Maksud daripada meminta izin adalah, meminta izin untuk memasuki area yang tidak dimiliki oleh orang yang meminta izin tersebut. Boleh juga dikatakan, bahwa meminta izin karena khawatir terlihatnya aurat sipemilik rumah.
Kebanyakan orang tidak mengetahui bagaimana etika seorang tamu terhadap penerimanya dan penerima tamu kepada tamunya, apakah hanya sebatas ketok pintu dan salam saja? Dalam Islam etika dan adab dalam bertamu telah dibahas, pembahasan ini terdapat dalam kitab Hadits dan Fiqih, seperti Imam Muslim membuat satu bab dalam kitab Shahihnya yang berjudul Bab Dhiyafah wa Nahwiha dan dalam kitab al-Umm dan al-Majmu’ dalam fiqih Syafi’i. Pada kesempatan ini akan kami bahas adab-adab bertamu sesuai tuntunan Rasulullah SAW, baik dengan selain mahram, maupun dengan mahram sendiri, yang disebut dengan isti’dzaanul khariji dan isti’dzaanul dakhili.
Isti’dzaanul Kharij
Maksud daripada isti’dzaanul khariji, yaitu meminta izin yang berlaku diantara sesama orang yang bukan mahram. Hukumnya adalah wajib. Allah SWT berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu selalu ingat.” [ QS. An-Nuur : 27 ].
Maksud dari kata “janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu” menunjukkan larangan masuk rumah tanpa izin. Oleh karena itu seharusnya ia memberitahu kepada sipemilik rumah dengan dimintai izin terlebih dahulu.
Kemudian maksud dari kalimat “sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya” menunjukkan bukti bahwa meminta izin itu hukumnya wajib.
Adab Minta Izin Khariji
Pertama: Berdiri didepan pintu. Sebagaimana dalam hadits Sa’ad bin Ubadah ra, ia berkata, “Seorang lelaki datang berkunjung kepada Nabi SAW , lalu ia berdiri didepan pintu beliau sambil meminta izin, lantas Nabi SAW bersabda: “Beginilah kamu seharusnya, sebab permintaan izin itu diperintahkan untuk menjaga pandangan mata.” (HR. Abu Daud)
Hikmah perintah tersebut tentunya sudah sangat jelas. Bahwa tidak berdiri menghadap pintu, agar disaat pintu tersebut dibuka, pandangan mata tidak melihat hal-hal yang tidak disukai oleh penghuni rumah jika terlihat oleh orang lain.
Kedua: Ucapan permintaan izin. Dari salah seorang lelaki dari Bani ‘Amir, bahwasanya ia meminta izin kepada Nabi SAW yang pada saat itu beliau sedang di dalam rumah. Lelaki itu berkata, “Boleh aku masuk?” lalu beliau bersabda kepada pembantunya, “Pergilah keluar dan ajarkanlah orang ini bagaimana cara meminta izin, lalu katakanlah kepadanya, “Ucapkanlah assalaamu’alikum, apakah aku boleh masuk.” (HR. Abu Daud)
Boleh menggunakan kalimat permintaan izin yang lain menurut kebiasaan setempat, dengan dua syarat: Pertama: diucapkan seperlunya, selama tidak bertentangan dengan syari’at dan tidak menyerupai orang-orang kafir. Kedua: tamu tidak mampu berbahasa arab. Dalam kondisi seperti ini ia boleh menggunakan bahasa lain sesuai dengan kebiasaan setempat. Namun jika ia mampu mengungkapkan kalimat “assalaamu’alikum”, maka ia wajib melakukannya, karena sebagai bentuk pengagungan terhadap bahasa al-Qur’an.
Ketiga: Jawaban tamu jika ditanya oleh pemilik rumah.Perlu diketahui, jangan menggunakan jawaban kata “saya!” jika pemilik rumah mengatakan “Siapa?”. Dari Jabir ra ia berkata, “Aku mendatangi Nabi SAW untuk membayar hutang yang ada pada ayahku. Lalu aku mengetuk pintu beliau dan beliau bertanya, “Siapa?” aku menjawab, “Saya”. Beliau berkata, “Saya..saya..” seakan-akan beliau tidak suka dengan jawaban tersebut. Ibnu Jauzy mengomentari, “bahwa dibencinya jawaban panggilan dengan ucapan kata “Saya”, sebab jawaban tersebut mengandung sikap sombong.”
