Larangan Memahami Agama dengan pemahaman yang Dangkal

'Ali bin Abi Thalib r.a. berkata, "Saya mendengar Rasulullah saw. Bersabda, ‘Di akhir zaman nanti akan muncul sekelompok orang yang masih muda usia dan lemah akal.[1] Mereka menyerukan sebaik-baik perkataan.[2] Mereka membaca Al-Qur’an tetapi tidak melewati kerangkangan mereka (tidak memahaminya). Mereka keluar dari agama laksana anak panah yang melesat dari busurnya.[3] Jika kalian menemukan mereka, maka bunuhlah mereka. Karena, telah tersedia pahala di sisi Allah pada hari Kiamat[4] nanti bagi siapa saja yang membunuh mereka’." Abu Sa'id al-Khudri r.a. berkata, ”Rasulullah saw. Bersabda, ’Sesungguhnya dari keturunan orang ini akan muncul sekelompok orang yang membaca Al-Qur’an tetapi tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka membunuhi orang Islam dan membiarkan para penyembah berhala. Mereka keluar dari Islam seperti anak panah yang melesat dari busurnya. Andaikata aku menemukan mereka, maka akan kutumpas mereka sampai ke akar-akarnya’!”[5][6]

Diriwayatkan dari Abu Waa-il, ia berkata: "Seorang lelaki bernama Abu Nahiik bin Sinan datang menemui 'Abdullah bin Mas'ud ra dan berkata: 'Wahai Abu 'Abdirrahman, bagaimanakah engkau membaca ayat ini? Dengan huruf alif yakni min maa-in ghairi aasin,[7] ataukah dengan yaa' yakni min maa-in ghairi yaasin?' Maka Ibnu Mas'ud pun balik bertanya: 'Apakah seluruh isi Al-Qur'an telah habis engkau pelajari kecuali huruf ini?' Ia menjawab: 'Sesungguhnya aku membaca surat-surat mufashshal dalam satu raka'at!' 'Abdullah bin Mas'ud menimpali: 'Apakah engkau komat-kamit seperti membaca sya'ir?[8] Sesungguhnya sejumlah orang membaca Al-Qur'an tapi tidak melewati kerongkongan mereka.[9] Akan tetapi manakala bacaan itu meresap ke dalam hati dan bersemayam di dalamnya, maka barulah memberi manfaat'."[10]

'Abis al-Ghifari berkata: "Rasulullah saw bersabda, ‘Segeralah beramal sebelum datang enam perkara berikut: Kepemimpinan orang jahil, menjamurnya aparat-aparat keamanan, pemutusan tali silaturrahim, hukum diperjual belikan, nyawa tidak ada harganya, munculnya generasi yang menjadikan Al-Qur'an sebagai nyanyian. Orang-orang mempersilahkannya maju padahal ia bukanlah orang yang paling paham dan paling berilmu. Mereka mempersilahkannya maju semata-mata karena ia bisa menyenandungkan Al-Qur'an buat mereka’!"[11]

Dari paparan tersebut di atas, dapat kita simpulkan isinya, yaitu sebagai berikut.

