
Jawaban:
Kitek adalah sesuatu yang diletakkan di atas kuku yang dipakai oleh wanita dan berkerak. Kitek ini tidak boleh dipakai wanita ketika dia sedang shalat, karena hal itu menghalangi sampainya air ketika bersuci. Segala sesuatu yang menghalangi sampainya air, tidak boleh dipakai ketika berwudhu atau mandi, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “
Wanita yang di atas kukunya ada kitek, maka kitek itu akan menghalangi sampainya air ke kulit, sehingga akan menjadikannya ragu apakah air itu sampai di kulit ataukah tidak, jika tidak berarti dia telah meninggalkan salah satu kewajiban wudhu atau mandi.
Sedangkan wanita yang tidak shalat, seperti karena haid, maka tidak apa-apa baginya memakai kitek, hanya saja perlu diketahui bahwa pemakaian kitek ini sebenarnya termasuk salah satu ciri khusus wanita-wanita kafir, maka tidak diperkenankan untuk memakainya karena di dalamnya ada penyerupaan dengan mereka.
Saya pernah mendengar, ada sebagian manusia berfatwa bahwa kitek ini serupa dengan mengusap sepatu dan boleh dipakai wanita selama sehari semalam jika mukim dan tiga hari jika bepergian. Ini adalah fatwa yang sesat, sebab tidak semua benda yang menutupi badan manusia bisa disamakan dengan sepatu. Masalah mengusap sepatu ditetapkan berdasarkan syariat dengan cara mengusap di atasnya karena hal itu diperlukan, sebab kaki harus dilindungi dan ditutupi supaya tidak membentur tanah, batu, rasa dingin dan sebagainya. Maka syariat memberikan kekhususan untuk mengusap di atasnya.
Di antara mereka ada juga mengkiyaskannya dengan tutup kepala (surban). Ini juga tidak benar karena tutup kepala tempatnya di kepala, sedangkan kewajiban terhadap kepala secara mendasar adalah mengusapnya sedangkan kewajiban tangan pada dasarnya adalah membasuh. Maka dari itu, Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam tidak membolehkan wanita untuk mengusap sapu tangannya, walaupun keduanya menutupi tangan. Hal ini menunjukkan bahwa mengkiyaskan sesuatu yang menghalangi sampainya air, seperti surban dan sepatu hukumnya tidak boleh. Yang seharusnya dilakukan oleh setiap Muslim adalah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengetahui kebenaran dan jangan menggunakan (menganut) fatwa kecuali jika orang yang berfatwa itu merasa bahwa Allah akan menanyainya, karena fatwa adalah menerangkan tentang syariat Allah. Wallahu al-Muwaffiqwa al-hadi ila ash-shirath al-mustaqim.
Sumber: Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, Fatawa arkaanil Islam atau Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji, terj. Munirul Abidin, M.Ag. (Darul Falah 1426 H.), hlm. 236