Hukum Barang Temuan yang Tidak Diketahui Pemiliknya

Apabila ada barang temuan yang sulit untuk diketahui pemiliknya, maka Nabi saw. menjadikannya sebagai hak si penemu barang, tidak ada perselisihan di antara para ulama dalam hal ini, dan dalam hukum tentang bolehnya menyedekahkan barang temuan tersebut. Namun, mereka berselisih pendapat dalam masalah bagaimana jika seandainya orang yang menemukan barang itu sudah kaya? Dalam hal  ini para jumhur ulama’ membolehkannya.

Terdapat atsar dari para sahabat yang berbicara tentang masalah ini, seperti hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud pada saat ia membeli  seorang pembantu. Suatu ketika pembantu itu keluar rumah untuk membayar sejumlah uang kepada seorang penjual, namun ternyata penjual itu sudah tidak ada di tempatnya dan ternyata pembantu Abdullah bin Mas’ud itu membagi-bagikan uang tersebut kepada fakir miskin seraya berkata, “Ya Allah, uang itu adalah milik tuan saya, jika tuan itu rela maka aku terbebas dari tanggungan, jika ia tidak rela maka aku yang akan menanggungnya, ia akan mendapatkan imbalan (yang sama dengan jumlah uang tersebut) kelak di hari kiamat. (Atsar yang diriwayatkan dari Imam Thahawi dalam kitab, “Syarkh al Ma’ani” (4/139) dan atsar ini termasuk dhaif.

Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa seorang laki-laki yang mengambil barang rampasan perang ketika terjadi peperangan di daerah Ciprus, mendatangi Muawiyah untuk mengembalikan barang rampasan perang tersebut. Lalu Mu’awiyah meminta fatwa kepada para tabi’in ketika itu dan fatwa mereka berbunyi, bahwa barang rampasan perang itu harus didermakan kepada prajurit perang. Maka laki-laki itupun mendatangi Mu’awiyah  kembali dan mengambil barang rampasan perang tersebut, karena sesungguhnya Allah SWT berfirman, yang artinya, “Dan bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian, “ (At Taghabun: 15)

Uang dan barang yang tidak diketahui pemiliknya, maka kewajiban untuk mengembalikan uang atau barang tersebut kepada pemiliknya pun menjadi gugur, maka hendaklah uang atau barang tersebut didermakan untuk kepentingan kaum muslimin. Sebab, derma atau sedekah termasuk  di antara perbuatan untuk kepentingan umat yang paling agung. Inilah dasar umum dari setiap masalah uang atau barang yang tidak diketahui pemiliknya. Seperti barang rampasan perang, atau uang setoran dan lain sebagainya. Menurut madzhab Imam Malik, Imam Ahmad, Abu Hanifah dan ulama lainnya, uang atau barang tersebut haruslah disedekahkan untuk kepentingan umat Islam.

Hal itu karena jika didermakan untuk kepentingan seperti ini, maka orang-orang fakirpun berhak mengambilnya, karena si pemberi ini adalah ganti dari pemilik barang  yang asli, berbeda halnya dengan orang yang mendermakan barang rampasan secara haram, sebab Allah tidak akan menerima sedekah  barang yang didapatkan secara haram. Sebagaimana Nabi SAW bersabda dalam sebuah hadits shahih, “Allah tidak akan menerima shalat yang tidak dalam keadaan suci dan tidak juga menerima sadaqah yang berasal dari barang yang didapat secara haram.” (H.R Muslim)

Meskipun demikian, harta yang didapatkan dengan jalan yang haram itu boleh diberikan kepada orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah, akan tetapi harta tersebut tidaklah disebut sebagai harta sedekah, dan Allah tidak menerimanya. Sedangkan apabila ia mengelurkan harta tersebut karena merasa berdosa atau karena merasa terpaksa, maka tindakannya tersebut sama seperti tindakan orang yang membayar hutangnya, atau mengembalikan suatu amanat kepada pemiliknya. Dan semua tindakan tersebut tidaklah termasuk dalam katagori sedekah, sebab Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah ada sedekah dalam barang yang didapatkan dengan cara haram.”

Sumber: Fatawa An Nisa, Syaikhul  Islam Ibnu Taimiyah