Mawaaqiit adalah bentuk jama’ dari miiqaat, seperti mawaa’iid yang bentuk mufradnya mii’aad, yaitu miqat makani (miqat tempat seperti Dzulhalifah, Qarnu al-Manazil, ed) dan miqat zamani (miqat waktu). (Fiqhus Sunnah I:549).
a. Miqat-Miqat Zamani:
Allah SWT berfirma, “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji….” (Al-Baqarah:189).
Dan Allah SWT berfirman, "(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dima’lumi." (Al-Baqarah:197)
Ibnu Umar r.a. berkata, ”Bulan-bulan haji itu adalah syawal, dzul-qa’dah, dan sepuluh hari dari bulan dzul Hijjah.” (Shahihul Isnad), Mukhtashar Bukhari no:311 hal.372, dan Fathul Bari III:319 secara mu’allaq).
Ibnu Abbas r.a. menegaskan, ”Termasuk sunnah (Nabi saw.) agar tidak memulai ihram untuk haji, kecuali pada bulan-bulan haji.” (Shahihul Isnad: Mukhtashar Bukhari no:311 hal.372, dan Fathul Bari III:319 secara mu’allaq).
b. Miqat-Miqat Makani:
Dari Ibnu Abbas r.a. berkata : Bahwa Nabi saw telah menentukan tempat permulaan ihram bagi penduduk Madinah di Dzulhulifah, bagi penduduk Syam di Juhfah, bagi penduduk Nejed di Qarnul Manazil, bagi penduduk Yaman di Yalamlam. Dan, beliau bersabda, ”Tempat-tempat itulah untuk (penduduk) mereka masing-masing, dan untuk orang-orang yang datang di tempat-tempat tadi yang bermaksud hendak mengerjakan ibadah haji dan umrah. Adapun orang-orang yang tinggal (di dalam daerah miqat) maka dia (berihram) dari tempatnya, sehingga orang Mekkahpun supaya memulai ihramnya dari Mekkah pula.” (Muttafaqun’alaih: Fathul Bari III:384 no:1524 dan lafadz ini baginya, Muslim II:848 no:1181, ’Aunul Ma’bud V:162 no:1722, dan Nasa’i V: 123).
Dan Aisyah r.a. bahwa Nabi saw. telah menentukan permulaan ihram bagi penduduk Irak di Dzatu’haqin. (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:998, ’Aunul
Ma’bud V:163 no:1723 secara ringkas ini dan Nasa’i V: 125 dengan panjang lebar).
Dengan demikian, barangsiapa yang bermaksud menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekkah, maka ia tidak boleh melewati miqat-miqat termaksud sebelum berihram.
Dianggap makruh berihram sebelum sampai di miqat. Dalam Silsilatul Ahadits Dha’ifah no:210/212 ditegaskan, ”Semua hadist yang menganjurkan agar berihram sebelum sampai di miqat tidak sah. Bahkan justru ada riwayat yang berlawanan dengan itu semua. Karena itu perhatikanlah pembahasan perihal kelemahan hadits-hadits tersebut dalam kitab ini.”
Betapa indahnya pernyataan Iman Malik r.a. kepada seorang laki-laki yang bermaksud hendak berihram sebelum tiba di Dulhulaifah ”Jangan kamu berbuat begitu; karena sesungguhnya aku khawatir kamu ditimpa fitnah.” Jawab laki-laki itu, ”Dalam hal ini fitnah apa yang akan terjadi? Saya hanya mulai berihram beberapa mil sebelum miqat.”
Kata Imam Malik selanjutnya, ”Adalah fitnah yang lebih besar daripada engkau melihat bahwasanya engkau telah mengerjakan suatu keutamaan yang belum pernah dicontohkan Rasulullah saw? Padahal aku mendengar Allah menegaskan., "Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul taku akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih." (An-Nuur:63).”
