Larangan Bagi Seorang Mukmin Menghinakan Dirinya

Diriwayatkan dari Hudzaifah ibnu Yaman r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. pernah bersabda, ‘Tidak pantas seorang mukmin menghinakan dirinya.’ Para sahabat bertanya, ‘Bagaimana ia menghinakan dirinya?’ Beliau menjawab, ‘Ia menghadang cobaan padahal ia tidak sanggup menghadapinya’,” (Hasan lighairihi, HR at-Tirmidzi [2254] dan Ibnu Majah [4016]).

Kandungan Bab:

  1. Tidak boleh seorang mukmin menghinakan dirinya dengan cara menghadang cobaan.
  2. Sepantasnya seorang hamba berusaha menghindar dari berbagai gangguan. Janganlah ia menghadang cobaan tersebut, tetapi hendaknya ia menjauhkan diri dan jangan menantangnya. Sebab jiwa seseorang sulit menghadapi cobaan dan dapat menimbulkan fitnah yang belum diketahui seberapa besarnya, sedangkan seorang insan tidak dapat memastikan apakah ketika cobaan datang ia dapat memegang prinsip atau malah membuatnya bergeming. Hal ini sebagaimana ditunjukkan dalam sebuah do’a dari Rasulullah saw. yang memohon kepada Allah ampunan, kesehatan, dan keselamatan dari berbagai cobaan dan bala. Demikian juga hadits yang mencantumkan larangan meminta kematian dan mengharapkan berhadapan langsung dengan musuh, sebagaimana yang telah disinggung.
  3. Apabila seorang hamba diuji maka ia akan mendapat gangguan dan kemudharatan. Oleh karena itu hendaknya ia bersabar, meminta ganjarang dari Allah serta jangan bergeming dari prinsipnya. Dan hendaknya ia mengetahui bahwa segala perkara berada di tangan Allah. Jika Allah menghendaki maka suatu perkara pasti akan terjadi dan jika Dia tidak menghendakinya, pasti tidak akan terjadi.
  4. Seorang mukmin hendaknya berhati-hati dan meneliti suatu urusan dan mempertimbangkan efek negatif yang mungkin timbul. Sebab seseorang yang dikatakan faqih (faham) adalah mereka yang mempertimbangkan efek yang mungkin timbul dan tidak takut untuk memulai.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/534-536