Larangan Meminta Jabatan

Diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari r.a, ia berkata, “Aku dan dua orang dari kaumku datang menghadap Nabi saw. Salah seorang mereka berkata, ‘Ya Rasulullah angkatlah kami sebagai pejabatmu.’ Satu orang lagi juga mengatakan perkataan yang sama. Lalu Rasulullah saw. bersabda, ‘Kami tidak akan memberikan jabatan pemerintahan ini kepada orang yang meminta dan berambisi untuk mendapatkannya’,” (HR BUkhori [7149] dan Muslim [1733]).   Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Samurah r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda kepadaku, ‘Wahai Abdurrahman, janganlah engkau  meminta jabatan pemerintahan, sebab apabila engkau diberi jabatan itu karena engkau memintanya maka jabatan tersebut sepenuhnya dibebankan kepadamu. Namun apabil jabatan tersebut diberikan bukan karena permintaanmu maka engkau akan dibantu dalam melaksanakannya’,” (HR Bukhori [7147] dan Muslim [16522]).   Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, dari Nabi saw, beliau bersabda, “Kalian selalu berambisi untuk menjadi penguasa sementara hal itu akan membuat kalian menyesal di hari kiamat kelak. Sungguh hal itu ibarat sebaik-baik susunan dari sejelek-jelek penyapihan,” (HR Bukhori [7048]).

Diriwayatkan dari Abu Dzar r.a, ia berkata, “Aku  menyatakan, ‘Ya Rasulullah tidakkah anda berminat memberikan sebuah jabatan?’ Lalu beliau menepuk-nepuk pundakku dan berkata, ‘Wahai Abu Dzar, kamu seorang yang lemah sementara jabatan adalah sebuah amanah dan sebab kesedihan dan penyesalan di hari kiamat nanti, kecuali orang yang mengambilnya dengan cara yang hak dan melaksanakan semua kewajiban’,” (HR Muslim [1852]).

Masih diriwayatkan dari Abu Dzar, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Wahai Abu Dzar, aku lihat engkau seorang yang lemah dan aku suka engkau mendapatkan sesuatu yang aku sendiri menyukainya. Jangan engkau memimpin dua orang dan janganlah kamu mengurus harta anak yatim,” (HR Muslim [1826]).

Diriwayatkan dari Auf bin Malik dari Nabi saw. beliau bersabda, “Jika kalian mau, aku beri tahu kepada kalian tentang jabatan, apa hakikat jabatan itu? Awalnya adalah celaan, yang kedua adalah penyesalan dan yang ketika adalah adzab di hari kiamat, kecuali orang yang berlaku adil. Bagaimana mungkin ia dapat berlaku adil terhadap keluarga-keluarganya?” (Shahih, HR al-Bazzar [1597]).

Kandungan Bab:

