Larangan Memerah Susu Hewan Ternak Milik Orang Lain Tanpa Seizinnya

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar r.a, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kamu memerah hewan ternak milik orang lain tanpa seizinnya. Sukakah salah seorang dari kamu bila diambil tempat minumnya lalu dirobek-robek dan diambil isinya? Sesungguhnya hewan-hewan itu menyimpan susu dan makanan untuk pemiliknya, maka jangan ada orang memerah hewan ternak milik orang lain kecuali dengan izin pemiliknya,” (HR Bukhari [2435] dan Muslim [1726]).

Dari Abu Humaid as-Sa’idi r.a, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidak halal bagi siapapun mengambil tongkat milik saudaranya sesama muslim tanpa kerelaan hatinya.” Beliau memperingatkan hal tersebut karena kerasnya pengharaman Allah atas harta seorang Muslim terhadap muslim lainnya, (Shahih, HR Ahmad [V/425], Ibnu Hibban [5978], ath-Thahawi dalam Syarah Musykilil Aatsaar [2822], al-Bazzar [1733], al-Baihaqi [VI/100 dan IX/358]).

Kandungan Bab:

Larangan mengambil harta milik orang lain sesama Muslim kecuali dengan seizinnya dan atas kerelaan hatinya. Rasulullah saw mengkhususkan penyebutan susu dan tongkat karena orang-orang biasa meremehkannya, sehingga itu menjadi peringatan untuk tidak mengambil harta yang lebih berharga.

Al-Baghawi berkata dalam kitab Syarhus Sunnah (VIII/233), “Pendapat inilah yang diamalkan oleh mayoritas ahli ilmu, yaitu tidak boleh memerah hewan ternak milik orang lain kecuali dengan seizin pemiliknya.”

Sebagian ahli ilmu membolehkan secara mutlak memakan dan meminum susunya. Mereka berdalil dengan hadits Samurah bin Jundab r.a, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Jika salah seorang dari kamu mendatangi hewan-hewan ternak, apabila pemiliknya ada, maka hendaklah minta izin kepadanya. Jika diizinkan, maka silahkan ia memerah susunya dan meminumnya. Jika pemiliknya tidak ada, maka hendaklah ia memanggilnya tiga kali. Jika ada jawaban, maka mintalah izin kepada pemiliknya. Jika tidak, maka hendaklah Ia memerah susunya dan meminumnya tapi jangan membawanya,” (Shahih, HR Ahmad [V/425], Ibnu Hibban [5978], ath-Thahawi dalam Syarah Musykilil Aatsaar [2822], al-Bazzar [1733], al-Baihaqi [VI/100 dan IX/358]).

Hadits ini berlaku atas orang-orang yang terpaksa, ibnu sabil (musafir) atau pada masa-masa kelaparan. Berdasarkan hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash r.a, bahwa Rasulullah saw. pernah ditanya tentang kurma yang masih tergantung di dahanya. Beliau menjawab, “Siapa saja yang mengambilnya dari kalangan orang-orang yang membutuhkan, maka tidaklah mengapa asalkan tidak diambil untuk dibawa pulang,” (Hasan, HR Abu Dawud [1710], at-Tirmidzi [1289] dan an-Nasa’i [VIII/85]).

Bagi yang dibolehkan mengambilnya dalam keadaan darurat, maka janganlah Ia menyembunyikannya dan janganlah ia bawa pulang dan tidak ada sanksi atasnya, wallaahu a’lam.

Catatan:

Al-Baghawi berkata dalam Syarhus Sunnah (VIII/235) berkaitan dengan hadits di atas, “Hadits ini merupakan dalil penetapan qiyas dan menggolongkan sesuatu kepada yang sejenis dengannya. Rasulullah saw menyamakan kantung susu hewan-hewan ternak yang menjaga susu dengan ruangan yang menjaga barang-barang milik seseorang.

Dan hadits tersebut merupakan dalil jatuhnya hukum potong tangan atas orang yang memerah susu hewan-hewan ternak yang telah dikurung dalam kandang atau mencurinya dari tangan para penggembala apabila telah dijaga dengan penjagaan yang ketat sebagaimana halnya hukuman atas pencuri yang mencuri barang dalam rumah atau kamar.”

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 1/356-358.