Belum lama ini, tidak sedikit bermunculan aktivis dan ulama yang mulai tenar. Sebutlah seperti Syaikh Muhammad Hassan, Dr. ‘Aid Al-Qarni, Khalid Al-Jundi, ‘Amru ‘Abdul Kafi, Mahmud Al-Mishri, Thariq Sudani, ‘Amru Khalid, Khalid ‘Abdullah, Muhammad Hidayah, dan selain mereka yang telah sangat berjasa kepada Islam dalam berdakwah mengingatkan manusia terhadap Sang Pencipta, mendekatkan manusia kepada kebenaran, mendorong mereka untuk masuk Islam, dan selalu menasihatkan untuk berbuat kebaikan.
Saya sebenarnya tidak suka menggunakan istilah “aktivis baru”, karena itu akan mengurangi tingkat kredibilitas mereka. Tapi, karena mereka sudah dikenal dengan istilah tersebut dan sudah menjadi ciri bagi mereka, maka saya menggunakan istilah tersebut sekadar untuk memperjelas saja. Setiap aktivis tersebut mempunyai kelebihan yang membedakan antara satu dengan lainnya. Mereka mempunyai metode berdakwah sendiri-sendiri. Dan, metode berdakwah mereka pun diikuti oleh murid-muridnya atau para pengikutnya.
Yang membedakan para aktivis yang sekarang lagi naik daun itu dengan aktivis lainnya adalah mereka mampu mengembangkan metode dakwahnya, dan selalu memperbaruinya. Mereka mempunyai metode yang sangat bagus dan baru.
Mereka menyampaikan materi dakwah dengan cara ilmiah dan berbobot. Ini merupakan cara yang tepat, menghubungkan materi dakwah dengan kehidupan manusia, dan perhatian terhadap permasalahan yang sedang dihadapi oleh umat. Semua itu menjadikan dakwah mereka mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam jiwa manusia.
Kalaulah bukan karena munculnya para aktivis tersebut pada beberapa tahun terakhir, sungguh dakwah Islam akan beku, ketinggalan zaman, sedikit pengaruhnya, dan kurang mendapat sambutan. Kalaulah bukan karena jasa mereka, sungguh dakwah ini belum akan sampai ke berbagai belahan masyarakat yang sebelumnya tak terjangkau oleh gerakan Islam lainnya.
Meskipun saya belum pernah berjumpa dengan salah seorang ulama yang sedang naik daun tersebut, tapi saya akan mengikuti semangat mereka bila hal itu memungkinkan bagiku. Tapi, yang memprihatinkan justru serangan terus-menerus ditujukan kepada mereka, baik dari sebagian kaum muslimin, orang-orang sekuler, ataupun dari orang-orang yang beraliran kiri pada waktu yang bersamaan. Dalam menghadapi serangan dari orang-orang sekuler pada hari ini, orang-orang ateis, ataupun orang-orang yang beraliran kiri zaman dahulu, mungkin kita sudah paham. Yang paling menyakitkan adalah serangan itu berasal dari pihak kaum muslimin secara khusus ataupun dari sebagian mereka secara umum.
Ada beberapa buku yang isinya jelas-jelas mencela Syaikh ‘Amru Khalid. Ada pula beberapa kaset yang menyerang mereka tanpa memperhatikan lagi etika dalam perselisihan. Bahkan, saya pernah membaca catatan seorang lelaki dalam makalah terakhirnya yang berupaya memerangi mereka secara anarkis dalam salah satu situs internet.
Dalam masalah ini, yang ingin saya katakan kepada para aktivis muslim umumnya dan terkhusus kepada orang-orang yang suka mencela, bahwa tidak ada seorang aktivis, berilmu, murabby, orang bijak, ataupun lainnya yang terlepas dari cacat ataupun aib. Hendaknya para aktivis berumalah dengan menggunakan kaedah, “Bila airnya sudah mencapai dua qullah, maka tidak najis.”