  1. Hadits-hadits yang tercantum dalam bab ini merupakan suatu prinsip yang agung untuk tidak mengemban sebuah jabatan pemerintahan.
  2. Haram meminta jabatan, terlebih lagi jika ia mengetahui bahwa dirinya lemah dan tidak akan mampu melaksanakan amanah tersebut.
  3. Bagi siapa yang meminta jabatan pemerintahan maka ia tidak boleh diberi jabatan itu. Islam tidak memberikan jabatan kekuasaan kepada orang yang memintanya, menginginkannya dan berambisi untuk mendapatkannya. Orang yang paling berhak mendapatkan jabatan kekuasaan adalah orang yang menjauhkan diri dan tidak suka menerimanya.
  4. Meminta sebuah jabatan kekuasaan atau jabatan yang berkaitan dengan pemerintahan seperti jabatan hakim, bendahara dan jabatan lainnya yang mengurus kepentingan masyarakat, sangat berpengaruh dengan kemaslahatan  pribadi. Barangsiapa yang seperti itu keadaannya maka tidak disangsikan lagi bahwa ia akan sanggup berbuat dosa untuk meraih apa yang ia anggap mulia dan untuk mewududkan ambisinya. Adapun orang yang takut terhadap hukum ini, ia lebih mempunyai peluang besar untuk berbut adil dan lebih mampu menahan diri dari perbuatan dosa.
  5. Mengemban jabatan kekuasaan merupakan sebuah tanggung jawab yang teramat besar karena akan menimbulkan celaan, penyesalan dan siksaan di hari kiamat kelak. Kecuali bila ia mengembannya berlaku adil dan melaksanakan semua kewajibannya. Akan tetapi orang seperti ini sangatlah sedikit. Bagaimana mungkin ia mampu berbuat adil jika sebuah perkara berkaitan dengan kerabat, sahabat, dan orang-orang yang ia cintai.
  6. Boleh menerima sebuah jabatan apabila memang ditunjuk oleh khalifah atau diangkat oleh ahli halli wal a’qdi. Karena bagaimanapun masyarakat harus memiliki seorang pemimpin yang dapat menjalankan syari’at Allah di tengah-tengah masyarakat dan tidak pernah merasa sangsi dalam melaksanakannya. Barangsiapa yang diberi hak untuk berkuasa dan berlaku adil maka ia akan mendapat fadhilah yang sangat besar sebagaimana yang tercantum dalam hadits-hadits yang shahih.
  7. Barangsiapa diangkat untuk mengemban suatu jabatan dengan tanpa memintanya maka Allah akan membantunya dalam melaksanakan tugas-tugasnya dan menyiapkan untuknya seorang penasehat shalih yang dapat menyuruh dan membantunya dalam berbuat makruf serta melarang dan berusaha untuk menjauhkan dirinya dari perbuatan mungkar.
  8. Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam kitab Fathul Baari (XIII/126), “Sesungguhnya para pemimpin yang hanya merasakan kenikmatan dan kebahagiaan dari jabatannya serta tidak pernah mendapatkan kesusahan dan kesulitan, maka semasa di dunia ia harus dipecat dari jabatan hingga ia merasakan kesulitan, maka semasa di dunia ia harus dipecat dari jabatan hingga ia merasakan kesulitan, atau ia akan mendapat siksaan yang lebih berat di akhirat nanti. Nasallahu al-‘afwa (kita memohon ampunan kepada Allah). Saya katakan, “Inilah maksud dari sabda Rasulullah saw, “Sungguh hal itu ibarat sebaik-baik penyusuan dan dan sejelek-jelek penyapihan’.
  9. Beliau juga menukil perkataan al-Muhallab dalam Fathul Baari (XIII/126), “Ambisi untuk mendapatkan suatu jabatan merupakan penyebab timbulnya peperangna di kalangan manusia hingga terjadi pertumpahan darah dan perampasan  harta, pemerkosaan dan penyebab utama terjadinya kerusakan besar di muka bumi.” Saya katakan, “Inilah makna dari sabda Rasulullah saw, ‘Kalian nantinya akan berambisi untuk menjadi penguasa…,”

Ini merupakan khabar yang diberitakan Rasulullah saw. sebelum terjadi dan setelah itu memang benar terjadi sebagaimana yang beliau beritakan dan ini adalah salah satu perkara yang telah diperingatkan Rasulullah saw. semenjak dahulu.

Bagi yang berpendapat boleh meminta jabatan berdalihkan dengan firman Allah yang menceritakan kisah Nabi Yusuf As, “Berkata Yusuf, ‘Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan,” (Yusuf: 55).”

Pendalilan dari ayat ini masih perlu ditinjau dari beberapa sisi:

Pertama: Yusuf adalah seorang Nabi dan tentunya seorang hamba tidak mengetahui kemampuan dirinya seperti yang diketahui oleh para Nabi. Nabi Yusuf mengetahui bahwa tidak ada seorang pun yang menyamainya dalam berlaku adil, dalam memperbaiki masyarakat, dan dalam menyalurkan hak-hak fakir miskin.

Kedua: Syari’at yang turun kepada ummat sebelum kita tidak berlaku untuk kita. Terlebih lagi bila dalam syari’at kita tercantum sesuatu  yang bertentanga dengan syari’at terdahulu.

Ketiga: Pada zaman Nabi Yusuf tidak ada seorang pun yang ahli dalam bidang tersebut selain Nabi Yusuf.

Keempat: Yusuf mengucapkan hal itu kepada orang yang tidak mengenalnya. Oleh karena itu Ibnu Katsir berkata dalam bukunya Tafsir al-Qur’an al-Azhim (II/499), “Untuk suatu keperluan, ia boleh memintanya jika keahliannya tidak diketahui orang lain.”

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/552-557