Melewati Miqat-Miqat Dengan Tidak Berihram (Sebelum Niat Ihram)
Barangsiapa yang melewati daerah miqat tanpa berihram, padahal ia bermaksud hendak menunaikan ibadah haji dan umrah, kemudian berihram setelah melewatinya, maka sungguh ia berdosa karenanya. Dosa tersebut tidak akan lepas darinya, sebelum ia kembali lagi ke miqat, lalu berihram dari sana, kemudian menyempurnakan segenap manasiknya. Jika ia tidak kembali, maka ibadah haji dan umrahnya tetap shah, hanya saja ia berdosa dan tidak bisa ditebus dengan dam (denda dengan menyembelih seekor kambing). Ini mengacu kepada hadits dari Shafwan bin Ya’la pernah berkata kepada Umar r.a., ”(Tolong) perlihatkan kepadaku tentang Nabi saw. ketika menerima wahyu.” Jawab Umar” Tatkala Nabi saw. berada di Ji’ranah bersama sekelompok sahabatnya, tiba-tiba, datanglah seorang sahabat, lantas bertanya kepada beliau, ’Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu perihal seorang laki-laki yang berihram untuk ibadah umrah dan melumuri pakaiannya dengan wangi-wangian?” (Kata Shafwan selanjutnya), ”Kemudian Nabi saw. diam sejenak. Lalu datanglah wahyu, kemudian Umar memanggil Ya’la memasukkan kepalanya ke dalam pakaian tersebut. Ternyata Rasulullah saw. menutup wajahnya sambil bernafas terengah-engah, kemudian beliau bertanya, "Dimana orang yang bertanya tentang umrah? Kemudian didatangkanlah seorang sabahat. Kemudian beliau bersabda (kepadanya), ’Bersihkanlah wangi-wangian yang kau pakai itu tiga kali dan lepaskanlah jubah yang kamu pakai itu dan berbuatlah kamu dalam umrahmu sebagaimana yang kau lakukan dalam ibadah hajimu.” (Muttafaqun’alaih: Fathul Bari III:393 no:1536, Muslim II:836 no:1180, ’Aunul Ma’bud V:265 no:1802, 1803, 1804, dan Nasa’i V:142).
Jadi, hadits ini menunjukkan, secara gambling, eksplisit bahwa barangsiapa yang melanggar salah satu dari larangan ihram, maka tidak ada kewajiban atasnya, kecuali meninggalkannya (pelanggaran tersebut), karena Rasulullah saw tidak menyuruh laki-laki yang mengenakan jubah di oleh wangi-wangian yang biasa di pakai kaum perempuan dalam riwayat yang lain sejenis parfum, kecuali agar ia melepaskan jubahnya dan membersihkannya. Rasulullah saw tidak menyuruhnya menyembelih binatang hadyu sebagai sangsi. Andaikata menyembelih binatang tersebut wajib, sudah barang tentu diperintah oleh beliau. Sebab, menunda penjelasan di saat sangat dibutuhkan sangat tidak boleh dan disini betul-betul dibutuhkan.
Berihram Dari Miqat
Apabila jama’ah haji hendak berihram untuk haji qiran dan ia telah membawa binatang hadyu (sesuai ketentuan manasik), maka ia harus mengucapkan niat, “Aku sambut panggilan-Mu ya Allah untuk berhaji dan berumrah.”
Jika ia terlanjur memulai ihram untuk ibadah haji saja, maka ia harus membatalkannya dan menggantinya dengan niat umrah. (Lihat Manasik Hajj Wal’Umrah oleh Syaikh al-Albani). Sebab, Nabi saw. menyuruh para sahabatnya semuanya agar bertahallul dari ihramnya dan supaya menjadikan tawaf dan sa’inya untuk umrah, kecuali jama’ah haji yang sudah membawa binatang hadyu seperti Rasulullah saw. dan beliau marah kepada mereka yang tidak segera memenuhi perintahnya, dan hal itu Rasulullah saw. tekankan lagi dengan sabdanya, "Umrah masuk pada ibadah haji hingga hari kiamat.”
Hadits di atas menunjukkan juga bahwa umrah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ibadah haji.
Nabi saw. bersabda, ”Jika seandainya aku mengetahui (ketika permulaan melaksanakan ibadah haji) apa-apa yang kuketahui sekarang ini, niscaya aku tidak akan membawa binatang hadyu."
Hadits Nabi saw. tersebut bukan sekedar menunjukkan keinginannya yang tidak terealisasi, yaitu melaksanakan haji qiran. Namun, juga menjelaskan bahwa Rasulullah saw. menginformasikan bahwa haji tamattu’ lebih afdhal daripada haji qiran.
