Pengantar
Ini adalah kisah dua orang laki-laki. Salah seorang dari keduanya menyombongkan diri dengan leluhurnya yang kafir. Dia menisbatkan diri kepada sembilan leluhur, dan semuanya kafir. Orang kedua membanggakan nenek moyangnya yang muslim dan penisbatan dirinya kepada Islam. Maka Allah membinasakan amal orang pertama. Dia dikumpulkan bersama leluhurnya di neraka. Dan Allah menyelamatkan orang kedua, dengan mengumpulkannya bersama leluhurnya di surga.
Teks Hadis
Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Ubay bin Kaab berkata, “Ada dua orang yang menyebutkan nasabnya pada zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Salah seorang berkata, “Aku adalah fulan bin fulan. Lalu kamu siapa, tidak ada ibu bagimu?” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun bersabda, “Ada dua orang yang menyebut nasab mereka pada zaman Musa. Salah seorang dari mereka berkata, ‘Aku adalah fulan bin fulan (sampai dia menyebut sembilan orang leluhurnya). Lalu kamu siapa, tidak ada ibu bagimu?’ Yang lain menjawab, ‘Aku adalah fulan bin fulan bin Islam.'” Nabi bersabda, “Lalu Allah mewahyukan kepada Musa tentang dua orang yang membanggakan nasab mereka berdua. ‘Kamu, wahai orang yang menisbatkan dirimu kepada sembilan leluhur, semuanya di neraka dan kamu orang yang kesepuluh. Adapun kamu, wahai orang yang menisbatkan dirimu kepada dua orang di surga maka kamu adalah orang ketiga yang di surga.'”
Takhrij Hadis
Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya 5/128. Al-Bani dalam Silsilah Ahadits Ash-Shahihah (3/265), no. 1270 menisbatkannya kepada Ahmad dalam Musnad-nya, Adh-Dhiya’ dalam Al-Mukhtarah dan Baihaqi dalam Syuabul Iman. Al-Bani berkata, “Ini sanadnya shahih. Rawi-rawinya adalah rawi-rawi Syaikhanin, kecuali Yazid bin Abu Ziyad bin Abul Jaad. Dia tsiqah.”
Penjelasan Hadis
Tuhan kita memberitahukan tentang hakikat besar yang memiliki pengaruh mendalam kepada masyarakat seluruhnya. Dia memberitahu kita bahwa kita semua kembali kepada satu asal usul, bapak yang satu. Asal usul kita yang darinya kita diciptakan adalah tanah, dan bapak kita semua adalah Adam, “Kalian semua dari Adam dan Adam dari tanah.”
Oleh karena itu tidak ada keistimewaan bagi ras tertentu dengan melihat asal usul dari mana ia diciptakan. Apa yang diklaim bahwa ras ini dari keturunan Tuhan, atau bangsa atau suku ini memiliki darah biru. Semua itu adalah kebohongan dan kedustaan. Kebatilannya tidak kurang dari klaim yang menyatakan bahwa asal usulnya adalah emas atau perak, sementara manusia yang lain berasal dari tanah atau besi atau tembaga atau kuningan.
Hakikat ini, yaitu bahwa manusia berasal dari asal usul yang satu, jika orang-orang bisa meyakininya, maka hal ini menjadikan mereka bersikap tawadhu’ di antara sesama, sebagian tidak sewenang-wenang kepada yang lain, meski jenis warna dan negara mereka berbeda-beda. Perbedaan di antara manusia dalam bentuk, warna dan perbedaan mereka menjadi berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bukan kembali kepada keunggulan sebagian di atas sebagian yang lain, akan tetapi itu merupakan salah satu tanda kekusaaan Allah agar manusia saling mengenal dengan identitas masing-masing. Seandainya seluruh manusia berparas satu dan bernama satu, niscaya mereka tidak bisa saling mengenal dan membedakan. Allah Yang Maha Besar telah menetapkan hakikat besar ini pada firmannya, “Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.” (Al-Hujurat: 13).
Akan tetapi, hakikat besar ini yang semestinya menjadi landasan interaksi di antara anggota satu ras dan di antara ras-ras dan bangsa-bangsa sedang berangsur menghilang dari hati dan akal pikiran. Maka, kita melihat manusia dalam level pribadi, keluarga dan masyarakat, yang sebagian bertindak sewenang-wenang terhadap yang lain. Masing-masing mengklaim bahwa dia lebih baik, lebih unggul, dan lebih sempurna. Keunggulan ini dikembalikan kepada jenisnya atau warna kulitnya atau leluhurnya atau kotanya atau negaranya. Anda melihatnya berpijak kepada hal ini dengan memuji orang yang menisbatkan diri kepada mereka, membanggakan mereka, dan mencela yang lain. Dan terkadang terjadi perang yang ganas hingga memakan segalanya, hanya demi membela fanatisme jahiliyah yang dilandaskan kepada asal usul yang busuk dan kotor.
Seseorang tidak lebih baik dari lainnya dalam timbangan Islam dengan ketinggiannya, kegagahannya, ketampanannya, warnanya, kabilahnya, dan tempat tinggalnya. Keunggulan dalam Islam kembali kepada ketaqwaan dan kebaikan. “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.” (Al-Hujurat: 13).
Manusia mulia dengan kemuliaan leluhurnya yang bertaqwa, jika dia mencintai mereka, berjalan di atas jalan mereka dan melakukan apa yang mereka lakukan, sebagaimana diucapkan oleh orang yang mulia, anak orang yang mulia, anak orang yang mulia, anak orang yang mulia Yusuf bin Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim, “Dan aku mengikuti agama bapak, bapakku Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub. (Yusuf: 38).
Adapun membanggakan leluhur yang kafir, pemimpin yang fajir, dan kepemimpinan yang menebar kerusakan di bumi, semua itu merupakan kebatilan, juga potret penyimpangan seseorang dalam pemikirannya, asumsinya dan perbuatannya.
Ubay bin Kaab memberitahukan kepada kita tentang salah satu bentuk kebatilan ini yang terjadi pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Dua orang berselisih maka salah satu dari keduanya membanggakan kebesaran asal usul nasabnya, menyodorkan leluhur dan nenek moyangnya, dan mencibir temannya dengan ucapan, “Aku adalah fulan bin fulan. Lalu kami itu siapa, tidak ada ibu bagimu?”
Maka Rasulullah menyuapi orang yang membanggakan leluhurnya yang kafir ini dengan sebuah pelajaran yang membuatnya jera. Orang sepertinya akan jera mengulangi kebatilan ini. Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyampaikan kepada mereka bahwa di kalangan Bani Israil pada zaman Musa terdapat dua orang yang berselisih dan bersitegang. Lalu seorang dari keduanya membanggakan leluhurnya yang besar dari kalangan pengikut kekufuran. Dia menyebutkan sembilan moyangnya dan berkata, “Aku adalah fulan bin fulan bin fulan