  1. Jahil tentang tujuan-tujuan syari'at dan membicarakannya atas dasar dugaan dan prasangka belaka serta mengomentarinya hanya dengan pandangan sekilas saja tidaklah termasuk ilmu yang berguna. Oleh sebab itu, Rasulullah saw mensifati kaum Khawarij –yang keluar dari Islam se-bagaimana anak panah melesat dari busurnya- bahwa mereka membaca Al-Qur’an tapi tidak melewati kerongkongan mereka. Yakni bacaan itu tidak meresap ke dalam hati mereka. Sekiranya meresap ke dalam hati, tentu akan bersemayam kokoh dan bermanfaat baginya sebagaimana dikatakan oleh 'Abdullah bin Mas'ud ra. Mereka berpuas diri dengan pemahaman yang dangkal. Mereka hanya berpatokan kepada makna harfiah atau arti tekstual saja.
  2. Sesungguhnya lemah pandangan dan lemah agama, minimnya penge-tahuan tentang agama dan mengetahui rahasia dan maksudnya menjadikan seseorang, ia menganggap dirinya masuk dalam barisan ulama atau fuqaha'. Padahal ia termasuk dalam deretan orang-orang jahil. Ia berkuatat dengan secuil ilmu yang ia miliki, tanpa pegangan dan tanpa ikatan. Ia hanya melihat secara garis besar saja dan belum meneliti lebih jauh nash-nash yang ada agar dapat menghubungkan antara kaidah-kaidah juz-'iyyah (substantif) dengan kaidah-kaidah kulliyyah (inti atau pokok). Ia bersandar kepada kaidah juz'iyyah untuk merubuhkan kaidah kulliyah. Sehingga sekilas terlihat ia seolah telah menyelami seluruh maknanya padahal ia tidak mengetahui inti yang dimaksud. Oleh sebab itu ia sangat mudah tersesat dan kehilangan arah serta kehilangan tujuan. Ia laksanakan orang yang berjalan tak tentu arah di malam kelam.
  3. Paham yang dangkal ini merupakan malapetaka yang menimpa kaum Muslimin. Hingga kelak orang-orang yang berpemahaman dangkal ini akan keluar bersama Dajjal –semoga Allah melindungi kita dari musibah yang ditimbulkannya dan memelihara kita dari syubhat-syubhatnya- sebagaimana yang telah dikabarkan oleh ash-Shaadiqul Mashduuq saw.

    'Abdullah bin 'Umar r.a. berkata: "Rasulullah saw. bersabda, 'Akan muncul sekelompok[12] orang yang membaca Al-Qur’an tetapi tidak melewati kerongkongan mereka. Setiap kali muncul mereka pasti ditumpas habis.[13] Hingga keluar Dajjal dalam barisan mereka'." [14][15]

  4. Malapetaka paham yang dangkal, yang telah melahirkan sikap ekstrim dan berlebih-lebihan dalam agama dan telah menjadi terminal tempat berkumpul bagi kaum Khawarij dahulu dan sekarang, inilah yang telah mengobarkan fitnah-fitnah (pertumpahan darah) dan membangkitkan perselisihan di sepanjang zaman.

    Diriwayatkan dari Abu Bakrah ra, bahwasanya ketika hendak berangkat shalat, Rasulullah saw bertemu dengan seorang laki-laki yang sedang sujud. Setelah menyelesaikan shalat, beliau masih mendapati laki-laki itu sujud. Lalu beliau bangkit dan berkata:

    "Siapakah yang bersedia membunuh lelaki itu?" Lalu bangkitlah seorang lelaki, ia menyingsingkan lengannya dan menghunus pedangnya dan mengayunkannya, kemudian ia berkata: "Wahai Rasulullah, ayah dan ibuku jadi tebusannya, bagaimana mungkin aku membunuh seorang lelaki yang sedang sujud dan bersaksi tiada Ilah yang berhak diibadahi selain Allah dan Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya?" Rasulullah kembali berkata: "Siapakah yang bersedia membunuh lelaki itu?" Lalu bangkitlah seorang lelaki, ia menyingsingkan lengannya dan menghunus pedangnya dan mengayunkannya sampai bergetar tangannya, kemudian ia berkata: "Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin aku membunuh seorang lelaki yang sedang sujud dan bersaksi tiada Ilah yang berhak diibadahi selain Allah dan Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya?" Maka Rasulullah pun berkata: "Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, andaikata kalian membunuhnya, maka itu merupakan awal fitnah (pertumpahan darah) dan sekaligus menjadi akhirnya'."[16]

    Dalam riwayat lain dari hadits Anas ra ditambahkan, Rasulullah saw berkata: "Siapakah di antara kalian yang bersedia membunuh laki-laki ini?" 'Ali berkata: 'Saya'." Rasulullah bersabda: "Engkaulah yang membunuhnya jika engkau masih menemukannya?" Lalu 'Ali pun segera mendatangi laki-laki itu namun ia tidak menemukannya, lalu ia kembali menemui Rasulullah. Rasulullah saw bersabda: "Apakah engkau telah membunuhnya?" 'Ali menjawab: 'Aku tidak tahu ke mana ia pergi!' Rasulullah saw bersabda: 'Laki-laki itu adalah kelompok pertama yang keluar dari ummatku. Kalaulah engkau membunuhnya, niscaya ummatku tidak akan saling berselisih'."[17]

  5. Salah satu contoh paham yang dangkal adalah kisah dialog yang terkenal antara 'Abdullah bin 'Abbas ra dengan kaum Khawarij, dalam dialog ini Ibnu 'Abbas yang bergelar turjumaanul Qur-an dan habrul ummah berhasil mematahkan kebohongan kaum Khawarij. Dialog ini juga menunjukkan kedalaman fiqih sahabat ra dan keluasan ilmu mereka serta kemantapan mereka dalam memahami firman Allah swt dan sabda Rasul-Nya.