Jadi, setiap jama’ah haji harus menggandengkan haji dengan umrahnya; mungkin mengerjakan umrah terlebih dahulu, karena tidak membawa binatang hadyu dan ini yang disebut haji tamattu’; atau mungkin mengerjakan ziarah bersamaan dengan haji dalam satu niat dan satu pekerjaan sekaligus karena dia membawa binatang hadyu dan ini yang disebut haji qiran. Jadi, cara yang mana saja di antara dua cara pelaksanaan ibadah haji ini dipilih oleh jama’ah haji, maka itu sesuai dengan tuntunan Nabi saw., sekalipun pelaksanaan haji tamattu’ lebih afdhal daripada haji qiran sebagaimana yang telah kami jelaskan di atas.
Sekarang, kita mengetahui bahwa wajib atas jama’ah haji yang melaksanakan haji ifrad atau qiran yang tidak membawa binatang hadyu agar bertahallul dari ihramnya, bila telah melakukan thawaf dan sa’i. Sebab, orang yang berihram untuk keduanya kadang-kadang tidak memiliki waktu yang luas untuk bertahallul padanya dari ihramnya, kemudian memulai berihram lagi untuk mengerjakan haji sebelum keluar ke Arafah. Dan bagi jama’ah haji yang melaksanakan haji ifrad atau qiran yang tidak membawa binatang hadyu boleh tidak menanggalkan pakaian ihramnya, tidak bertahallul dari ihramnya, kecuali setelah melontar jamrah ’aqabah pada hari Nahr, bila waktu sangat tidak memungkinkan untuk bertahallul kemudian ihram lagi.
Sebagai misal: jama’ah haji yang datang di Mekkah pada malam kesembilan Dzulhijjah, dia khawatir tidak sempat wuquf di ’Arafah karena walaupun amat sempit dan sudah hampir terbit fajar shubuh, maka orang tersebut harus segera pergi ke ’Arafah untuk wuquf di sana agar tidak ketinggalan, sebab kalau rukun haji ini tidak sempat dikerjakan, maka batallah ibadah hajinya. Dengan demikian pelaksanaan haji ifrad masyru’ (disyari’atkan), bila waktu sudah amat sangat sempit. Oleh sebab itu, manakala seoragn hendak menunaikan haji ifrad, dan meninggalkan pelaksanaan haji tamattu’ dan haji qiran, lebih mengutamakan haji ifrad daripada pelaksanaan haji tamattu’ dan haji qiran, maka ia berdosa. Sebab ia tidak memenuhi perintah Nabi saw. pada waktu beliau memerintah para sahabatnya agar mereka mengubah ibadah hajinya dengan ibadah umrah. Namun ibadah hajinya tetap shahih (Lihat Irsyadus Sari oleh a;-Walid Asy-Syaikh Muhammad Ibrahim Syuqrah).
Orang Yang Akan Berihram Boleh Mengucapkan Syarat Akan Bertahallul Bila Ada ’Udzur Sakit Dan Semisalnya
Dari Aisyah r.a. berkata, "Rasulullah saw. pernah bertemu Dhuba’ah bin Zubair r.a., lalu Rasulullah saw. bertanya kepadanya, ”Apakah engkau ingin naik haji?” Jawabnya, ”Demi Allah, saya sakit terus.” Kemudian Rasulullah saw. bersabda kepadanya, ”Berhajilah dan tentukanlah syarat, yaitu ucapkanlah, "Ya Allah, dia menjadi halal ditempat manapun, Engkau menghalangiku (karena sakit atau yang lainnya).” (Muttafaqun’alaih: Fathul Bari IX:132 no:5089. Muslim II:887 no:1207, dan Nasa’i V:168).
Maka barangsiapa yang telah menetapkan syarat seperti itu, lalu sewaktu-waktu ia terhalang oleh sakit atau musuh atau semisalnya, maka ia langsung bertahallul dengan bercukur dan tidak wajib membayar dam nusuk.
Sebaliknya, barangsiapa yang tidak menetapkan syarat seperti diatas, lalu ternyata ia tertahan, maka ia harus membayar dam, karena Allah Ta’ala berfirman, "Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka sembelihlah) binatang hadyu yang mudah didapat." (Al-Baqarah:196).
Binatang hadyu pasti berasal dari jenis binatang ternak, misalnya unta, lembu, atau kambing. Kalau ternyata kambing yang mudah didapat, maka sudah dianggap cukup. Namun, berupa unta atau sapi lebih utama daripada kambing. Jika ternyata sulit untuk mendapatkan binatang termaksud, maka berpuasalah sepuluh hari, dianalogikan pada orang yang melaksanakan haji tamattu’, bila tidak mendapatkan binatang hadyu.
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 464–471.