Al-Imam Ibnu Qayyim –Rahimahullah- dalam “Ad-Dau wad Dawa’” : Mafsadatnya liwath termasuk dari yang paling besarnya mafsadat dan hukumannya di dunia dan di akhirat termasuk yang paling besarnya hukuman.
Dan sungguh manusia telah berbeda pendapat: Apakah dia lebih besar hukumannya dari zina? Ataukah zina lebih besar hukumannya daripadanya? Ataukah hukuman keduanya sama? Hal ini terdiri dari tiga pendapat.
Pertama: Telah berpendapat Abu Bakar Ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Khalid bin Walid, Abdullah bin Az-Zubair, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Zaid, Abdullah bin Ma’mar, Az-Zuhry, Rabi’ah bin Abi Abdirrahman, Malik, Ishaq bin Rahawaih, Al-Imam Ahmad –yang paling shahihnya dari dua riwayat darinya- dan Asy-Syafi’y –pada salah satu pendapatnya-: Bahwasanya hukumannya paling berat daripada hukuman zina, dan hukumannya adalah bunuh pada setiap keadaannya baik dia itu yang sudah nikah atau belum nikah.
Kedua: Telah berpendapat ‘Atha’ bin Abi Rabah, Al-Hasan Al-Bashriy, Sa’id bin Musayyib, Ibrahim An-Nakha’i, Qatadah, Al-Auza’i, Asy-Syafi’y –sebagaimana yang tampak pada mazhabnya, Al-Imam Ahmad pada riwayat yang kedua darinya, Abu Yusuf dan Muhammad bahwasanya hukumannya dan hukuman zina sama.
Ketiga: Telah berpendapat Al-Hakam dan Abu Hanifah bahwasanya hukumannya selain zina (lebih ringan dari hukuman zina) yaitu ta’zir.
Al-Imam Asy-Syaukani –Rahimahullah– berkata di dalam “Ad-Darariy Al-Mudhiyah”: Dan sunguh ahlu ilmi telah berbeda pendapat tentang hukuman bagi yang melakukan liwath, setelah mereka bersepakat tentang keharamannya.
Pendapat Pertama: DIBUNUH
Berkata Al-Imam Al-Wadi’y –Rahimahullah- dalam “Ijabatus Sail”: “Ulama berselisih pendapat tentang hukuman bagi orang yang berbuat liwath. Yang paling shahih dari pendapat yang ada, hukumannya dibunuh, baik pelaku (fa’il) maupun obyek (maf’ul bih) bila keduanya telah baligh”.
Pendapat yang pertama ini juga yang dipilih oleh Syaikh kami An-Nashihul Amin Yahya bin Ali Al-Hajuriy –Hafizhahullah-.
Berkata Al-Imam Asy-Syaukani –Rahimahullah– dalam “Ad-Darariy Al-Mudhiyah” : Adapun keberadaannya orang yang mengerjakan perbuatan liwath dengandzakar (penis)nya hukumannya adalah dibunuh, meskipun yang melakukannya belum menikah, sama saja baik itu fa’il (pelaku) maupun maf’ul bih (partner) jika itu pilihannya, dengan dalil hadits dari Ibnu Abbas riwayat Ahmad, Abu Dawud , Ibnu Majah , At-Tirmidzi , Al-Hakim , dan Al-Baihaqi:
مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ
“Barangsiapa yang kalian mendapati melakukan perbuatan kaum Luth (liwath), maka bunuhlah fa’il (pelaku) dan maf’ul bih (partner)nya” Dan telah berpendapat orang yang terdahulu dari kalangan para shahabat: Bahwasanya orang yang melakukan liwath, hukumannya adalah dibunuh walaupun dia belum menikah sama saja hukumannya fa’ilatau maf’ul bih-nya. Ini juga pendapatnya Imam Syafi’i (dalam satu pendapat), Nashir, Al-Qasim bin Ibrahim. Dan dihikayatkan pendapat ini adalah ijma’ (kesepakatan) para shahabat.
Di dalam “Shohih Fiqhus Sunnah” penulisnya menyebutkan bahwa hukuman dengan bunuh ini ada tiga model (cara membunuh) bagi yang melakukanliwath dan model ini datang riwayatnya dari sebagian shahabat, yaitu:
- Dinaikkan di atas bangunan yang paling tinggi pada suatu negeri kemudian dilemparkan ke bawah sambil dihujani dengan batu, dan ini adalah pendapatnya Ibnu Abbas dan Abu Bakar –Radhiyallahu ‘anhuma-.
