Pengarang Manazilus-Sa’irin mensitir firman Allah berkaitan dengan masalah musyahadah (menyaksikan) ini,
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (Qaf: 37).
Allah menjadikan kalam-Nya sebagai peringatan. Tidak ada yang bisa mengambil manfaat dari kalam-Nya kecuali orang yang bisa
menghimpun tiga perkara ini:
- Harus memiliki hati yang hidup dan sadar. Jika tidak, maka dia tidak bisa mengambil manfaat dari peringatan.
- Harus menyimak dengan pendengarannya dan menghadapkannya secara keseluruhan kepada lawan bicara. Jika tidak, maka dia tidak akan bisa mengambil manfaat dari perkataannya.
- Harus menghadirkan hati dan pikirannya di hadapan orang yang berbicara dengannya. Dengan begitu dia menyaksikan secara langsung atau hadir. Jika hatinya tidak hadir dan melancong ke tempat lain, maka dia tidak akan bisa mengambil manfaat dari pembicaraan yang ada.
Sebagaimana orang melihat yang tidak bisa mengetahui hakikat obyek yang dilihatnya, kecuali jika dia memiliki kekuatan penglihatan dan memusatkan penglihatan ke obyek yang dilihat serta hatinya tidak sibuk dengan perkara lain. Jika salah satu dari perkara-perkara ini tidak dipenuhi, maka dia tidak akan bisa melihatnya.
Berapa banyak orang yang lewat di hadapanmu, namun engkau tidak merasa mereka lewat di hadapanmu, karena engkau sibuk dengan perkara yang lain.
Syaikh ( Ibnu Taimiyah ) berkata, “Musyahadah artinya runtuhnya runtuh secara pasti.” Musyahadah inilah yang meruntuhkan hijab dan bukan merupakan wujud dari keruntuhan hijab itu. Runtuhnya hijab diikuti dengan musyahadah.
Ada tiga derajat musyahadah, yaitu:
- Musyahadah ma’rifat, yang berlalu di atas batasan ilmu, dalam cahaya wujud dan berada dalam kefanaan kebersamaan. Ini merupakan landasan golongan ini, bahwa ma’rifat di atas ilmu. Ilmu menurut mereka adalah pengetahuan tentang data, sedangkan ma’rifat merupakan penguasaan tentang sesuatu dan batasannya. Dengan begitu ma’rifat lebih tinggi daripada ilmu. Ada pula yang me-ngatakan bahwa amal orang-orang yang berbuat baik berdasarkan ilmu, sedangkan amal orang-orang yang taqarrub berdasarkan ma’rifat. Di satu sisi pendapat ini bisa dibenarkan, tapi di sisi lain dianggap salah. Orang-orang yang berbuat baik dan orang-orang yang taqarrub beramal berdasarkan ilmu memperhatikan hukum-hukumnya.
Seka-lipun ma’rifatnya orangorang yang taqarrub lebih sempurna daripada orang-orang yang berbuat baik, toh keduanya sama-sama ahli ma’rifat dan ilmu. Orangorang yang berbuat kebaikan tidak akan menyingkirkan ma’rifat dan orang-orang yang taqarrub tetap mem-butuhkan ilmu. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah menasihati Mu’adz bin Jabal, “Engkau akan menemui suatu kaum dari Ahli Kitab. Maka hendaklah seruanmu yang pertama kepada mereka adalah sya-hadat la ilaha Wallah. Jika mereka sudah mengetahui Allah, kabarkan-lah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan shalat lima waktu sehari semalam.” Mu’adz bin Jabal harus membuat mereka tahu tentang Allah sebelum menyuruh mereka mendirikan shalat dan mem-bayar zakat. Tidak dapat diragukan bahwa ma’rifat seperti ini tidak seperti ma’rifatnya orang-orang Muhajirin dan Anshar. Manusia ber-beda-beda dalam tingkat ma’rifatnya.
- Musyahadah dengan mata kepala, yang memotong tali kesaksian, mengenakan sifat kesucian dan mengelukan lidah isyarat. Derajat ini lebih tinggi daripada derajat pertama. Sebab derajat pertama merupakan kesaksian kilat yang berasal dari ilmu mengenai tauhid, sehingga orangnya dapat melihat semua sebab. Sedangkan orang yang ada dalam derajat ini tidak memiliki tali kesaksian, bebas dari sifat-sifat jiwa, dan sebagai gantinya dia mengenakan sifat kesucian serta lidahnya tidak membicarakan isyarat kepada apa yang disaksikannya.
Ini merupakan kesaksian wu jud itu sendiri, tanpa disertai kilat dan cahaya, yang berarti derajatnya lebih tinggi.
- Musyahadah kebersamaan, yang menarik kepada kebersamaan, yang mencakup kebenaran perjalanannya dan menumpang perahu wujud. Menurut Syaikhn (Ibnu Taimiyah), orang yang ada dalam derajat ini lebih mantap dalam kedudukan musyahadah, kebersamaan dan wujud serta lebih mampu membawa beban perjalanannya, yang berupa berbagai macam pengungkapan dan ma’rifat.
Sumber : Madarijus Salikin oleh Al Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah