Surah Al-Baqarah, Ayat 103

Cover Tafsir

Dalam surat al-Baqarah ini, Allah I berfirman:

Î وَلَمَّا جَاءَهُمْ رَسُـولٌ مِّنْ عِندِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِّمَا مَعَهُمْ Ï “Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (kitab) yang ada pada mereka.” Maksudnya, sekelompok dari mereka melemparkan ke belakang kitab Allah yang berada di tangan mereka yang di dalamnya terdapat berita mengenai kedatangan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan pengertian lain, mereka meninggalkannya seolah-olah mereka tidak mengetahui sama sekali isinya. Kemudian mereka mengarahkan perhatiannya untuk belajar dan melakukan sihir. Oleh karena itu, mereka bermaksud menipu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan menyihirnya melalui sisir dan mayang kurma yang kering yang diletakkan di pinggir sumur Arwan. Penyihiran itu dilakukan oleh salah seorang Yahudi yang bernama Labid bin A’sham -semoga Allah melaknatnya dan mejelekkan-nya-. Tetapi Allah Ta’ala memperlihatkan hal itu kepada Rasul-Nya, Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam sekaligus menyembuhkan dan menyelamatkannya dari sihir tersebut. Sebagaimana hal itu telah diuraikan secara panjang lebar dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, diriwayatkan dari Aisyah Ummul Mukminin radhiallahuanha, yang insya Allah akan kami kemukakan pada pembahasan berikutnya.

Mengenai firman-Nya, Î وَلَمَّا جَاءَهُمْ رَسُولٌ مِّنْ عِندِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِّمَا مَعَهُمْ Ï “Dan setelah datang kepada mereka seorang rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (kitab) yang ada pada mereka.” As-Suddi mengatakan, “Ketika Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam datang kepada mereka, mereka menentang dan menyerangnya dengan menggunakan kitab Taurat, dan ketika terbukti tidak ada pertentangan antara Taurat dengan al-Qur’an, maka mereka pun melemparkan Taurat. Kemudian mereka mengambil kitab ‘Ashif dan sihir Harut dan Marut, dan jelas tidak sesuai dengan al-Qur’an. Itulah makna firman-Nya, Î كَأَنَّهُـمْ لاَ يَعْلَمُـونَ Ï “Seolah-olah mereka tidak mengetahui.”

Berkenaan dengan firman-Nya, Î كَأَنَّهُمْ لاَ يَعْلَمُـونَ Ï “Seolah-olah mereka tidak mengetahui,” Qatadah mengatakan, “Sebenarnya kaum Yahudi itu mengetahui tetapi mereka membuang dan menyembunyikan pengetahuan mereka itu dan mengingkarinya.”

Sedangkan sehubungan dengan firman-Nya, Î وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُوا الشَّيَاطِينُ Ï “Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan,” di dalam tafsirnya, dari Ibnu Abbas, al-‘Aufi mengatakan, “Yaitu ketika kerajaan Nabi Sulaiman itu sirna, sekelompok jin dan manusia murtad dan mengikuti hawa nafsu mereka. Namun setelah Allah mengembalikan kerajaan itu kepada Nabi Sulaiman, maka orang-orang tetap berpegang pada agama seperti sediakala (Islam). Kemudian Nabi Sulaiman menyita kitab-kitab mereka dan menguburnya di bawah singga-sananya. Setelah itu Nabi Sulaiman meninggal dunia, maka sebagian manusia dan jin menguasai kitab-kitab itu seraya mengatakan bahwa kitab ini berasal dari Allah yang diturunkan kepada Nabi Sulaiman, dan ia menyembunyikannya dari kami. Lalu mereka pun mengambil dan menjadikan kitab itu sebagai suatu ajaran. Maka Allah Ta’ala pun menurunkan firman-Nya:

Î وَلَمَّا جَاءَهُمْ رَسُولٌمِّنْ عِندِ اللَّهِ مُصَدِّقُُ لِّمَا مَعَهُمْ Ï “Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (kitab) yang ada pada mereka.” Mereka semua mengikuti hawa nafsu yang dibacakan oleh para syaitan. Hawa nafsu itu berupa alat-alat musik, permainan dan segala sesuatu yang menjadikan orang lupa berdzikir kepada Allah Ta’ala.