    Ketika kaum Haruriyah[18] (salah satu sekte Khawarij) mengasingkan diri ke sebuah kampung, saat itu mereka berjumlah enam ribu orang, mereka sepakat melakukan pembangkangan terhadap 'Ali bin Abi Thalib ra. Orang-orang terus-menerus mendatangi 'Ali dan berkata: "Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya mereka telah membangkang terhadapmu." 'Ali berkata: 'Biarkanlah mereka; aku tidak akan memerangi mereka hingga merekalah yang lebih dahulu memerangiku, dan tidak lama lagi mereka akan melakukannya'."[19] Pada suatu hari, aku pun (yakni 'Abdullah bin 'Abbas r.a) datang menemui beliau sebelum shalat Zhuhur. Kukatakan kepadanya: "Wahai Amirul Mukminin, akhirkanlah pelaksanaan shalat hingga suhu udara dingin, barangkali aku bisa berdialog dengan mereka, kaum Khawarij." 'Aku mengkhawatirkan keselamatanmu'. Kata 'Ali. Saya katakan: 'Jangan khawatir, aku adalah orang baik-baik dan tidak pernah menyakiti orang lain'. Akhirnya, 'Ali pun merestuiku. Aku pun mengenakan pakaian dari Yaman yang bagus, memperbaiki penampilanku lalu datang menemui mereka di tengah hari. Saat itu mereka tengah makan siang. Belum pernah aku lihat orang yang lebih tekun beribadah daripada mereka. Kulihat dahi mereka menghitam karena terlalu lama sujud. Tangan mereka kapalan seperti tapak kaki unta. Mereka mengenakan pakaian apa yang engkau pakai itu!? Tanya mereka ketus. 'Abdullah bin 'Abbas menjawab: 'Apakah kalian mencelaku karena mengenakan pakaian ini? Sungguh, penampilan Rasulullah saw. yang terbaik yang pernah kulihat adalah tatkala beliau mengenakan pakaian dari Yaman!' Kemudian aku membacakan firman Allah SWT:

    "Katakanlah: 'Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rizki yang baik …'." (Al-A'raaf: 32).

    'Apa tujuanmu datang kemari?' selidik mereka. 'Abdullah bin 'Abbas menjelaskannya: 'Aku adalah utusan Sahabat Nabi saw. dari kalangan Muhajirin dan Anshar, utusan keponakan Rasulullah saw. dan menantu beliau –atas merekalah Al-Qur’an diturunkan. Mereka lebih mengetahui maksudnya daripada kalian. Tidak satu pun di antara kalian yang berasal dari mereka-. Aku ingin menyampaikan pesan-pesan mereka kepada kalian dan menyampaikan perkataan-perkataan kalian kepada mereka!' Salah seorang dari mereka berkata: 'Tidak usah diladeni orang Quraisy itu, sebab Allah SWT telah mengatakan:

    "Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar." (Az-Zukhruf: 58).

    Lalu beberapa orang dari mereka datang menemuiku. Dua atau tiga orang dari mereka berkata: "Mari kita berdialog dengannya!" Maka aku katakan: 'Sebutkanlah, mengapa kalian memusuhi Sahabat Rasulullah saw. dan keponakan beliau!' 'Karena tiga hal!' kata mereka. 'Apa itu?' tanyaku. Mereka berkata: 'Pertama, ia ('Ali) mengangkat manusia sebagai hakim dalam memutuskan hukum Allah. Padahal Allah telah berfirman:

    "Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah." (Yusuf: 40).

