Ibadah haji tidak diwajibkan atas anak kecil dan orang yang tidak sehat pikirannya. Rasulullah saw. menegaskan, "Telah diangkat pena (tidak dicatat) dari tiga (kelompok): (pertama) orang gila hingga sehat kembali, (kedua) dari orang tidur sampai bangun, (ketiga) dari anak kecil hingga bermimpi basah.”
Ibadah haji tidak diwajibkan atas hamba sahaya, karena ia sangat sibuk melayani tuannya.
Namun, manakala seorang anak kecil atau hamba sahaya melaksanakan ibadah haji, maka ibadah hajinya sah, namun tidak bisa melepaskan keduanya dari kewajiban menunaikan ibadah haji lagi, bila mencapai usia akil baligh, atau bila merdeka dari perbudakan.
Dari Ibnu Abbas r.a., bahwa ada seorang wanita mengangkat anak kecil ke hadapan Nabi saw., lalu bertanya, ”(Ya Rasulullah), apakah anak kecil ini boleh menunaikan ibadah haji?” Jawab Beliau, ”Ya, (boleh); dan engkau yang mendapat pahala.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no:648, Muslim II:974 no:1336, Aunul Ma’bud V:160 no:1770, dan Nasa’i V:120).
Dari (Ibnu Abbas) r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, ”Setiap anak kecil yang telah menunaikan ibadah haji, kemudian mencapai usia akil baligh, maka ia harus mengerjakan ibadah haji lagi; dan setiap hamba sahaya yang telah berhaji, kemudian merdeka, maka ia harus menunaikan ibadah haji lagi.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:986 dan Baihaqi V:156).
Pengertian Istitha’ah
Istitha’ah ’kemampuan’ (untuk melaksanakan ibadah haji), yang bisa terwujud dengan didukung oleh kesehatan fisik dan perbekalan yang cukup untuk berangkat dan kembalinya dan sudah terpenuhinya kebutuhan pokok dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya, serta ditopang oleh keamanan selama dalam perjalanan.
Adapun dipersyaratkan bagi calon jama’ah haji harus sehat, adalah didasarkan pada hadists dari Ibnu Abbas r.a. bahwa seorang perempuan dari (daerah) Khats’an bertanya, ”Ya Rasulullah, sesungguhnya ayahku mendapatkan kewajiban (dari Allah menunaikan ibadah haji pada waktu dia sudah tua renta, sudah tidak mampu lagi duduk lama di atas untanya, karenanya bolehkah aku menunaikan ibadah haji untuknya?” Maka jawab Beliau, ”(Ya), berhajilah untuknya!” (Muttaqin’alaih: Fathul Bari IV:66 no:1855, Muslim II: 973 no:1334, Tirmidzi II:203 no:932 dan ’Aunul Ma’bud V:247 no:1792 serta Nasa’i V:117).
Adapun tentang perbekalan yang cukup dan kebutuhan dirinya serta orang-orang yang nafkahnya menjadi tanggungjawabnya sudah dipenuhi, adalah mengacu kepada sabda Rasulullah saw., ”Cukup seseorang dianggap melakukan dosa karena menyia-nyiakan orang yang menanggungnya.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:989 dan ’Aunul Ma’bud III no.1676).
adapun disyaratkan adanya keamanan selama dalam perjalanan menuju tanah suci, karena kewajiban menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekkah tanpa didukung dengan keamanan, maka amat berbahaya, dan ini ditentang oleh syara’.
Haji Perempuan
Apabila syarat-syarat istitha’ah tersebut telah terpenuhi pada perempuan, maka ia wajib menunaikan ibadah haji persis seperti orang laki-laki. Hanya saja khusus bagi perempuan ada syarat tambahan, yaitu ia harus ditemani oleh suaminya atau mahramnya. Jika tidak, maka berarti ia tidak mampu. Hal ini mengacu pada hadits dari Ibnu Abbas r.a., berkata, Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, ”Jangan sekali-kali seorang laki-laki berada di tempat yang sunyi (menyendiri) dengan seorang perempuan, kecuali didampingi mahramnya dan jangan (pula) seorang perempuan melakukan perjalanan, kecuali bersama mahramnya.” Kemudian berkatalah seorang sahabat, ”Ya Rasulullah, bahwasanya istriku telah keluar (dari rumah) untuk melaksanakan ibadah haji, padahal aku sudah mendaftarkan diri ikut perang ini dan ini.” Maka jawab beliau, ”Pergilah berhaji bersama istrimu!” (Muttafaqun’alaih: Fathul Bari VI:142 no:3006 dan Muslim II:978 no: 1341, lafadz ini baginya).
Kesegaran Dalam Menunaikan Ibadah Haji
Bagi yang sudah mampu, wajib segera melaksanakan ibadah haji. Sebab ada sabda Rasulullah saw., ”Barangsiapa yang ingin menunaikan ibadah haji, maka segeralah (laksanakan): karena kadang-kadang seseorang sakit, binatang yang dikendarainya hilang dan (atau) ada hajat yang tidak bisa ditinggalkan.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:2331 dan Ibnu Majah II:962 no:2883).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 461–464.