1. PENGERTIAN ‘ARIYAH
Para ahli fiqih mendefinisikan ‘ariyah adalah seorang pemilik barang membolehkan orang lain memanfaatkan barang itu tanpa ada imbalan.
2. HUKUM ‘ARIYAH
Hukum ‘ariyah sangat dianjurkan, berdasarkan firman Allah swt:
“Dan bertolong-tolonglah kalian dalam kebajikan dan takwa.” (QS Al-Maidah: 2)
Rasulullah saw bersabda:
“Dan Allah selalu menolong hamba-Nya, selama ia menolong saudaranya.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 6577)
Allah swt telah mengecam:
“Orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya’, dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (QS Al-Maa’uun: 5-7).
3. KEWAJIBAN MENGEMBALIKANNYA
Allah swt berfirman:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (QS An-Nisaa’: 58).
Orang yang meminjam adalah orang yang diberi amanat yang tidak ada tanggungan atasnya, kecuali karena kelalaiannya, atau pihak pemberi pinjaman mempersyaratkan penerima pinjaman harus bertanggung jawab:
Dari Shafwan bin Ya’la dari bapaknya ra ia berkata, Rasulullah saw pernah bersabda kepadaku, “Apabila sejumlah kurirku datang kepadamu, maka berilah kepada mereka tiga puluh baju besi dan tiga puluh ekor unta.” Kemudian aku bertanya, “Ya Rasulullah, apakah ini pinjaman yang terjamin, ataukah pinjaman yang tertunaikan?” Jawab Beliau, “(Bukan), tetapi pinjaman yang tertunaikan.” (Shahih: Shahih Abu Daud III no: 3045, ash-Shahihah no: 630 dan ’Aunul Ma’bud IX: 479 no: 3549).
Al-Amir ash-Shan’ani dalam Subulus Salam III: 69) menjelaskan, ”Yang dimaksud kata madhmunah (terjamin) ialah barang pinjaman yang harus ditanggung resikonya, jika terjadi kerusakan, dengan mengganti nilainya. Adapun yang dimaksud kata mu’addah (tertunaikan) ialah barang pinjaman yang mesti dikembalikan seperti semula, namun manakala ada kerusakan maka tidak harus mengganti nilainya.” Lebih lanjut dia menyatakan, “Hadits yang diriwayatkan Shafwan di atas menjadi dalil bagi orang yang berpendapat, bahwa ’ariyah tidak harus ditanggung resikonya, kecuali ada persyaratan sebelumnya. Dan, sudah dijelaskan bahwa pendapat ini adalah pendapat yang paling kuat.”
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm 707 – 708)