    Lalu buat apa manusia diikut sertakan dalam memutuskan hukum Allah? 'Ini masalah pertama' kataku. Mereka melanjutkan: 'Adapun masalah kedua, ia telah berperang namun tidak mengambil tawanan dan harta rampasan perang. Sekiranya orang yang diperanginya itu kafir; tentu mereka boleh ditawan. Namun sekiranya mereka adalah Mukminin, maka mereka tidak boleh ditawan dan diperangi.'[20] Ini masalah yang ketiga, kira-kira seperti ini maknanya, mereka berkata: 'Ia telah menghapus dirinya dari jabatan Amirul Mukminin, jika ia bukan Amirul Mukminin berarti ia adalah amirul kafirin.' 'Adakah masalah lain selain itu?' tanyaku. 'Cukup tiga masalah itu saja!' kata mereka.

    Maka kukatakan kepada mereka: "Bagaimana sekiranya kubacakan kepada kalian ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Nabi-Nya saw. yang menolak alasan kalian itu, apakah kalian bersedia rujuk?' 'Tentu!' jawab mereka. Maka aku pun berkata: 'Adapun ucapan kalian: 'Ia telah mengangkat manusia sebagai hakim dalam memutuskan hukum Allah,' saya akan membacakan kepada kalian satu ayat dalam Kitabullah, dalam ayat itu Allah menyerahkan keputusan hukum kepada manusia tentang denda sebesar delapan perempat dirham. Allah SWT memerintahkan supaya menyerahkan hukum kepada mereka dalam masalah ini. Coba simak firman Allah SWT berikut:

    "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil diantara kamu." (Al-Maa'idah: 95).

    Salah satu hukum Allah adalah menyerahkan keputusan hukum kepada manusia untuk menyelesaikan masalah tersebut. Sekiranya dia mau, dia boleh menetapkan hukum dalam masalah tersebut. Berarti Allah membolehkan kita menyerahkan hukum kepada manusia. Demi Allah, manakan yang lebih afdhal, menyerahkan keputusan hukum kepada manusia untuk mendamaikan dua pihak yang bertikai dan untuk kepada manusia untuk mendamaikan dua pihak yang bertikai dan untuk menghentikan pertumpahan darah ataukah menyerahkan keputusan hukum kepada manusia untuk menentukan nasib seekor kelinci?

    "Tentu saja yang pertama lebih afdhal!" jawab mereka.

    'Abdullah bin 'Abbas melanjutkan: 'Dan Allah menyerahkan keputusan hukum kepada manusia dalam menyelesaikan masalah suami isteri. Allah swt berfirman:

    "Dan jika kamu khawatirkan ada persengkataan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakim dari keluarga laki-laki dan seorang hakim dari keluarga perempuan." (An-Nisaa': 35).

    Demi Allah, aku bertanya kepada kalian, manakah yang lebih afdhal, menyerahkan keputusan hukum kepada manusia untuk mendamaikan dua pihak yang bertikai dan menghentikan pertumpahan darah ataukah menyerahkan keputusan hukum kepada manusia untuk menyelesaikan masalah perempuan?'

    "Tentu saja yang pertama lebih afdhal!" jawab mereka.

    'Abdullah bin 'Abbas r.a. berkata: "Apakah kalian bersedia menarik perkataan kalian?"

    "Ya bersedia!" jawab mereka.

    Aku ('Abdullah bin 'Abbas) berkata: "Adapun alasan kalian berperang tapi tidak mengambil tawanan dan harta rampasan perang, maka apakah kalian mau menawan Ummul Mukminin 'Aisyah r.a., lalu menghalalkan atasnya apa yang kalian halalkan atas selainnya sementara ia adalah Ummahaatul Mukminin? Jika kalian katakan: 'Kami menghalalkan atasnya apa yang dihalalkan atas selainnya berarti kalian telah kafir.' Jika kalian katakan: Ia bukan Ummul Mukminin, maka kalian telah kafir,' karena Allah swt berfirman:

    'Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang Mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka.' (Al-Ahzab: 6).

    Jadi, kalian berada di antara dua kesesatan. Silahkan pilih salah satu di antara keduanya? Apakah kalian bersedia menarik ucapan kalian?"

    "Ya kami bersedia!" jawab mereka.