Dari Ibnu Abbas, Ibnu Abi Hatim meriwayatkan, “Ashif adalah juru tulis Nabi Sulaiman, ia mengetahui Ismul a’zham (nama yang paling agung). Dia mencatat segala sesuatu atas perintah Nabi Sulaiman, lalu menguburnya di bawah singgasananya. Setelah Nabi Sulaiman wafat, syaitan-syaitan itu mengeluarkan tulisan-tulisan itu kembali dan mereka menulis sihir dan kekufuran di antara setiap dua barisnya. Kemudian mereka mengatakan: ‘Inilah kitab pedoman yang diamalkan Sulaiman.’” Lebih lanjut, Ibnu Abbas menuturkan: Sehingga orang-orang yang bodoh mengingkari Nabi Sulaiman ‘alaihissalam dan mencacinya, sedang para ulama diam, sehingga orang-orang bodoh itu masih terus mencaci Sulaiman hingga Allah menurunkan ayat kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam:

Î وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُوا الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَاكَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِّنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا Ï “Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir) padahal Sulaiman tidaklah kafir (tidak mengerjakan sihir). Hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir).”

Dan firman Allah U, Î وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُوا الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ Ï “Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman.” Artinya, orang-orang Yahudi mengikuti -yang kepada mereka didatangkan kitab setelah mereka menolak kitab Allah yang berada di tangan mereka serta me-nyelisihi Rasulullah, Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam– apa yang dibacakan oleh syaitan-syaitan. Yaitu apa yang syaitan ceritakan, beritahukan dan dibacakan olehnya pada masa kerajaan Nabi Sulaiman. Digunakannya (على) karena kata Î تَتْلوْ Ï “dibacakan” pada ayat ini mengandung makna (dibacakan secara) dusta.”

Ibnu Jarir mengatakan, Î عَلَى Ï “pada” dalam ayat tersebut bermakna (فِـى) “di dalam”, maksudnya, dibacakan di masa kerajaan Sulaiman. Dia menukil dari Ibnu Juraij dan Ibnu Ishak. Mengenai masalah itu, penulis (Ibnu Katsir), katakan, “الـتَّضَمُّنُ” (pencakupan) dalam hal ini adalah lebih baik dan lebih utama. Wallahu a’lam.

Sedangkan mengenai ungkapan al-Hasan al-Bashri bahwa sihir itu telah ada sebelum zaman Nabi Sulaiman bin Daud merupakan suatu hal yang benar dan tidak lagi diragukan, karena para tukang sihir itu sudah ada pada zaman Musa ‘alaihissalam, dan Nabi Sulaiman bin Daud itu setelah Nabi Musa. Sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala: Î أَلَمْ تَرَ إِلَى الْمَلإِ مِن بَنِى إِسْرَاءِيلَ مِن بَعْدِ مُوسَى Ï “Apakah engkau tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil setelah Nabi Musa.” (QS. Al-Baqarah: 246) Kemudian Allah Ta’ala mengisahkan sebuah kisah sesudah ayat di atas yang di dalamnya disebutkan: Î وَقَتَلَ دَاوُدُ جَالُوتَ وَءَ اتَاهُ اللهُ الْمُلْكَ وَالْحِكْمَةَ Ï “Dan Daud (dalam peperangan itu) membunuh Jalut, kemudian Allah memberi-kan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah.” (QS. Al-Baqarah: 251) Dan kaum Nabi Shalih yang hidup sebelum Nabi Ibrahim mengatakan kepada nabi mereka: Î إِنَّمَآ أَنتَ مِنَ الْمُسَحَّرِينَ Ï “Sesungguhnya engkau adalah salah seorang dari orang-orang yang kena sihir.” (QS. Asy-Syu’ara’: 153) Menuruta pendapat yang masyhur kata Î الْمُسَحَّرِيْنَ Ï adalah bermakna المْمَسْحُورِينُ “yang terkena sihir.”

Adapun firman Allah Ta’ala:

Ï وَمَآأُنزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولآ إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلاَ تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ Î

“Dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan, ‘Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), karena itu janganlah engkau kafir.’ Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya.” Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai ayat ini. Ada yang berpendapat bahwa kata (مَا) dalam ayat ini berkedudukan sebagai “نَافِيَة” (yang meniadakan). Yang saya maksudkan adalah (مَا) yang terdapat pada kalimat, Î وَمَآأُنزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ Ï.

