JAKARTA (SALAM-ONLINE): Pembantaian di Mesir sungguh mengusik rasa kemanusiaan kita. Terlebih lagi tragedi pembantaia ini dilakukan junta militer Mesir di saat bulan Ramadhan. Tercatat lebih dari 200 korban gugur dan 4000 lebih luka-luka ditembak tentara dan apara kepolisan Mesir. Kejahatan kemanusiaan ini harus dihentikan.
Demikian ditegaskan oleh Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Ustadz Bactiar Nasir dalam jumpa pers MIUMI dan AQL Islamic Center di Jakarta, Senin (29/7/2013).
Untuk itu, MIUMI mendesak pemerintah Indonesia agar memprotes keras perlakuan biadab atas rakyat Mesir yang dilakukan oleh rezim junta Militer Mesir tersebut. “Apa yang terjadi di Mesir saat ini merupakan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, sekaligus pelanggaran HAM berat,” tegasnya.
“Mana suara negara-negara Barat yang selama ini mengagung-agungkan HAM?” tanya Bachtiar yang juga Direktur AQL Islamic Center ini.
“Apa salahnya rakyat melakukan demonstrasi damai. Mereka menuntut hak pemerintah yang sah dan terpilih secara demokratis, yakni Presiden Mursi, agar dikembalikan,” tandasnya.
Karenanya, MIUMI mengutuk keras tragedi ini, dan mempertanyakan mengapa rezim junta militer di Mesir, juga Suriah, lebih suka membantai rakyatnya sendiri ketimbang melawan tentara Zionis “Israel” yang telah berkali-kali melakukan agresi militer terhadap Gaza Palestina?
Bachtiar Nasir berharap kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono—meskipun harapan ini sulit terwujud—agar memainkan perannya. Bukan sekadar retorika ‘peduli’ dan jaminan keamanan WNI di Mesir.
“Apalagi, Mesir merupakan negara pertama yang mengakui kemerdekaan RI berkat lobi-lobi para tokoh Islam seperti Hasan Al Banna (Mursyid Aam Ikhwanul Muslimin saat itu), Syaikh Amin Al-Husaini (Mufti Palestina), dan Abdurrahman Azam Pasya (Sekjen Liga Arab), di saat banyak negara Barat hanya mengakui kemerdekaan RI versi penjajah Belanda , yaitu paska Konferensi Meja Bundar (KMB),” ungkapnya.
“Indonesia memiliki ‘utang’ sejarah yang begitu besar. Oleh sebab itu, saat inilah yang tepat bagi Indonesia untuk membayar lunas ‘utang’ tersebut,” pungkasnya