Membangun Komunikasi antar-Gerakan Dakwah Islam

ImageAlislamu.com – Pusat Studi Islam (PSI) At-Tazkia, Bekasi, menyelenggarakan Tabligh Akbar Nasional dengan tema “Membangun Komunikasi antar-Gerakan Dakwah Islam” di Masjid Jami’ Al-Azhar, Kalimalang, Bekasi (26/11). Acara ini menghadirkan empat tokoh nasional yang mewakili gerakan dakwah yang ada di negeri ini: Dr. Ahzami Samiun Jazuli (mewakili Partai Keadilan Sejahtera, PKS), Ust. Thoriquddin Abu Rusydan (mujahidin), Ust. Ahmad Shabri Lubis (Front Pembela Islam, FPI), dan Ir. Muhammad Khoththot (Hizbut Tahrir Indonesia, HTI).

Acara ini adalah acara yang kedua yang diadakan oleh At-Tazkia. Acara yang pertama diadakan di Islamic Center Koja, Jakarta Utara (02/06). Sedianya acara ini mengundang lima tokoh, tapi yang satu tidak hadir, yaitu Ust. Husein Umar (mewakili Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia). Dia berhalangan hadir karena sakit. Sementara, Wakil dari Front Pembela Islam (FPI) sedianya yang diundang adalah ketua umumnya, KH Habib Rizieq. Dia berhalangan hadir karena ke luar kota untuk kepentingan perdamaian di Poso.

Menurut Ketua Panitia, Drs. Muzayin Ikram, acara ini diadakan dengan dua alasan. Pertama, untuk berta’aruf (saling mengenal) misi dan visi tiap-tiap gerakan dakwah. Kita sama-sama mengenal bahwa gerakan dakwah ini punya thariqah (jalan), metode yang berbeda-beda. Ada yang menekankan pada pentingnya khilafah Islamiyah sebagai solusi problematika umat, ada yang memprioritaskan pentingnya dakwah melalui jalur politik, ada yang memprioritaskan amar ma’ruf nahi munkar. Tentu perbedaan metodologi ini perlu saling kita kenali sehingga diharapkan bisa disinergikan. Dengan mengenal tiap-tiap metode gerakan dakwah, kita berharap bisa saling memahami, saling bekerja sama, sehingga bangunan Islam ini menjadi sebuah bangunan Islam yang utuh.

Kedua, ishlahu dzaatil bain (memperbaiki dua kelompok Muslim yang mungkin berselisih paham). Mudah-mudahan gerakan-gerakan dakwah ini tidak ada selisih paham. Mudah-mudahan hanya persoalan komunikasi saja yang belum terbangun secara efektif sehingga kesannya berjalan sendiri-sendiri. Acara yang diselenggarakan oleh panitia ini merupakan kepedulian kita untuk melakukan ishlah dzatil bain, memperbaiki hubungan dua kelompok Muslim yang berselisih paham. Mengapa demikian? Karena, ishlah dzatil bain merupakan salah satu ibadah yang derajatnya lebih afdhal daripada shalat, lebih afdhal daripada puasa, lebih afdhal daripada shadaqah.

Berikut ini petikan selengkapnya dari keempat pembicara tersebut di atas.

Pembicara Pertama Dr. Ahzami Samiun Jazuli (Wakil dari PKS)

Assalamualaiku warahmatullahi wabarakatuh. Alhamdulillahi wakafa wassolatu wassalamu alannabiyyil mushtafa wa’ala alihi wasahbihi as shidqi wal wafa. Waba’d. qalallahu taala fi kitabihil karim, audzubillah minassaitaanir rajim, wa allafa baina quluubihim, law anfaqta maa fil ardhi jamii’a maa allafta baina quluubihim walakinnalllaha allafa bainahum innahu aziizun hakim.

Ikhwatal iman, Saudara-saudaraku seiman dan seakidah yang saya cintai karena Allah Ta’ala. Khususnya guru kita yang kita cintai, Ust. Abu Rusydan dan ustadz-ustadz yang lainnya yang masih di perjalanan. Semoga kita semua diridhai oleh Allah SWT.

Tema yang akan saya sampaikan adalah Dhauru Abna’il Harakah fi Tauhidil Ummah (“Kontribusi Pergerakan Dakwah dalam Menyatukan Umat”). Ini sudah barang tentu tema yang sangat besar, bukan sekadar sebuah wacana, tapi ini sebuah kurikulum kehidupan kita, yang setiap muslim wajib hukumnya untuk mempunyai kontribusi bagaimana menyatukan umat Islam.