    'Abdullah bin 'Abbas r.a. melanjutkan: "Adapun alasan ketiga: 'Ia telah menghapus dirinya dari jabatan Amirul Mukminin,' maka aku akan memberikan contoh dari orang yang kalian cintai: Sesungguhnya Rasulullah saw. pada hari Hudaibiyah saat menandatangani perjanjian gencatan senjata dengan kaum musyirikin, beliau berkata kepada 'Ali: 'Tulislah wahai 'Ali: 'Ini adalah perjanjian yang dibuat oleh Muhammad utusan Allah.'"

    Orang-orang musyrik itu berkata: "Kalaulah kami mengetahui bahwa engkau adalah utusan Allah tentu kami tidak memerangimu."

    Maka Rasulullah saw. berkata: 'Hapuslah tulisan itu wahai 'Ali! Ya Allah, sesungguhnya Engkau tahu bahwa aku adalah utusan-Mu. Hapuslah hai 'Ali dan tulislah: 'Ini adalah perjanjian yang dibuat oleh Muhammad bin 'Abdillah'."

    "Demi Allah, Rasulullah saw. tentu lebih baik daripada 'Ali, beliau telah menghapus dirinya dari jabatan kenabian, namun bukanlah berarti jabatan tersebut terlepas dari beliau! Apakah kalian bersedia menarik ucapan kalian?"

    "Ya kami bersedia!" jawab mereka.

    Maka dua ribu orang dari mereka pun rujuk kepada kebenaran, sementara mayorits dari mereka tetap bersikeras membangkang terhadap 'Ali. Mereka pun mati di atas kesesatan setelah diperangi oleh kaum Muhajirin dan Anshar[21].

  6. Oleh sebab itu memahami Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya haruslah dengan pemahaman Salaful Ummah, itulah paham yang paling benar yang tergolong ketaatan yang paling penting, amalan taqarrub yang paling penting dan karunia yang paling agung. Sebagaimana dikatakan oleh al-'Allamah Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam kitab Madaarijus Saalikin (I/41).

    Allah swt berfirman:

    "Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu, maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum(yang lebih tepat): dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu." (Al-Anbiyaa': 78-79).

    Allah menyebutkan kedua Nabi yang mulia ini dan memuji ilmu yang mereka miliki dan keputusan hukum yang mereka putuskan. Allah mengistimewakan Nabi Sulaiman dengan pemahaman dalam memutuskan kasus yang disebutkan dalam ayat di atas.

    'Ali bin Abi Thalib ra pernah ditanya: "Adakah sesuatu yang Rasulullah saw. khususkan bagimu daripada orang lain?" 'Ali menjawab: "Tidak ada! Demi Allah, yang telah menumbuhkan bebijian dan menciptakan jiwa! Kecuali pemahaman yang Allah anugerahkan kepada seorang hamba dalam Kitab-Nya dan yang tersebut dalam lembaran ini. Disebutkan di sini tentang masalah diyat –tebusan-, pembebasan tawanan dan tidak boleh mengqishash (menghukum mati) seorang Muslim karena membunuh orang kafir."[22]

    Dalam surat 'Umar yang dikirimkan kepada Abu Musa al-Asy'ari ra disebutkan: "Pegang teguhlah pemahaman yang benar yang telah dianugerahkan kepadamu!"[23]

    Pemahaman yang benar merupakan nikmat Allah SWT atas hamba-Nya. Cahaya yang Allah resapkan ke dalam hatinya. Dengan paham tersebut ia dapat mengetahui apa-apa yang tidak diketahui oleh orang lain. Ia dapat memahami kandungan sebuah nash yang tidak dapat dipahami oleh orang lain, meskipun mereka sama-sama hafal nash tersebut dan sama-sama tahu artinya.

    Pemahaman yang benar dari Allah dan Rasul-Nya merupakan alamat shiddiqiyah dan tanda pewaris Nabi (ulama). Dengan itulah tingkatan ulama dibedakan satu sama lain. Sehingga pemahaman satu orang dapat setara dengan pemahaman seribu orang. Coba lihat pemahaman yang dimiliki oleh 'Abdullah bin 'Abbas ra. 'Umar, para Sahabat peserta perang Badar dan lainnya bertanya kepada 'Abdullah bin 'Abbas tentang surat an-Nashr:

