal ini terjadi dari beliau SAW lebih dari satu kali.
- Memperbanyak air dan bercucuran dari jari-jari tangan beliau yang mulia. Dan makanan tersebut bertasbih kepada beliau ketika hendak dimakan. Hal ini sering terjadi pada diri Rasulullah SAW.
- Menyembuhkan orang sakit dan sebagian para Sahabatnya melalui tangan beliau SAW tanpa obat.
- Hewan (bersikap) sopan di hadapan beliau, patuhnya pepohonan kepadanya dengan ucapam salam dari batu-batu kepada beliau SAW.
- Balasan disegerakan kepada sebagian orang-orang yang mengkhianati dan menantang beliau SAW.
- Beliau menyampaikan kabar tentang sebagian perkara yang ghaib dan perkara yang baru saya terjadi di tempat jauh. Beliau juga menyampaikan kabar tentang perkara yang ghaib yang belum terjadi, kemudian hal tersebut terjadi setelah itu, sebagaimana yang beliau kabarkan.
- Dikabulkan do’a beliau SAW secara umum.
- Allah menjaga beliau SAW dari gangguan para musuh. Abu Hurairah meriwayatkan, seraya berkata: “Abu Jahal berkata: ‘Apakah Muhammad menyembunyikan wajahnya di hadapan kalian?’ dijawab: ‘Ya! Lalu Abu Jahal berkata lagi: ‘Demi Latta dan Uzza, seandainya aku melihat Muhammad berbuat semacam itu, pasti aku akan injak lehernya atau akan aku kotori wajahnya dengan tanah.’ Abu Hurairah ra berkata: ‘Maka Abu Jahal mendatangi Rasulullah SAW, beliau sedang shalat, dia ingin menginjak leher beliau.’ Abu Hurairah berkata: ‘Maka tidaklah Abu Jahal mendatangi beliau dengan tiba-tiba, melainkan dia segera kemali mundur dan berlindung dengan kedua tangannya.’ Perawi berkata: ‘Abu Jalah ditanya, ‘Apa yang terjadi pada dirimu? Abu Jahal menjawab: ‘Sesungguhnya diantara aku dan dia ada parit dari api, sesuatu yang menakutkan dan sayap-sayap (malaikat).
Maka Rasulullah SAW bersabda, “Seandainya dia (Abu Jahal) mendekatiku, pasti Malaikat akan menyambarnya satu demi satu organ (tubuhnya).” (HR. Muslim no. 2797 dari Sahabat Abu Hurairah).
Sumber: Diadaptasi dari Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari, Al-Wajiiz fii Aqiidatis Salafis Shaalih (Ahlis Sunnah wal Jama’ah), atau Intisari Aqidah Ahlus Sunah wal Jama’ah), terj. Farid bin Muhammad Bathathy(Pustaka Imam Syafi’i, cet.I), hlm. 90 -108.