Mereka ibarat sungai mengalir dari sumber kebaikan dan keberkahan. Bila dakwah mereka sedikit ada cacatnya dan salahnya atau tergelincir, maka tidak akan membahayakan. Dengan izin Allah, sungai kebaikan mereka tidak akan kotor karena kesalahannya, dan aliran dakwah mereka tidak akan membahayakan, insya Allah. Tapi, dakwah mereka justru akan dinaungi kebaikan dan keberkahan selama mereka ikhlas karena Allah. Cahaya kerasulan dan kenabian akan menjadi petunjuk di bumi. Saya sendiri telah menulis buku secara terperinci dengan judul Apabila Airnya Mencapai Dua Qullah, maka Tidak Najis.
Saya berharap kepada kaum muslimin untuk membaca bab ini secara khusus dan keseluruhan buku ini secara umum. Karena, membaca dan mengaplikasikannya akan menghindarkan harakah Islamiah dan kaum muslimin secara umum dari menyebut-nyebut kekurangan mereka, menyakiti mereka, dan mencela mereka terus-menerus. Di samping itu, juga menghindari membahas kesalahan-kesalahan mereka dari mengabaikan kebaikan dan keutamaan mereka, dan tidak menghormati dan menghargai keutamaan mereka.
Hadits yang berbunyi: “Apabila airnya telah mencampai dua qullah, maka tidak najis” (HR Bukhari no. 3598) pada dasarnya digunakan dalam masalah fikih, pada bab thaharah (bersuci). Walaupun demikian, kaedah tersebut merupakan kaedah paling penting bagi para da’i dan murabby (pendidik) untuk bermuamalah dengan makhluk. Artinya, bila manusia mempunyai banyak kebaikan dan keutamaan, maka kesalahan dan cacat yang kecil tidak menghapus kebaikannya. Barang siapa kebaikannya melebihi kejelekannya, keutamaannya lebih banyak daripada kekurangannya, maka kekurangannya dimaafkan, karena ia mempunyai berbagai keutamaan, dan keburukannya akan terkubur oleh lautan kebaikannya.
Pada bab ini terdapat kisah seorang sahabat, Hatib bin Abi Balta’ah, yang sangat menarik. Ketika amalan kebaikan hijrahnya dan keikutsertaannya dalam Perang Badar bersama Rasulullah saw. lebih berarti daripada kesalahannya ketika membocorkan rencana Rasulullah dan para pasukannya untuk menaklukkan kota Mekah. Apa yang dikatakan Rasulullah kepada Umar ketika ia berkeinginan membunuh sahabat Hatib bin Balta’ah karena telah membocorkan rencana tersebut? “Wahai Umar, tahukah kamu mengenai pahala orang yang mengikuti Perang Badar? Sungguh Allah telah berfirman kepada orang-orang yang ikut Perang Badar, ‘Berbuatlah sesuka kalian, sungguh Aku telah mengampuni kalian’.” (HR Bukhari no. 4066).
Sahabat Utsman bin Affan pernah tidak ikut dalam Perang Uhud. Perbuatan itu sebenarnya tercela. Tapi, apa pengaruh perbuatan itu terhadap kebaikannya yang begitu besar? Beliau adalah seorang yang diridhai oleh Allah dan termasuk orang yang pertama kali masuk Islam, suaminya kedua anak Rasulullah saw., Ruqayah dan Ummu Kultsum, dan seorang yang malaikat malu dengannya. Beliau juga yang meluaskan masjid Nabawi dengan hartanya sendiri, membeli sumur dan diberikan kepada kaum muslimin, dan beliau juga termasuk yang sangat besar andilnya dalam mempersiapkan tentara ‘Usrah. Sehingga, pada hari itu Rasulullah saw. bersabda, “Apa yang dilakukan Utsman sesudah hari ini tidak akan mencelakainya.” (HR Tirmidzi no. 3634). Maknanya, kebaikannya yang begitu besar tidak akan ternodai oleh kesalahannya yang sedikit setelah hari itu. Kalaulah sekelompok orang dari Mesir dan Irak yang memberontak kepada Utsman mengetahui makna yang agung ini, sungguh mereka tidak akan melakukannya. Bagaimana mereka akan membunuhnya, sedang beliau adalah seorang yang memberi air minum kepada ribuan para sahabat dari sumur miliknya. Sungguh mereka adalah orang-orang yang bodoh lagi penghianat. Innalillahi wa innalillahi raji’un.