    "Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan." (An-Nashr: 1). 'Abdullah bin 'Abbas ra telah diistimewakan dengan pemahaman yang dalam tentang surat tersebut. Ibnu 'Abbas berkata: "Surat ini merupakan perberitahuan dari Allah SWT tentang kepergian Rasulullah saw. untuk selama-lamanya, pemberitahuan bahwa ajal beliau sudah dekat." 'Umar membenarkan perkataannya meskipun hal itu tersamar atas Sahabat yang lain.[24]

    Padahal 'Abdullah bin 'Abbas ra ketika itu adalah orang yang paling muda usianya di antara mereka. Sekiranya anda tidak memiliki paham yang dalam, tentu anda tidak akan tahu bahwa surat ini berisi pemberitahuan sudah dekatnya ajal Rasulullah! Paham ini semakin dalam hingga sampai pada tingkatan yang tidak dapat dicapai oleh paham-paham kebanyakan manusia. Mereka butuh perangkat lain disamping nash-nash yang ada. Mereka tidak cukup dengan nash-nash tersebut. Akan tetapi orang yang memiliki pemahaman yang dalam, nash-nash yang ada sudah cukup bagi mereka dan mereka tidak butuh perangkat yang lain lagi.

    Jika seorang hamba telah memiliki pemahaman yang benar lalu ditambah dengan niat yang lurus, maka sesungguhnya ia telah diberi kebaikan yang sangat banyak. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah dalam kitab I'laamul Muwaqqi'iin (I/87) sebagai berikut: "Paham yang benar dan niat yang lurus merupakan nikmat Allah yang paling agung yang dianugerahkan kepada seorang hamba. Bahkan tidak ada pemberian yang lebih utama dan lebih agung setelah anugerah Islam selain hal itu. Keduanya (paham yang benar dan niat yang lurus) merupakan pilar dinul Islam. Islam tegak di atas dua pilar tersebut. Dengan dua pilar itu seorang hamba akan terhindar dari jalan orang-orang yang dimurkai, yaitu orang-orang yang memiliki niat yang rusak. Dan akan terhindar dari jalan orang-orang yang sesat, yakni orang-orang yang memiliki paham yang rusak. Ia akan menjadi hamba yang memperoleh nikmat, yaitu hamba yang memiliki paham yang benar dan niat yang lurus. Merekalah ahli shirathul mustaqim. Dalam setiap shalat kita telah diperintahkan untuk meminta kepada Allah agar diberi petunjuk kepada jalan mereka.

    Paham yang benar merupakan cahaya yang Allah resapkan ke dalam hati seorang hamba. Dengan cahaya itu ia dapat membedakan antara yang bagus dan yang rusak, yang haq dan yang bathil, petunjuk dan kesesatan, yang lurus dan yang yang menyimpang. Niat yang lurus akan selalu membantunya dalam mencari kebenaran, bertakwa kepada ar-Rabb SWT saat sendiri maupun di tengah orang banyak. Akan membantunya dalam memutus keinginan mengikuti hawa nafsu, keinginan mengutamakan dunia, keinginan mencari pujian manusia dan keinginan berpaling dari ketakwaan."

