Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai pemerintah belum peka menangani pornografi dan pornoaksi. Padahal, bahaya akibat pornografi telah menjangkit lapisan masyarakat tanpa memandang usia. Hal ini diungkapkan oleh Ketua MUI, Ma’ruf Amin. “Sekarang lebih parah tapi kepekaan kurang,”kata dia.
Ma’ruf yang ditemui di sela-sela rapat pimpinan MUI di Jakarta, Selasa (3/5) mengatakan kurangnya kepakaan terlihat dari belum lahirnya peraturan pemerintah (PP) terkait UU pornografi. Karena itu, pihaknya mendesak pemerintah segera mengeluarkan PP yang menjabarkan implementasi uu tersebut.
Penekanan PP itu menitikberatkan pada pengawasan, regulasi, dan penindakan. MUI, menurntya bersikap tegas atas pornografi dan pornoaksi. Pada tahun 2000, MUI mengeluarkan fatwa haram dan larangan kedua hal itu. “Kita paling keras,”kata dia.
Secara terpisah, Ketua Umum Pengurus Pusat Muslimat Nahdlatul Ulama (NU), Khofifah Indar Parawansa, mengatakan hal sama. Menurutnya penanggulangan terhadap pornografi dan pornoaksi belum dilakukan secara sinergis, komprehensif, dan massif. Sinergitas mendesak direalisasikan dengan pihak terkait. Baik pemerintah ataupun lembaga swasta tak terkecuali institiusi keluarga.
Ia menilai gagasan tentang pendidikan kesehatan reproduksi remaja (KRR) patut kembali dipertimbangkan guna memberikan wawasan dan warning. Muatannya disesuiakan dengan tingkat usia dan kematangan anak. “Banyak negara lakukan langkah preventif, tinggal kemauan kita saja,”kata dia
Menurutnya, masyarakat tak bisa berharap banyak pada industry media yang selama ini dianggap kerap mengumbar birahi. Apalagi, lembaga rating di Indonesia masih tunggal, AGB Nielsen. Sehingga tidak bisa memberikan data bandingan second opinion tentang rating acara yang diminati pemirsa.
Ia menyayangkan sikap pemerintah beralasan kesulitan membuat lembaga rating serupa. Ini bertolak belakang misalnya dengan pengalaman Korea Selatan yang memiliki lembaga rating lebih dari satu. “Masak APBN hampir 1200 triliun rupiah, 200 milyar untuk jaga moral bangsa tidak bisa,”tungkas dia.
Red: Fani
Sumber: Republika