Orang-Orang Yang Berhak Mendapatkan Zakat

Penerima Zakat

Dr. Ahmad Zain An Najah, MA

1. Fakir

Fakir adalah orang yang penghasilannya belum dapat menutupi separuh dari kebutuhannya.

Ukuran orang fakir miskin di Indonesia adalah orang yang pendapatannya tidak bisa mencukupi kehidupan sehari-harinya, atau orang yang pendapatannya di bawah standar yang telah ditentukan oleh pemerintah. Seperti ketidakmampuan keluarga tersebut untuk makan minimal dua kali sehari, atau menempuh pendidikan sembilan tahun, atau mendapatkan pelayanan kesehatan standar dan tak mampu membeli pakaian layak.

Ada juga yang menentukan kriteria orang miskin di desa dengan ciri-ciri sebagai berikut: Dalam sehari makan kurang dari 3 kali, penghasilan tidak tetap, tidak mempunyai sawah atau tegalan, hidup di rumah sederhana dari bilik bambu ukuran 6 x 4 meter persegi dan berlantai tanah. Termasuk para jompo, manula, dan para janda yang ditinggal mati suaminya.

2. Miskin

Miskin adalah orang yang penghasilannya baru bisa memenuhi separuh atau lebih dari kebutuhannya, tetapi belum bisa terpenuhi semuanya.

Zakat tidak boleh dibayarkan kepada orang yang menjadi tanggungannya, karena hal tersebut akan menyebabkan gugurnya kewajiban memberi nafkah kepadanya. Contoh :

  1. Seorang suami tidak boleh memberikan zakatnya kepada istri dan anak-anaknya yang masih dalam tanggungannya.
  2. Seorang anak tidak boleh memberikan zakatnya kepada orang tua yang menjadi tanggungannya.
  3. Seorang kerabat tidak boleh memberikan zakat kepada kerabat yang menjadi tanggungannya.

Sebaliknya, dibolehkan memberikan zakat kepada orang yang bukan di bawah tanggungannya. Contoh:

  1. Seorang istri boleh memberikan zakatnya kepada suaminya yang miskin.
  2. Seorang anak boleh memberikan zakat kepada orang tuanya yang miskin tapi hidupnya mandiri dan tidak dalam tanggungan anaknya.

3. Amil Zakat

Amil Zakat adalah orang yang mendapatkan tugas dari negara, organisasi, lembaga atau yayasan untuk mengurusi zakat. Atas kerjanya tersebut, seorang amil zakat berhak mendapatkan jatah dari uang zakat.

Amil Zakat yang berhak mendapatkan zakat adalah, yang memang profesi utamanya adalah mengurusi zakat. Jika dia memiliki pekerjaan lain, pekerjaannya tersebut dia anggap sebagai pekerjaan sampingan, yang tidak boleh mengalahkan pekerjaan utamanya, yaitu amil zakat.

Amil zakat ini harus diangkat secara resmi oleh negara, organisasi, lembaga, yayasan. Tidak boleh sembarang bekerja secara serabutan dan tanpa pengawasan. Dasar pengangkatan amil zakat ini adalah hadits Abu Humaid as-Sa’idi:

عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ الْأَزْدِ يُقَالُ لَهُ ابْنُ الْأُتْبِيَّةِ عَلَى الصَّدَقَةِ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي قَالَ فَهَلَّا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ بَيْتِ أُمِّهِ فَيَنْظُرَ يُهْدَى لَهُ أَمْ لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ بِيَدِهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَةَ إِبْطَيْهِ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ ثَلَاثًا

Dari Abu Humaid as-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu berkata: Nabi shallallahu a’laihi wasallam memperkerjakan seorang laki-laki dari suku al-Azdi yang bernama Ibnu Lutbiah sebagai pemungut zakat. Ketika datang dari tugasnya, dia berkata: “Ini untuk kalian sebagai zakat dan ini dihadiahkan untukku”. Beliau bersabda: “Cobalah dia duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya, dan menunggu apakah akan ada yang memberikan kepadanya hadiah? Dan demi Dzat yag jiwaku di tangan-Nya, tidak seorangpun yang mengambil sesuatu dari zakat ini, kecuali dia akan datang pada hari qiyamat dengan dipikulkan di atas lehernya berupa unta yang berteriak, atau sapi yang melembuh atau kambing yang mengembik”. Kemudian beliau mengangkat tangan-nya, sehingga terlihat oleh kami ketiak beliau yang putih dan (berkata,): “Ya Allah bukan kah aku sudah sampaikan, bukankah aku sudah sampaikan”, sebanyak tiga kali.“ (HR. Bukhari dan Muslim)

4. Muallaf

Muallaf adalah singkatan dari istilah “al-Muallaf Qulubuhum“ sebagaimana yang disebutkan al-Qur’an dalam surat at-Taubah, ayat : 60. Yang artinya adalah orang-orang yang hati mereka dilunakkan agar masuk Islam, atau agar keimanan mereka meningkat, atau untuk menghindari kejahatan mereka.