Al-Qurthubi mengatakan, kata (مَا) itu adalah “مَـا نَافِيَة” (kata “مَا” yang berfungsi meniadakan) sekaligus “مَا مَعْطُوْف” (berfungsi sebagai kata sambung) untuk firman Allah sebelumnya yaitu, Î وَمَاكَفَرَ سُلَيْمَانُ Ï.

Setelah itu Allah Ta’ala berfirman:

Î وَلَكِّنَّ الشَّيَاطِيـنَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَآأُنزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْن Ï “Tetapi syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat.” Yang demikian itu karena orang-orang Yahudi beranggapan bahwa sihir itu diturunkan oleh Jibril dan Mikail. Kemudian Allah mendustakan mereka, sedangkan firman-Nya, Î هَارُوتَ وَمَارُوتَ Ï merupakan “بَدْلاً” (penganti) dari kata ( الشَّيَاطِيْن ) “Syaitan-syaitan”.

Menurut al-Qurthubi, penafsiran demikian itu adalah benar, karena jamak itu bisa berarti dua seperti pada firman Allah, Î فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ Ï “Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara”, (QS. An-Nisaa: 11) maupun karena keduanya (Harut dan Marut) mempunyai pengikut, atau keduanya disebut di dalam ayat itu karena pembangkangan mereka. Menurut al-Qurthubi, perkiraan ungkapan ayat itu berbunyi, يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ (Syaitan-syaitan itu mengajari sihir kepada manusia di Babil, yaitu Harut dan Marut). Lebih lanjut al-Qurthubi berpendapat bahwa penafsiran ini adalah yang ter-baik dan paling tepat. Dan untuk itu beliau tidak memilih kepada penafsiran yang lain.

Ibnu Jarir meriwayatkan dengan sanadnya melalui al-‘Aufi, dari Ibnu Abbas, mengenai firman Allah Ta’ala, Î وَمَآأُنزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ Ï “Dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babil,” ia menuturkan: “Allah tidak menurunkan sihir”.

Masih mengenai ayat yang sama, Î وَمَآأُنزِلَ عَلَـى الْمَلَكَيْنِ Ï “Dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babil,” dengan sanadnya dari ar-Rabi’ bin Anas, Ibnu Abbas mengatakan, “Allah tidak menurunkan sihir kepada keduanya.”

Ibnu Jarir mengemukakan: “Dengan demikian ta’wil (penafsiran)ayat ini seperti berikut Î وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُوا الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ Ï “Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Nabi Sulaiman,” yaitu berupa sihir. Dan Nabi Sulaiman tidak kafir, dan Allah pun tidak menurunkan sihir kepada kedua malaikat tersebut, tetapi syaitan-syaitan itu yang kafir. Mereka mengajarkan sihir kepada manusia di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut. Dengan demikian kalimat, “Di negeri Babil, yaitu Kepada Harut dan Marut” merupakan ayat yang maknanya didahulukan dan lafadznya (redaksinya) diakhirkan.

Lebih lanjut Ibnu Jarir mengatakan, jika ada seseorang yang menanyakan kepada kami, “Apa alasan pendahuluan makna tersebut?” Maka alasan pendahuluan itu ialah, Î وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُوا الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ Ï “Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman,” yaitu berupa sihir. Dan Nabi Sulaiman tidak kafir, dan Allah pun tidak menurunkan sihir kepada dua malaikat tersebut, tetapi syaitan-syaitan itu yang kafir. Mereka meng-ajarkan sihir kepada manusia di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut. Dengan demikian, makna malaikat itu adalah Jibril dan Mikail, karena para penyihir dari kalangan orang-orang Yahudi menganggap bahwa Allah telah menurunkan sihir melalui lisan Jibril dan Mikail kepada Nabi Sulaiman bin Daud. Maka Allah Ta’ala pun mendustakan mereka dengan hal itu, dan Dia memberitahukan kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Jibril dan Mikail tidak pernah turun dengan membawa sihir, sedang Nabi Sulaiman sendiri terbebas dari sihir yang mereka tuduhkan. Bahkan Dia memberitahu mereka bahwa sihir merupakan perbuatan syaitan,dan syaitan-syaitan itu mengajarkan sihir di negeri Babil, dan juga di antara yang diajari sihir oleh syaitan adalah dua orang yang namanya Harut dan Marut. Maka Harut dan Marut merupakan terjemahan dari kata “manusia” dalam ayat ini, sekaligus sebagai bantahan atas mereka (orang-orang Yahudi). Demikianlah nukilan dari Ibnu Jarir berdasarkan lafadz darinya.

