Bab Rahn (Gadai)

1.    PENGERTIAN RAHN

Menurut bahasa, “rahn” berarti pemenjaraan. Misalnya perkataan mereka (orang Arab), “rahanasy syai-a” artinya apabila sesuatu itu terus menerus dan menetap. Allah berfirman: “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas perbuatannya.” (QS Al-Muddatsir: 38).

Adapun menurut istilah syara’, kata rahn ialah memperlakukan harta sebagai jaminan atas hutang yang dipinjam, supaya dianggap sebagai pembayaran manakala yang berhutang tidak sanggup melunasi hutangnya. (Fathul Bari V: 140 dan Manarus Sabil I: 351).

2.    PENSYARI’ATAN RAHN

Allah swt berfirman:

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang.” (QS al-Baqarah: 283)

Dikaitkannya hutang piutang dengan safar pada ayat di atas hanyalah karena disampaikan sesuai dengan situasi dan kondisi pada umumnya saat itu, sehingga mahfum dalam ayat di atas tidak berlaku, artinya untuk melakukan rahn tidak harus dalam safar. Ketika muqim juga boleh, hal ini ditegaskan oleh riwayat berikut:

Dari Aisyah ra bahwa Nabi saw pernah membeli makanan dari seorang Yahudi secara bertempo, dan beliau menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi itu. (Muttafaqun ’alaih).

3.    PEMINJAMAN BARANG GADAI MEMANFAATKAN BARANG JAMINAN

Penerimaan barang gadai tidak boleh memanfaatkan barang yang digadaikan. Berdasarkan riwayat yang termuat dalam pembahasan qiradh:

    Setiap pinjaman yang membawa manfa’at, maka ia adalah riba.

Terkecuali barang gadai itu berupa binatang ternak yang bisa diperah susunya, atau yang dapat dikendarai, maka boleh diperah susunya dan ditunggangi, bila sang penerima gadai sanggup membiayai dan merawatnya:

Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Binatang itu boleh dikendarai (dipakai) apabila telah digadaikan, dan susu binatang perahan boleh diminum apabila telah digadaikan dan bagi orang yang mengendarainya dan meminumnya agar menanggung (peliharaan) nafkahnya (memberinya makan dan minum).” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3962, Fathul Bari V: 143 no: 2512, ‘Aunul Ma’bud IX: 439 no: 3509, Tirmidzi II: 362 no: 1272 dan Ibnu Majah II: 816 no: 2440).

Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 702 – 704.