Pembagian Muallaf

Dari pengertian di atas, Muallaf yang berhak mendapatkan zakat terbagi menjadi tiga:

Pertama: Orang-orang kafir yang hati mereka sudah cenderung kepada Islam, atau diharapkan agar mereka masuk Islam, karena dengan masuknya mereka ke dalam agama Islam, diprediksi Islam akan menjadi lebih kuat.

Kedua: orang-orang kafir yang diharapkan agar menghentikan kejahatan mereka kepada kaum muslimin.

Ketiga: orang-orang Islam yang lemah imannya karena baru mengenal Islam, atau supaya mereka tidak keluar lagi memeluk agama lain.

5. Fi ar- Riqab

Fi ar-Riqab adalah budak belian. Maksud pemberian zakat kepada mereka bukanlah kita memberikan uang kepada mereka, tetapi maksudnya adalah memerdekakan mereka.

Yang termasuk dalam golongan Fi ar-Riqab adalah:

Pertama: Al-Mukatib, yaitu seorang budak yang ingin membebaskan dirinya dari tuannya, dengan cara membayar sejumlah uang kepada tuannya secara berangsur. Maka, zakat untuknya adalah dengan cara membantunya membayarkan kepada tuannya sejumlah uang agar dia bebas dari perbudakan, baik diberikan langsung kepada tuannya atau diberikan kepada budak tersebut, untuk kemudian diserahkan kepada tuannya.

Jika budak tersebut tidak mempergunakan uang tersebut sebagaimana mestinya, maka uang itu berhak untuk diambil lagi.

Kedua: Membebaskan budak secara langsung dengan uang zakat tersebut, walaupun dia bukan mukatib.

Ketiga : Seorang muslim yang menjadi tawanan perang orang kafir, boleh membayar tebusan dengan uang zakat agar dia terbebas dari tawanan.

6. Al-Gharimun

Al-Gharim adalah orang-orang yang dililit utang, sehingga dia tidak bisa membayarnya.

Al-Gharim ada dua macam:

Pertama: orang yang dililit utang karena mendamaikan dua pihak yang sedang berselisih. Orang seperti ini berhak mendapatkan zakat, walaupun dia sebenarnya orang kaya. Dalilnya adalah hadist Qabishah bin Muhariq al-Hilali bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

يَا قَبِيصَةُ إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ ثَلَاثَةٍ رَجُلٍ، تَحَمَّلَ حَمَالَةً، فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَهَا، ثُمَّ يُمْسِكُ

“Wahai Qabishah meminta-minta itu tidak boleh, kecuali bagi tiga orang, (diantaranya ) adalah seseorang yang menanggung beban orang lain, maka dibolehkan dia meminta-minta sehingga menutupi utangnya, kemudian dia berhenti dari meminta-minta “ (HR. Muslim)

Kedua: Orang yang dililit hutang untuk keperluan dirinya sendiri, seperti untuk nafkah keluarga, berobat, membeli sesuatu, atau yang lainnya.

Adapun orang kaya yang berutang untuk keperluan bisnis, maka ini tidak termasuk dalam katagori al-Gharim, sehingga tidak berhak mendapatkan zakat.

7. Fi Sabilillah

Yang dimaksud fi sabilillah adalah perang di jalan Allah untuk menegakkan kalimat Allah di muka bumi.

Fi sabilillah ini meliputi para mujahidin yang berperang melawan orang-orang kafir, pembelian alat – alat perang, dan sarana-sarana lain untuk keperluan jihad di jalan Allah.

Para mujahid berhak mendapatkan zakat, walaupun mereka sebenarnya kaya.

Sebagian ulama mengatakan bahwa orang-orang yang waktunya tersita untuk belajar ilmu agama, termasuk para santri di pesantren-pesantren sehingga tidak sempat untuk bekerja, mereka termasuk fi sabilillah, karena ilmunya akan bermanfaat bagi kaum muslimin.

Rasulullah shallallahu ‘laihi wassalam bersabda:

مَنْ خَرَجَ فِي طَلَبِ العِلْمِ فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللهِ حَتَّى يَرْجِعَ

Barang siapa yang keluar dari rumahnya untuk menuntut ilmu maka dia berada di jalan Allah hingga pulang.” (Hadits Hasan Riwayat Tirmidzi)

8. Ibnu Sabil

Ibnu Sabil adalah seorang musafir yang kehabisan bekal di tengah perjalanan, sehingga dia tidak bisa melanjutkan perjalanan atau kembali ke kampung halamannya. Orang seperti ini, walaupun dia kaya di kampung halamannya, berhak untuk mendapatkan zakat sekedarnya sesuai dengan kebutuhannya sehingga dia sampai tujuan.

*Penulis adalah Direktur Pesantren Tinggi Al-Islam, Pondok Gede, Bekasi. (ahmadzain.com)