Perhatikan pula kisah Khalid bin Walid. Beliau telah salah membunuh Bani Jadzimah, sedang mereka adalah kaum muslimin. Bahkan, ketika itu Rasulullah saw. pun sampai berlepas diri dari perbuatannya tersebut. Tapi, kebaikannya pun menghapuskan kesalahannya. Beliau telah menghancurkan kelompok Musailamah Al-Kadzab dan orang-orang yang murtad. Kalaulah beliau tidak memiliki selain kebaikan ini, maka itu sudah cukup baginya. Karena jasanyalah, sebagian besar wilayah Arab dapat direbut kembali. Beliaulah yang telah menaklukan sebagian besar wilayah Syam dan Persia. Dan, berapa banyak bendera tauhid yang telah menyertai jihadnya?
Pengkiyasan yang sama disebutkan oleh Saifuddin Qathaz dan Dzahir Bibarsi, kiyasan yang terangkum dalam untaian kata yang sangat indah: “Bila orang yang kita cintai berbuat satu kesalahan, maka datang seribu kebaikannya sebagai syafa’at.”
Dalam menghukumi manusia, terkhusus para ulama, maka yang paling adil adalah orang yang mengaplikasikan kaidah Imam Ibnu Rajab Al-Hambali, “Orang yang munshif (adil) adalah orang yang memaafkan kesalahan kecil seseorang karena ia mempunyai banyak kebaikan.” Atau, bisa juga kita menggunakan kaidah syar’i dalam masalah fikih bahwa dalam menetapkan hukum adalah berdasarkan kebanyakan, tidak yang sedikit.
Oleh karena itu, bagi para aktivis yang sering mencela dan menyalahkan para ulama yang sedang naik daun tersebut ataupun ulama lainnya, hendaknya mereka mengingat perkataan sayyid (tuannya) para tabi’in, Sa’id bin Musayyib, “Tidaklah ada orang yang memiliki jabatan, kemuliaan, dan berilmu, kecuali pasti punya aib. Tapi, bila kebaikan dan keutamaannya lebih banyak daripada kekurangannya, maka kekurangannya dimaafkan karena keutamaannya.”
Adapun sekarang ini banyak aktivis yang mencela Syaikh Qardhawi dan Asy-Sya’rawi. Bahkan, mereka menulis berbagai buku yang isinya mencela para ulama. Sementara, kelompok lain ada yang mencela Syaikh Ibnu Baz rhm. dan Ibnu Utsaimin rhm. Padahal, mereka semua adalah para ulama, yang mengkhidmatkan hidupnya untuk Islam sejak tumbuhnya kuku-kuku mereka sampai akhir hayatnya.
Wahai pengikut sunnah, tidakkah kamu melihat orang Syi’ah, bagaimana mereka menghormati ulama mereka? Yang kita inginkan sebagai pengikut sunnah bukan untuk mengkultuskan mereka atau meyakini kemaksuman mereka seperti keyakinan Syi’ah. Tapi, yang kita inginkan hanyalah bagaimana etika kita terhadap para ulama yang hanya memiliki sedikit kesalahan.
Demi Allah, Qardhawi, Sya’rawi, ‘Abdul Halim Mahmud, Abu Zahrah, Al-Buthy, Dr. Salim Al-‘Awwa, Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin, dan Abdullah bin bayyah, sungguh mereka mempunyai kredibilitas dan kelebihan masing-masing. Lalu, apakah mereka yang suka mencela tidak malu dengan hal ini?
