Larangan Mengingkari Takdir

Diriwayatkan dari Umamah r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Tiga macam orang yang tidak akan menerima dari mereka tebusan ataupun taubat: Orang yang durhaka, yang suka mengungkit-ngungkit pemberian, dan mendustakan takdir’,” (Hasan, Ibnu ‘Ashim dalam as-Sunnah [323]).

Diriwayatkan dari Ibnu ad-Dailimi, ia berkata, “Aku mendatang Ubay bin Ka’ab dan aku katakan kepadanya, ‘Terlintas dalam pikiranku sesuatu tentang masalah takdir. Maka sampaikanlah suatu perkataan kepadaku mudah-mudahan ALlah menghilangkan kerguan dalam hatiku.’ Dia berkata, ‘Seandainya Allah mengadzab seluruh penduduk langit dan bumi niscaya dia mengadzab mereka tanpa berbuat dzalim kepada mereka. Dan seandainya Allah merahmati mereka niscaya rahmat-Nya itu lebih baik bagi mereka dari amal-amal mereka. Dan ketahuilah seandainya engkau menginfakkan emas sebesar gunung Uhud di jalan Allah niscaya Allah tidak akan menerima darimu hingga engkau beriman kepada takdir. Dan engkau meyakini bahwasanya apa yang ditakdirkan menimpamu pasti tidak akan meleset darimu. Dan apa yang ditakdirkan meleset darimu niscaya tidak akan menimpamu. Jika engkau mati di atas keyakinan selian ini niscaya engkau masuk neraka.”

Ibnu ad-Dailimi berkata, “Lalu akupun mendatangi Abdullah bin Mas’ud dan dia mengatakan hal yang sama. Kemudian aku mendatangi Hudzaifah Ibnu Yaman dan dia jua mengatakan hal yang sama. Lalu aku mendatangi Zaid bin Tsabit dan dia menyampaikan kepadaku dari Nabi saw. perkataan yang sama,” (Shahih, HR Abu Dawud [4699]).

Diriwayatkan dari Yahya bin Ya’mar, ia berkata, “Orang yang pertama kali berbicara tentang takdir di Bashrah adalah Ma’had al-Juhani. Maka akupun berangkat bersama Humaid bin Abdurrahman al-Himyari untuk melaksanakan haji dan umrah. Kamipun berkata, ‘Andaikata kita bertemu dengan salah seorang sahabat Rasulullah saw. kita akan menanyakan apa yang mereka katakan tentang masalah takdir.’ Akhirnya kamipun berkesempatan bertemu dengan Abdullah bin Umar Ibnu Khattab. Dia memasuki masjid lalu aku dan sahabatku mengiringinya, satu di sebelah kanan dan satu di sebelah kiri. Dan aku kira sahabatku menyerahkan pembicaraan kepadaku, maka akupun berkata, ‘Wahai Abdurrahman, telah muncul di tempat kami orang-orang yang membaca al-Qur’an, menuntut ilmu dan menelitinya. Diapun menyebutkan keadaan mereka. Mereka meyakini bahwasanya tidak ada takdir dan bahwasanya semua perkara itu terjadi begitu saja’.”

Ibnu Umar berkata, ‘Jika engkau berjumpa dengan mereka maka kabarkanlah kepada mereka bahwasanya aku berlepas diri dari mereka dan mereka berlepas diri dariku. Demi Allah yang Abdullah bin Umar bersumpah dengan-Nya, seandainya salah seorang dari mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud, lalu menginfakkannya niscaya Allah tidak akan menerima darinya hingga ia beriman kepada takdir. Kemudian ia berkata, ‘Telah mengabarkan kepadaku ayahku Umar Ibnul Khaththab (lalu menyebutkan hadits Jibril yang panjang tentang Islam, iman, ihsan, dan tanda-tanda hari kiamat),” (HR Muslim [8]).

Kandungan Bab:

  1. Iman kepada takdir merupakan salah satu takdir. Tidak benar keimanan seorang hamba hingga ia beriman kepada takdir yang baik maupuan yang buruk dari Allah. Dan meyakini bahwasanya apa yang ditakdirkan menimpanya pasti tidak akan meleset darinya dan apa yang ditakdirkan meleset darinya pasti tidak akan menimpanya. Telah terangkat pena dan telah kering lembaran tentang seluruh kejadian hingga hari kiamat. Dan bahwasanya Allah mengetahui semua itu sebelum terjadi dan sebelum diciptakannya langit dan bumi. Barangsiapa mendustakan hal itu, maka dialah orang yang merugi dan seandainya dia menginfakkan emas sepenuh bumi niscaya tidak akan diterima darinya.
  2. Ijma’ sahabat berlepas diri dari orang yang mendustakan takdir dan kecaman yang keras terhadap mereka.
  3. Kebiasaan safaf yakni menghilangkan syubhat dengan bertanya kepada ahli ilmu. Dan ulama akan menjawab pertanyaan mereka dengan jawaban yang dapat menghilangkan syubhat. Karena mereka selalu menisbatkan perkataan kepada Rasulullah saw. sebagaimana jelas dalam hadits-hadits bab.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/393-421.