Mayoritas ulama salaf berbendapat bahwa kedua malaikat tersebut berasal dari langit dan diturunan ke bumi dan telah terjadi apa yang terjadi pada mereka berdua.

Mengenai kisah Harut dan Marut ini, telah dikisahkan dari sejumlah tabi’in, misalnya Mujahid, as-Suddi, Hasan al-Bashri, Qatadah, Abul ‘Aliyah, az-Zuhri, ar-Rabi’ bin Anas, Muqatil bin Hayyan, dan lain-lainnya. Dan dikisahkan pula oleh beberapa orang mufassir mutaqaddimin (ahli tafsir terdahulu) maupun muta’akhirin (yang belakangan). Dan hasilnya merujuk kembali kepada beberapa berita mengenai Bani Israil, karena mengenai hal itu tidak ada hadits shahih marfu’ yang memiliki sanad yang sampai kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak berbicara dengan hawa nafsunya. Dan siyaq (redaksi) al-Qur’an menyampaikan kisah itu secara global, tidak secara rinci. Dan kami jelas lebih percaya kepada apa yang disampaikan al-Qur’an, seperti yang dikehendaki Allah Ta’ala, dan Dia Mahamengetahui hakikat kejadian yang sebenarnya.

Firman Allah I, Î وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولآ إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلاَ تَكْفُرْ Ï “Sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan: ‘Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), karena itu janganlah engkau kafir’” Dari Ibnu Abbas, Abu Ja’far ar-Razi meriwayatkan, “Jika ada seseorang yang mendatangi keduanya yang menghendaki sihir, maka dengan tegas keduanya melarang peminat sihir tersebut seraya berkata, ‘Sesungguhnya kami ini hanya cobaan bagimu, karena itu janganlah engkau kafir.’ Yang demikian itu karena keduanya mengetahui kebaikan, keburukan, kekufuran, dan keimanan, sehingga mereka berdua mengetahui bahwa sihir merupakan suatu bentuk kekufuran. Sedangkan (الفِتْنَةُ) berarti cobaan dan ujian. Demikian juga firman-Nya yang menceritakan mengenai Nabi Musa ‘alaihissalam, di mana Allah Ta’ala berfirman: Î إِنْ هِيَ إِلاَّ فِتْنَتُكَ Ï “Hal itu hanyalah cobaan dari-Mu.” (QS. Al-A’raf: 155)

Sebagian ulama menjadikan ayat ini sebagai dalil untuk mengkafirkan orang yang mempelajari sihir, dan memperkuatnya dengan hadits yang di-riwayatkan al-Hafiz Abu Bakar al-Bazzar, dari Abdullah, ia mengatakan:

مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْسَاحِرًا، فَصَدَقَهُ بِمَا يَقُوْلُ، فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ e

“Barangsiapa yang mendatangi dukun atau tukang sihir, lalu ia mempercayai-nya, berarti ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam.” (Isnad hadits ini shahih dan memiliki beberapa syahid lain).

Dan firman Allah Ta’ala, Î فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَـا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ Ï “Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seseorang (suami) dengan istrinya.” Artinya, orang-orang pun mempelajari ilmu sihir dari Harut dan Marut, yang mereka gunakan untuk hal-hal yang sangat tercela, seperti membuat terjadinya perceraian antara pasangan suami istri, padahal tadinya mereka akur dan harmonis dan ini termasuk perbuatan syaitan. Sebagaimana yang dijelaskan sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dalam kitabnya Shahih Muslim, dari Jabir bin Abdullah, dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَيَضَعُ عَرْشَهُ عَلَـى الْمَاءِ، ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فِـي النَّاسِ، فَأَقْرَبُهُمْ عِنْدَهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ عِنْدَهُ فِتْنَةً، يَجِيْئُ أَحَدُهُمْ فَيَقُوْلُ: مَا زِلْتُ بِفُلاَنٍ حَتَّـى تَرَكْتُهُ وَهُوَ يَقُوْلُ كَذَا وَكَذَا، فَيَقُوْلُ إِبْلِيْسُ: لاَ، وَاللهِ مَا صَنَعْتَ شَيْئًا! وَيَجِـىْءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُوْلُ: مَا تَرَكْتُهُ حَتَّـى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَهْلِهِ فَالَ: فَيُقَرِّبُهُ وَيُدْنِيْهِ وَيَلْتَزِمُهُ وَيَقُوْلُ: نَعَمْ، أَنْتَ.