- Dilemparkan dari atas tembok, dan ini adalah pendapatnya Umar, Utsman dan Ali –radhiyahhu ‘anhum-
- Berkata Al-Munziry: Hukuman yang melakukan liwath adalah dibakar dengan api, ini adalah pendapat Abu Bakr, Ali, Abdullah bin Jubair dan Hisyam bin Abdul Malik (sebagaimana di dalam “Ad-Darariy Al-Mudhiyah” .
Di dalam “Shohih Fiqhus Sunnah” penulisnya memilih pendapat dibunuh, karena mencakup umumnya perintah dengan dibunuh, dan apalagi telah dipraktekkan oleh para shohahabat. Begitu pula Syaik kami An-Nashihul Amin –Hafizhahullah- berpendapat bahwa hukumannya adalah dibunuh, beliau mengatakan bahwa ini adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sebagaimana dalam “Majmu’ Al-Fatawa’”.
Pendapat Kedua: DIRAJAM
Diriwayatkan oleh Al-Baihaqy dari Ali bahwa dia pernah merajam orang yang berbuatliwath. Imam Syafi’y mengatakan: “Berdasarkan dalil ini, maka kita menggunakan rajam untuk menghukum orang yang berbuat liwath, baik itu muhshon (sudah menikah) atau selain muhshon (Lihat “Ad-Darariy Al-Mudhiyah”.
Dihikayatkan pula oleh Al-Baghawi dari Asy-Sya’bi, Az-Zuhri, Malik, Ahmad dan Ishaq: Bahwasanya orang yang berbuat liwath dirajam, baik orang itu muhshon (sudah menikah) atau selain muhshon (Lihat “Ad-Darariy Al-Mudhiyah”.
Dan diriwayatkan oleh Abu Dawud [dalam “Al-Hudud” dari Sa’id bin Jubair dan Mujahid dari Ibnu Abbas: Yang belum menikah apabila didapati melakukan liwath maka dirajam (Lihat “Ad-Darariy Al-Mudhiyah”.
Pendapat Ketiga: DIHUKUM SEPERTI ZINA
Sa’id bin Musayyab, Atha’ bin Abi Rabbah, Hasan, Qatadah, Nakha’i, Tsauri, Auza’i, Imam Yahya dan Imam Syafi’i (dalam pendapat yang lain), mengatakan bahwa hukuman bagi yang melakukan liwath sebagaimana hukuman zina. Jika pelaku liwathmuhshon maka dirajam, dan jika bukan muhson dijilid (dicambuk) dan diasingkan. [“Ad-Darariy Al-Mudhiyah”.
Pendapat Keempat: DI TA’ZIR
Berkata Abu Hanifah: Hukuman bagi yang melakukan liwath adalah di-ta’zir, bukan dijilid (cambuk) dan bukan pula dirajam [“Ad-Darariy Al-Mudhiyah”.
Ta‘zir adalah hukuman yang disyari’atkan atas orang yang berbuat dosa (maksiat), tidak berupa had dan tidak pula berupa qishoh. Yaitu dengan memberikan pelajaran berupa pukulan yang keras [atau dengan kurungan], yang diinginkan dengannya supaya lurus (sadar dan bertaubat).” (lihat Shohih Fiqhus Sunnah, Taisirul Allam danSyarhul Mumti’).
Di dalam “Ahkam As-Syar’iyyah”/(Darul Ifaq Al-Jadidah) bahwa Abu Hanifah memandang perilaku homoseksual cukup dengan ta‘zir. Hukuman jenis ini tidak harus dilakukan secara fisik, tetapi bisa melalui penyuluhan atau terapi psikologis agar bisa pulih kembali. Bahkan, Abu Hanifah menganggap perilaku homoseksual bukan masuk pada definisi zina, karena zina hanya dilakukan pada vagina (qubul), tidak pada dubur (sodomi) sebagaimana dilakukan oleh kaum homoseksual.