    [1] Yakni usia mereka masih muda dan akal mereka masih lemah.
    [2] Zhahirnya mereka mengajak manusia kepada Al-Qur’an dan berhukum kepadanya, akan tetapi tanpa pemahaman yang benar dan tadabbur (hikmah).
    [3] Yakni mereka keluar dari agama seperti anak panah yang meleset dari busur setelah ditembakkan oleh si pemburu, tidak ada yang tertinggal sedikit pun dari anak panah itu.
    [4] HR Al-Bukhari (3611) dan Muslim (1066), dan ini adalah lafazh riwayat Muslim.
    [5] Yakni, menumpas mereka sampai habis hingga tidak tersisa satu pun dari mereka.
    [6] HR Al-Bukhari (5058) dan Muslim (1064), dan ini lafazh riwayat Muslim.
    [7] Maa-un ghairi aasin adalah air yang tidak berubah rasa dan warnanya.
    [8] Yakni karena terlalu cepat bacaannya tanpa memahami apa yang dibacanya.
    [9] At-tarquwah adalah tulang yang terletak antara pangkal leher dengan bahu. Maknanya adalah Al-Qur'an tidak melewati kerongkongan mereka sehingga sampai ke dalam hati. Bagian mereka dari Al-Qur'an hanyalah bacaan di bibir saja.
    [10] HR Muslim (722).
    [11] Hadits shahih, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh guru kami, Syaikh Al-Albani dalam Silsilatul Ahaadiitsish Shahiihah (979).
    [12] Sekelompok orang yang masih muda dan dangkal pemahaman.
    [13] Setiap kali muncul satu golongan dari mereka maka berhak untuk ditumpas habis sampai ke akar-akarnya.
    [14] Yaitu, barisan pasukan yang besar. Ini menunjukkan bahwa mereka akan keluar menyerang kaum Muslimin dengan membawa pasukan yang besar.
    [15] Hadists shahih, diriwayatkan oleh Ibnu Majah (174) dengan sanad shahih.
    [16] Hadits shahih diriwayatkan oleh Ahmad (V/42) dengan sanad shahih.
    [17] Hasan lighairihi, diriwayatkan oleh Abu Ya'la (III/1019-1020), dalam sanadnya terdapat perawi bernama Yazid ar-Raqqasyi, ia adalah perawi dha'if. Tetapi riwayatnya ini diikuti oleh Musa bin 'Ubaidah, diriwayatkan oleh Abu Ya'la (III/1025-1026), sanadnya juga dha'if. Akan tetapi secara keseluruhan hadits ini hasan, insya Allah.
    [18] Nisbat kepada tempat bernama Haruna', yaitu sebuah kampung sejauh dua mil di luar kota Kufah. Ditempat itulah kaum Khawarij pertama kali berkumpul setelah menyelisihi 'Ali bin Abi Thalib r.a. Lalu mereka dinisbatkan kepada tempat tersebut.
    [19] Sebagai pembenaran dari apa yang telah dikabarkan oleh Rasulullah saw. tentang mereka.
    [20] Begitulah hukum yang berlaku dalam memerangi kelompok pembangkang, yaitu tidak boleh ditawan para wanita dan anak-anak mereka dan tidak diambil harta mereka, tidak boleh membunuh orang yang terluka dari mereka, tidak perlu dikejar orang yang melarikan diri dari mereka dan tidak boleh memulai peperangan selama mereka tidak memulainya.
    [21] Riwayat ini shahih, dikeluarkan oleh 'Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (18678), Ahmad (I/342), Abu Ubaid dalam kitab al-Amwaal (444), an-Nasa-I dalam Khashaaish 'Ali (190), al-Fasawi dalam al-Ma'rifah wat Taariikh (I/522-524), al-Hakim (II/150-152), Abu Nu'haim dalam Hilyatul Auliya' (I/318-320), al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra (VIII/179), Ibnu 'Abdil Barr dalam Jaami' Bayaanil 'Ilm (II/103-104), Ibnul Jauzi dalam Talbiis Ibliis (halaman 91-93) dan Abul Faraj al-Jariiri dalam al-Majliisush Shaalibul Kaafi (I/558-560), seluruhnya dari jalur 'Ikrimah bin 'Ammar, ia berkata: "Abu Zamil telah menceritakan kepadaku, ia berkata: 'Abdullah bin 'Abbas telah menceritakan kepadaku, lalu ia menyebutkan kisah tersebut." Al-Hakim berkata: "Shahih, sesuai dengan syarat Muslim." Dan disetujui oleh adz-Dzahabi. Saya katakan: "Benar kata mereka berdua!"
    [22] HR. Al-Bukhari (111)
    [23] Surat tersebut adalah surat yang sangat agung dan telah diterima secara mufakat oleh para ulama. Saya telah mengumpulkan jalur-jalur sanadnya dalam kitab saya berjudul: "Min Washaayaas Salaf (halaman 57-58). Di situ saya mematahkan alasan-alasan kaum orientalis yang menyangsikan kebenaran surat tersebut. Al-'Allamah Ibnu Qayyim al-Jauziyyah telah mensyarah secara panjang lebar dalam kitab beliau I'laamul Muwaqqi'iin (I/85 sampai selesai). Beliau telah menjelaskan inti dari surat tersebut dengan penjelasan yang lengkap dan memuaskan hati Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
    [24] HR. Al-Bukhari (4970)

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 176-187.

Oleh: Khalid