Saya tidak mengesampingkan akan adanya berbagai surat kabar, majalah, dan orang-orang sekuler yang selalu menyerang mereka siang dan malam. Tapi, mereka tidak pernah berhenti dalam berdakwah. Hal itu, karena mereka menginginkan supaya dakwah Islam ini maju dan berkembang. Setiap ulama atau aktivis pasti ada yang sukses dan ada pula yang gagal.
Ada pula ulama yang sudah banyak melakukan kebaikan, tapi tetap saja manusia di sekelilingnya memusuhinya. Hal ini terjadi pada masa Syaikh Asy-Sya’rawi. Beliau telah banyak berbuat baik dan telah membantu mengentaskan berbagai kemiskinan. Tapi, apa yang diperbuat oleh mereka? Sesudah itu, mereka kembali memusuhinya. Makalah ini tidak aku maksudkan untuk mereka, tapi aku maksudkan untuk para genarasi muda muslim, para aktivis yang aktif di berbagai gerakan Islam dan umumnya untuk kaum muslimin yang mengikuti sunnah. Saya berharap kepada mereka untuk selalu menyemangati dan membantu para ulama tersebut.
Sesungguhnya sudah menjadi hal yang wajar bila kita menyelisihi pendapat mereka pada beberapa hal tertentu. Contohnya antara Syaikh Qardhawi dengan Syaikh ‘Amru Khalid. Keduanya berbeda pendapat dalam masalah akan wajibnya pergi ke Denmark untuk memprotes pemuatan karikatur yang menghina Nabi Muhammad saw. Dan, menjadi kewajiban kita juga untuk mendiskusikan pendapat mereka dengan etika yang benar dan tetap menghormati mereka. Tapi, perlu kita ketahui bahwa bukan menjadi kewajiban kita untuk mencela pribadi mereka atau ragu terhadap niatan mereka, atau bahkan berburuk sangka kepada mereka. Karena, hal itu bagi orang awam bukanlah bagian dari akhlak islami, terlebih bagi para aktivis dan ulama.
Mulai hari ini, saya mengajak para aktivis secara khusus, dan para pengikut sunnah secara umum, untuk memulai dengan lembaran baru. Menjaga lisan kita dari mencela orang-orang yang berbuat kebaikan dan banyak memiliki keutamaan, sekalipun telah tampak jelas kesalahan mereka. Tapi, kebanyakan mereka berbuat salah karena setelah berijtihad, bukan karena hawa nafsu ataupun karena pembangkangan. Kalaulah kita menasihati mereka dengan sembunyi-sembunyi, dengan surat, atau dengan email khusus, maka sungguh itu lebih baik bagi kita dan mereka.
Kalaulah kita mendo’akan mereka dengan kebaikan, petunjuk, dan kebenaran, seperti halnya mereka telah mendo’akan kita, tentulah itu lebih baik bagi kita dan mereka. Tapi, kenapa kita tidak mencintai mereka sebagaimana mereka mencintai kita? Kenapa kita justru berusaha menjatuhkan martabat mereka? Padahal, kita itu orang yang sedikit kebaikannya. Adapun mereka begitu besar kebaikannya dalam berdakwah kepada Allah.
Adapun terhadap musuh-musuh Islam, seperti orang-orang sekuler, orang-orang kapitalis, atau lainnya, itu pembahasan lain. Di sini saya tidak membahas mereka. Tapi, yang paling utama saya perhatikan adalah mereka yang kita harapkan dapat berbuat baik untuk agama ini. Semoga Allah memberi taufik bagi seluruh aktivis dan ulama yang menyerukan kepada hidayah Allah dan kebenaran.
Sumber: Diadaptasi dari “Al-Harakah Al-Islamiyah wad Du’at Al-Judud”, Dr. Najih Ibrahim (Situs Almokhtsar, 10 Maret 2008)