Sebagian ulama berpendapat bahwa yang melakukan liwath tidak ada had, karena hadits Ibnu Abbas adalah hadits dho’if (lemah), di dalam sanadnya ada ‘Amr ibn Abi ‘Amr. Al-Imam Abu Dawud –Rahimahullah- berkata : Telah menceritakan kepada kami Abdulloh bin Muhammad bin Ali An-Nufailiy, dia berkata: Telah mengkabarkan kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad, dari ‘Amr ibnu Abi ‘Amr, dari Ikrimah, dari Ibu Abbas, berkata Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam-:
مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ
“Barangsiapa yang mendapati orang yang melakukan perbuatan kaum Luth (liwath), maka bunuhlah fa’il (pelaku) dan maf’ul bih (partner)nya.”
Al-Imam Al-Bukhari –Rahimahullah– berkata: ‘Amr ibnu Abi ‘Amr adalah rowi yangshoduq (jujur), namun apabila dia meriwayatkan dari ‘Ikrimah maka haditsnya munkar.
Al-Imam Ahmad berkata: Semua riwayat ‘Amar bin Abi ‘Amr dari ‘Ikrimah adalah goncang.
Al-Imam Al-Wadi’iy Rahimahullah berkata di dalam “Ahaaditsu Mu’allah” : “Hadits tersebut (hadits Ibnu Abbas) jika kamu melihat kepada sanadnya maka kamu akan menghukumi bahwa itu adalah hadits hasan, akan tetapi riwayatnya Amr bin Abi Amr dari Ikrimah adalah goncang.”
Dan ada yang berkata: Anggaplah [kalau] hadits Ibnu Abbas tersebut adalah dho’if sebagaimana keterangan tersebut, tapi bukankah juga telah ada riwayat lain yang saling menguatkan satu sama lainnya? Maka dijawab: Memang benar ada riwayat lain, tapi tetap tidak akan bisa menjadi penguat.
Adapun riwayat lain itu adalah sebagaimana telah disebutkan oleh Al-Imam Abu Dawud –Rahimahullah-, dia berkata: Sulaiman bin Bilal telah meriwayatkan hadits dari ‘Amr ibnu Abi Amr, dari Ikrimah, semisal hadits di atas. Juga ‘Abbad bin Manshur telah meriwayatkan hadits dari Ikrimah, dari Ibni Abbas [yang dikatakan sebagai penguat hadits di atas]. Dan juga Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari Ibrohim dari Dawud Ibnul Hushoin, dari Ikrimah dari Ibni Abbas [yang dikatakan juga sebagai penguat hadits di atas]. Namun apakah benar dengan adanya jalur periwayatan tersebut hadits Ibnu Abbas akan terangkat menjadi hasan [atau shohih]?
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i –Rahimahulloh– berkata di dalam “Ahaditsu Mu’allah”, hal. 208: “ ‘Abbad bin Manshur adalah dho’if dan dia adalah mudallis. ” Juga beliau (Syaikh Muqbil) berkata: “Adapun hadits dari Dawud Ibn Al-Hushoin dari Ikrimah adalah munkar.”
Al-Imam Ibnul Madini berkata: Apabila Dawud Ibnul Hushoin meriwayatkan dari Ikrimah maka mungkar. Berkata Abu Zur’ah: Dawud Ibnul Hushoin adalah dhoif (lemah) (Lihat “Taqribut Tahdzib” hal. 180). Maka semakin jelaslah bahwa hadits tersebut dho’if. Wallahohu a’lam.
Adapun hadits: “Bunuhlah fa’il dan maf’ul bih-nya, baik yang sudah menikah atau belum nikah.” Diriwayatkan oleh Al-Hakim dari jalur Abdurrahman bin Abdillah bin ‘Umar dari Suhail dari bapaknya dari Abu Hurairah –Radhiyallahu ‘anhu-. Berkata Al-Imam Asy-Syaukani: Sanad hadits ini dho’if. (“Ad-Darariy Al-Mudhiyah”.
Adapun keberadaannya orang yang melakukan liwath adalah hukumannya dirajam, dengan dalil:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الَّذِي يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ قَالَ ارْجُمُوا الْأَعْلَى وَالْأَسْفَلَ ارْجُمُوهُمَا جَمِيعًا.
