Aku perhatikan banyak orang yang menjaga diri menghindari percikan najis, namun mereka tidak menjauhkan diri dari ghibah (menggunjing) mereka memperbanyak sedekah, namun mereka tidak ambil peduli dengan berbagai transaksi riba, mereka giat shalat tahajud pada malam hari, namun mereka menunda-nunda yang wajib dari waktunya, dan hal-hal yang lain yang panjang jika disebutkan satu persatu berupa menjaga amalan yang furu’ (cabang) namun menyia-nyiakan yang ushul (prinsip).
Aku mencari penyebabnya, dan aku menemukan ada dua hal:
Pertama, kebiasaan
Kedua, dominasi hawa nafsu untuk meraih apa yang di inginkan karena nafsu ini terkadang mendominasi, sehingga tidak memberi kesempatan telinga untuk mendengar dan tidak pula mata untuk memperhatikan.
Di antara contoh dari hal ini adalah bahwa saudara-saudara Nabi Yusuf Alaihi Salam berkata ketika mendengar seruan orang yang menyeru,
إِنَّكُمْ لَسَارِقُوْنَ
“Sesungguhnya kalian adalah orang-orang yang mencuri.” (Q.S Yusuf : 70)
Maka mereka menjawab:
لَقَدْ عَلِمْتُمْ مَّا جِئْنَا لِنُفْسِدَ فِي الْأرْضِ وَمَا كُنَّا سَارِقِيْنَ
“Sungguh kamu mengetahui bahwa kami datang bukan untuk membuat kerusakan di negeri ini dan kami bukanlah para pencuri.” (Q.S Yusuf: 73)
Dalam tafsir ayat diterangkan bahwa ketika mereka memasuki Mesir, mereka mengikat mulut unta mereka agar tidak memakan apa yang bukan milik mereka, seolah-olah mereka mengatakan, “Kalian telah melihat apa yang kami perbuat terhadap unta kami, maka bagaimana mungkin kami pencuri!” mereka lupa perbedaan sikap wara’ menghindari menyerobot makanan yang bukan milik mereka dengan perlakuan mereka menjerumuskan Nabi Yusuf ke dalam sumur dan menjualnya dengan harga tak seberapa!
Diantara manusia yang patuh dalam hal-hal kecil namun tidak dengan hal-hal besar. Mereka taat dalam hal yang tanggungannya ringan atau biasa saja, dan juga dalam hal yang tidak mengurangi sedikitpun dalam makanan dan pakaian menurut kebiasaannya.
Sampai-sampai aku pernah melihat seorang laki-laki yang suka melakukan kebaikan dan ibadah, ada orang yang menyerahkan kepadanya sejumlah harta untuk di gunakan membangun masjid namun kemudian orang itu mengambilnya untuk dirinya sendiri. Dia hanya menafkahkan untuk membangun masjid sesuatu yang sepele menggantikan sesuatu yang seharusnya dia bangun. Ketika hendak menjemput ajal, dia berkata kepada orang yang dulu memberi harta, “Jadikanlah diriku berada dalam kehalalan, karena aku telah berbuat begini dan begini!”
Kita juga melihat ada orang-orang yang meninggalkan berbagai dosa karena mereka memang jauh dari dosa tersebut. Mereka sudah terbiasa meninggalkannya. Namun kala mereka dekat dengan dosa tersebut, mereka tak mampu mengendalikan diri. Dan terdapat hal-hal yang mengherankan dalam diri manusia dalam masalah sepert ini, yang terlalu panjang untuk di sebutkan.
Kita telah mengetahui bahwa sekelompok kaum ulama Yahudi, mereka ridha menanggung beratnya ibadah dalam agama mereka, namun tatkala islam datang dan mereka mengetahui kebenarannya, mereka tak kuasa melawan hawa nafsu mereka untuk menghapusakan kepemimpinan mereka.
Maka sudah seharusnya bagi orang yang berakal untuk mewaspadai setan-setan hawa nafsu, dan cermat dengan apa yang bisa membatnya kuat menghadapi musuh-musuhnya, dan cermat dengan orang yang bisa menguatkannya.
Sumber: Shoidul Khatir karya Abu Faraj Ibnu Al-Jauzi