Keempat: Aturan mengetuk pintu. Dianjurkan mengetuk pintu dengan perlahan dan beradab. Kita memiliki suri tauladan yang baik dari generasi pertama dari kalangan sahabat, dimana mereka meiliki adab yang tinggi ketika mengetuk pintu yang ia ingin temui. Para sahabat mengetuk pintu saja dengan menggunakan kuku mereka, sebagaimana Anas ra berkata, “Pintu-pintu rumah Rasulullah SAW diketuk dengan kuku.” Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Ini menunjukkan bagaimana ketinggian adab, dan tindakan seperti ini bagus bila si pemilik rumah berada dekat dari pintu. Adapun jika pemilik rumah berada jauh dari pintu, yang mana jika pintu tersebut dengan kuku dikhawatirkan tidak akan terdengar oleh pemiliknya, maka dianjurkan mengetuknya dengan cara lain menurut kebutuhan. Lantas bagaimana dengan zaman sekarang yang menggunakan peralatan canggih, seperti bell, apakah dengan itu gugurlah kewajiban meminta izin?. Maka pertanyaan ini harus diajukan dan dipelajari menurut nash-nash syari’at. Kebanyakan orang mengira bahwa dengan adanya peralatan-peralatan ini, meminta izin tidak lagi diperlukan. Sesungguhnya syari’at tidak melarang menggunakan semua peralatan ini selama tetap menjaga adab secara Islamiyah yang tinggi.
Kelima : Larangan meminta izin lebih dari tiga kali. Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini. Tetapi yang diambil pendapat yang kuat adalah bahwa batas meminta izin hanya tiga kali saja, sebagaimana Ibnu Hajar dan mayoritas ulama berkata bahwa, “Tidak boleh meminta izin lebih dari tiga kali.”
Berdasarkan dalil yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Ketika aku bertemu Abu Musa, Umar bertanya, “Apa yang mengahalangimu untuk masuk rumahku?”, aku katakan, “Aku sudah minta izin kepadamu tiga kali, namun aku belum juga diberi izin, kemudian aku pun pergi. Rasulullah SAW pernah bersabda: “Apabila salah seorang kalian meminta izin tiga kali dan belum juga diberi izin, maka hendaklah ia kembali pulang.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Isti’dzaanul Dakhili
Yang dimaksud dengan minta izin dakhili yaitu meminta izin yang berlaku diantara sesama mahram atau penghuni rumah.
Dalil yang menunjukkan mengenai keharusan meminta izin diantara sesama kerabat adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala QS QS. An-Nuur : 58. Pembantu atau budak, anak-anak mumayyiz yang belum baligh boleh masuk tanpa meminta izin, kecuali pada tiga waktu yang biasa membuka auratnya. Yaitu: Pertama, Sebelum shalat fajar. Dimana biasanya orang masih memakai pakaian tidur atau sedang menukarnya dengan pakaian untuk keluar. Kedua, Tengah hari ketika tidur siang. Dimana biasanya orang sedang menanggalkan pakaian dan kembali memakai pakaian tidur untuk beristirahat. Ketiga, Setelah shalat isya’. Dimana orang menanggalkan pakaiannya dengan pakaian malam.
Allah SWT menamakan di tiga waktu ini dengan aurat, karena biasanya aurat terbuka pada tiga waktu ini. Oleh karena itu, pembantu dan anak-anak yang hampir baligh harus meminta izin agar mereka tidak melihat aurat penghuni rumah tersebut. Walaupun kamar ibunya sendiri, maka ia harus meminta izin terlebih dahulu, tidak beradab jika seorang anak melihat aurat ibunya. Ada seorang lelaki bertanya kepada Hudzaifah, “Apakah aku perlu meminta izin kepada ibuku?” ia menjawab, “Jika kamu masuk tanpa izin terlebih dahulu kepadanya, kamu akan melihat sesuatu yang tidak kamu sukai.”
Terlebih dengan kakak perempuannya sendiri. Ada sebuah atsar dan sanad yang shahih menceritakan bahwa ‘Atha’ berkata, “Aku pernah bertanya kepada Ibnu ‘Abbas, “Apakah aku juga meminta izin kepada kakakku sendiri?” Ibnu ‘Abbas ra menjawab, “Ya.” Aku menimpali, “Tetapi ia tinggal dirumahku?” Ibnu ‘Abbas menjawab, “Apakah kamu suka melihatnya ketika ia telanjang?”. Wallahu ‘Alam Bisshawab [Nurwalad (Alumnus Ma’had ‘Aly Al-Islam)]
Referensi :
1. Tafsir qur’aanil ‘azhim, Ibnu katsir, jilid III.
2. Fathul baari, Ibnu Hajar al-Asqalani jilid XI.
3. Shahihul jaami’, Muhammad Nashiruddin al-Albani, no : 8016.