“Sesungguhnya syaitan itu meletakkan singgasananya di atas air, kemudian ia mengutus pasukannya kepada manusia, maka pasukannya yang paling dekat kedudukannya dengannya adalah yang paling besar godaannya kepada manusia. Seorang anggota pasukan datang seraya melaporkan, ‘Aku masih terus meng-goda si fulan sebelum aku meninggalkannya dalam keadaan ia mengatakan ini dan itu.’ Lalu iblis berkata: ‘Demi Allah, engkau tidak melakukan apapun terhadapnya.’ Setelah itu anggota yang lain datang melapor, ‘Aku tidak me-ninggalkannya sehingga aku memisahkannya dari istrinya’. Maka sang Iblis mendekatinya dan senantiasa menyertainya serta berkata, ‘Ya, engkaulah yang paling dekat kedudukannya denganku.’” (HR. Muslim)

Penyebab perceraian di antara suami istri yang dilakukan melalui sihir adalah dengan menjadikan suami atau istri melihat pasangannya buruk, tidak bermoral, menyebalkan, dan sebab-sebab lainnya yang dapat menyebabkan perceraian.

(المَـرْءُ) artinya “الرَّجُـلُ” (laki-laki) sedang untuk perempuan di katakan إِمْرَأَةٌ, masing-masing memiliki bentuk dua, tapi tidak memiliki bentuk jamak (plural).

Firman-Nya, Î وَمَـاهُم بِضَآرِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللَّهِ Ï “Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi madharat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah.” Sufyan ats-Tsauri mengatakan, artinya kecuali dengan ketetapan Allah.

Muhammad bin Ishak mengemukakan, “Kecuali jikaAllah membiar-kannya tidak terhalang dari apa yang diinginkannya (untuk menyihir).”

Mengenai firman-Nya, Î وَمَاهُم بِضَآرِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللَّهِ Ï “Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah,” Hasan al-Bashri mengatakan: “Benar, bahwa jika Allah kehendaki, maka Allah kuasakan (orang yang akan mereka sihir) kepadanya (tukang sihir) dan jika Allah tidak kehendaki, maka Allah tidak biarkan hal itu dan mereka tidak mampu menyihir kecuali dengan izin Allah, sebagaimana firman-Nya tersebut. Dan dalam sebuah riwayat dari Hasan al-Bashri disebutkan, bahwa ia mengatakan, “Sihir itu tidak dapat memberikan madharat kecuali bagi orang yang masuk ke dalamnya (mempelajari).”

Dan firman Allah Ta’ala, Î وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلاَ يَنفَعُهُمْ Ï “Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat.” Maksudnya, perbuatan itu dapat membahayakan agamanya dan manfaatnya tidak sepadan dengan mudharatnya.

Dia berfirman, Î وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَالَهُ فيِ اْلأَخِرَةِ مِنْ خَلاَقٍ Ï “Sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keberuntungan di akhirat.” Artinya, orang-orang Yahudi sudah mengetahui bahwa orang yang menukar kepatuhan kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan sihir tidak akan mendapat bagian di akhirat.

Sedangkan Ibnu Abbas, Mujahid, dan as-Suddi mengemukakan (bahwa makna مِنْ خَـلاَقٍ adalah), “مِنْ نَصِيْـبٍ dari (mendapat) bagian”.

Sumber: Diadaptasi dari Tafsir Ibnu Katsir, penyusun Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ishak Ali As-Syeikh, penterjemah Ust. Farid Ahmad Okbah, MA, dkk. (Pustaka Imam As-Syafi’i)