Diriwayatkan dari Abu Darda’ r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obat. Setiap penyakit pasti ada obatnya. Maka berobatlah dan jangan berobat dengan benda haram’,” (Hasan, HR Abu Dawud [3874]).
Diriwayatkan dari Ummu Salamah r.a, ia berkata, “Anakku menderita sakit lalu aku buatkan air buah untuknya di cangkir. Ketika Nabi saw. masuk ternyata air buah tersebut sudah basi. Lalu beliau berkata, ‘Apa ini?’ Aku menjawab, ‘Anakku sedang sakit dan aku buatkan air buah untuknya.’ Lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menyembuhkan kalian dengan benda yang haram,” (Hasan lighairihi, HR Abu Ya’la [6966] dan Ibnu Hibban [1391]).
Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Utsman, “Bahwasanya seorang dokter pernah menanyakan kepada Rasulullah saw. tentang hukum katak yang dijadikan obat, maka beliau melarang dokter itu membunuh katak,” (Shihih, HR Abu dawud [387]).
Kandungan Bab:
Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata dalam kitab Zaadul Ma’aad (IV/156), “Pengobatan dengan benda haram adalah yang buruk, baik ditinjau dari segi akal maupun syari’at. Adapun dari segi syari’at maka berdasarkan hadits-hadits ini dan hadits lainnya. Adapun dari segi akal bahwasanya Allah SWT telah mengharamkannya, sebab benda haram itu kotor. Sesungguhnya Allah tidak mengharamkan sesuatu yang baik sebagai hukuman terhadap ummat Islam, sebagaimana mengharamkannya kepada bani Israel dalam firman-Nya, “Maka disebabkan kedzaliman orang-orang Yahudi Kami haramkan atas mereka memakan makanan yang baik-baik yang dahulunya dihalalkan bagi mereka,” (An-Nisaa’: 160).
Jadi Allah hanya mengharamkan bagi umat Islam ini benda-benda yang kotor saja dan Ia mengharamkan untuk memelihara dan menjaga mereka agar tidak memakannya. Oleh karena itu, sungguh tidak pantas mencari kesembuhan dari benda-benda yang dipenuhi berbagai penyakit. Kalaupun benda itu dapat berpengaruh membasmi penyakit, namun sebenarnya benda itu dapat menimbulkan penyakit lebih akut dari penyakit sebelumnya yang bersarang di hati sebagai efek samping yang ditumbulkan oleh kotoran yang terkandung pada benda tersebut, sehingga orang yanb berobat tersebut berusaha untuk menghilangkan sakit badan dengan cara menimbulkan penyakit pada hati.
Diharamkannya benda-benda kotor untuk dijadikan obat merupakan bukti bahwa dengan cara apapun benda tersebut harus dijauhi dan dihindari. Menjadikannya sebagai obat berarti menganjurkan untuk menyukai dan menyentuh benda tersebut. Hal ini bertolak belakang dengan maksud syari’at.
Dan juga benda kotor merupakan sumber penyakit sebagaimana yang telah dijelaskan oleh pemilik syari’at, oleh karena itu tidak boleh dijadikan sebagai obat. Dan juga dapat menghasilkan sifat jelek pada tabiat dan mental. Sebab tabi’at akan sangat terpengaruh oleh cara pengobatan yang diberikan. Apabila caranya kotor maka akan muncul sifat kotor pada tabiatnya. Ini apabila caranya yang kotor, bagaimana jika bendanya yang kotor? Oleh karena itu Allah SWT telah mengharamkan bagi hamba-Nya makanan, minuman dan pakaian kotor. Alasannya karena jiwa akan menyerap bentuk dan sifat yang kotor.
Dan juga, pembolehan berobat dengan benda haram, terutama jika nafsu condong kepada benda yang haram, merupakan sarana bagi nafsu untuk meraih syahwat dan kelezatan. Apalagi jika nafsu itu mengetahui bahwa benda haram itu berkhasiatu untuk menghilangkan penyakit dan mendatangkan kesembuhan. Tentunya itu suatu hal yang paling dia sukai.
Syari’at menutup semua kemungkinan agar nafsu tidak mendapatkan peluang ini. Tidak syak lagi bahwa antara menutup hal-hal yang menjurus ke syahwat dan yang membuka semua hal yang menjurus kepada syahwat merupakan perkara yang saling bertentangan.
Di sinilah letak rahasia mengapa tidak dibenarkan berobat dengan menggunakan benda-benda yang haram. Sebab syarat penyembuhan dengan obat adalah obat tersebut haruslah cocok, diyakini manfaatnya dan keberkahan yang dijadikan Allah pada obat tersebut hingga mampu menyembuhkan penyakit. Benda yang bermanfaat ialah benda yang mengandung berkah dan benda yang paling bermanfaat ialah yang paling banyak berkahnya. Seorang yang diberkahi dimanapun ia berada akan bermanfaat bagi orang lain.
Sudah dimaklumi bahwa keyakinan seorang muslim terhadap haramnya suatu benda percaya bahwa dia akan mendapatkan berkah dan manfaat dari benda itu, menghalanginya berbaik sangka terhadap benda itu dan tidak diterima oleh benda tabi’atnya. Semakin tebal keimanan seorang hamba maka semakin besar pula kebenciannya dan semakin buruk keyakinan terhadap benda tersebut dan nalurinya juga ikut membencinya. Jika dalam kondisi seperti ini ia menelan obat haram tersebut maka obat tersebut akan menjadi penyakit bukan obat. Kecuali jika pupus keyakinan akan kotornya benda tersebut, hilangnya prasangka buruk dan perasaan benci telah berubah menjadi suka. Ini berarti bertentangan dengan keimanan dan tentunya seorang mukmin tidak akan memakannya kecuali dengan keyakinan bahwa benda tersebut adalah penyakit.
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/202-204.