“Dari Abu Huroirah dari Nabi –Shollallahu ‘alaihi wa sallam– Beliau berkata tentang orang yang melakukan perbuatan kaum Luth (liwath): Rajamlah orang yang di atas (fa’il) dan yang di bawah (maf’ul bih), rajamlah kedua-duannya.”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Ibnu Majah, dia berkata telah menceritakan kepada kami Yunus bin Abdil A’la, dia berkata: telah mengabarkan kepadaku Abdulloh bin Nafi’, dia berkata: Telah mengabarkan kepadaku ‘Ashim bin Umar, dari Suhail dari ayahnya dari Abi Huroirah. Didalam sanad hadits ini terdapat seorang rowi yang bernama: ‘Ashim bin ‘Umar Al-Umari dan dia adalah rowi yang dho’if (Lihat “Irwa’ul Gholiil”: 8/18 dan “Taqrubut Tahdzib”, hal. 295), dan hadits tersebut didho’ifkan pula oleh Syaikh Al-Albani –Rahimahullah– (Lihat “Irwa’ul Gholiil”: 8/18).
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa hukuman bagi yang melakukan liwath sebagaimana hukuman zina, ini tidak bisa dijadikan pegangan karena hujjahnya lemah, diantara hujjah mereka adalah hadits dari Abu Musa Al-Asy’ary –Radhiyallahu ‘anhu-, dia berkata: Rasulullah –Shollallahu ‘alaihi wa sallam– berkata: “Apabila seorang laki-laki mendatangi (me-liwath-i) seorang laki-laki maka keduanya telah berbuat zina”. Akan tetapi hadits ini adalah dho’if dan telah didho’ifkan oleh Syaikh Al-Albani (Lihat “Irwa’ul Gholil”: 2349). Dan penulis kitab “Shohih Fiqhus Sunnah” berkata: “Hadits tersebut dho’if dan tidak bisa dijadikan hujjah (Lihat “Shohih Fiqhus Sunnah”: 4/48).
Jika ada lagi yang mengatakan: Orang yang melakukan liwath hukumannya adalah sama seperti hukuman orang yang berzina, karena Allah menamai liwath dengan fahisy, begitu pula zina Allah namai fahisy? Maka dijawab: Kesamaan nama bukanlah berarti memiliki kesamaan pula pada bentuknya, dan telah dimaklumi bahwa liwath sangat jauh berbeda dengan zina baik secara makna (pengertian) maupun secara prakteknya. Memang benar Alloh –Ta’ala- menyebutkan liwath dan sebagai fahisy, Alloh –Ta’ala-berkata sebagaimana dalam surat Al-Ankabut ayat 28:
وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ
“Dan Luth ketika berkata kepada kaumnya: Sesungguhnya kalian telah melakukan fahisy yang belum pernah seorang pun melakukannya sebelum kalian di alam ini”.
Alloh –Ta’ala- sebutkan zina juga sebagai fahisy sebagaimana dalam surat Al-Isro’ ayat 32:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kalian mendekati zina karena sesungguhnya zina itu adalah fahisy dan sejelek-jelek jalan”.
Penyebutan tersebut bukan berarti sama, baik itu ditinjau dari bahasa, istilah dan bahkan realita (praktek)nya. Dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah juga menyebutkan bahwa syirik adalah ke-dzolim-an (Lihat Al-Qur’an surat Luqman ayat 13 dan ( lihat pula “Al-Minhaju Syarhu Shohih Muslim Kitabul Adab”).
Dan orang yang tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya disebut juga dzolim dan melakukan kemaksiatan juga dinamai sebagai ke-dzholim-an apakah dengan penyebutan tersebut mengharuskan azabnya nanti ketika di akhirat sama? Tentu bagi orang yang aqidahnya masih di atas fitroh pasti dia akan mengatakan tidak ada kesamaan dan bahkan lebih jauh sekali perbedaannya. Maka jelaslah tidak bisa disamakan antara liwath dengan zina. Wabillahit taufiiq.
Adapun bagi yang melakukan liwath hukumannya adalah dibakar dengan api, maka pendapat ini menyelisihi larangan Allah –Ta’ala- dan Rasul-Nya Shallallohu ‘alaihi wa sallam, diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Dawud dengan sanad shahih dari hadits Hamzah Al-Aslamiy Rodhiyallohu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wa sallam berkata:
«إِنْ وَجَدْتُمْ فُلاَنًا فَاقْتُلُوهُ وَلاَ تُحْرِقُوهُ فَإِنَّهُ لاَ يُعَذِّبُ بِالنَّارِ إِلاَّ رَبُّ النَّارِ».
“Jika kalian mendapati si Fulan maka bunuhlah dan jangan kalian membakarnya, Karena sesungguhnya tidaklah boleh mengazab dengan api kecuali Robb api”.