Ada dua langkah untuk menyatukan umat Islam sebagai abna’il harakah (generasi pergerakan). Yang pertama adalah at-tau’iyah (memberikan kesadaran). Karena, tidak mungkin umat ini akan bersatu kalau tidak punya al-wa’yul islami (kesadaran Islam). Target dari sebuah keberhasilan tauiyah ini ada dua hal, sehingga tolok ukurnya jelas. Jangan sampai kegiatan-kegiatan keislaman kita ini tidak terukur, sehingga sulit nanti di dalam memberikan evaluasi dan mutaba’ah (pengikutan), meskipun keberhasilan dakwah seluruhnya adalah Allah yang menentukan. Pertama adalah al-fahmu, bagaimana kaum Muslimin memahami ajaran Islam. Memahami ajaran Islam ukurannya ada dua: (1) adalah ash-shahih, pemahamannya adalah benar. Artinya, manhajut talaqqi-nya (caranya atau metodologinya) harus benar, mashdarut talaqqi-nya (sumber ajarannya) harus benar: Al-Qur’an dan as-sunnah. (2) Aqwalul ulama dan sebagainya sudah barang tentu posisinya sebagai penunjang terhadap Al-Qur’an dan as-sunnah, bukan menggantikannya. Kebenaran cara atau metodologi dalam memahami kebenaran ukurannya dua: (1) as-shahih, (2) as-syamil, atau universal.

Sebenarnya kaum muslimin tidak semuanya jahilun, tidak tahu Islam. Mereka sebagiannya tahu Islam tapi pemahaman keislamannya juz’i (parsial). Abnaul harakah (generasi pergerakan) meningkatkan kualitas pemahaman umat yang parsial menjadi pemahaman yang syamil (menyeluruh). Nah, dengan pemahaman yang benar dan menyeluruh, maka janji Rasulullah saw. bahwa kebaikan umat ini akan terjadi, ini adalah sebuah keniscayaan.

Rasulullah saw. bersabda dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Muawiyah r.a. (yang artinya, red.), “Barang siapa yang dikehendaki oelh Allah kebaikan, niscaya Allah akan memahamkan dia tentang ad-din, Al-Islam.” Bunyi haditsya adalah yufaqqihhu bukan sekedar yufahhimhu atau yu’allimhu. Karena, alfiqihu adalah akhassu minal fahmi. Fiqih itu maknanya lebih mendalam daripada al-fahmu. Makanya ahlul lughah (ahli bahasa Arab) mengatakan alfiqihu ma’nahu al fahmud daqiiq, pemahaman yang mendalam. Sehingga, Abnaul harakah (generasi pergerakan) dituntut untuk memahamkan ajaran Islam, tentang ad-din bikaamilihi, Islam secara sempurna, meliputi dimensi fiqihul ahkam. Umat ini harus tahu hukum, sehingga seluruh ibadah kita akan diterima oleh Allah SWT jika benar dan ikhlas. Nah, benar ini di antara ukurannya adalah fiqihul ahkam, bagaimana kita shalat, berpuasa, berumah tangga. Sehingga, nanti di lapangan tidak ada aktivis dakwah yang menghalalkan segala cara dengan alasan untuk perjuangan Islam. Itu tidak akan terjadi karena umat sudah mengetahui hukum-hukum Islam.

Kedua fiqihul waqi (fiqih realitas). Karena, Islam adalah dinun waqi’i, agama yang realistis. Satu contoh, di awal-awal dakwah Rasulullah saw. dan sahabatnya diwajibkan qiyamullail (shalat malam). Ya ayyuhal muzzammil qumil layla illa qaliiila. Jadi, semalam suntuk untuk qiyamulail. Tetapi, apa yang terjadi dalam ayat terakhir, ayat 20 dalam surah Al-Muzammil, realitas umat Islam ke depan ternyata tidak sama dengan generasi awal. Di situ Allah SWT menggambarkan bahwasanya sebagian kaum Muslimin realitasnya ada yang sakit, ada yang mencari nafkah, ada yang berperang di jalan Allah. Sehingga, realitasnya menuntut untuk qiyamullail tidak harus semalam suntuk, cukuplah sebagian dari semalam. Sehingga ulama tafsri mengatakan (setelah turun ayat ke-20, ayat itu jaraknya dengan ayat pertama sampai 19 jaraknya satu tahun), setelah Nabi dan sahabatnya qiyamulail setiap malam, maka turun ayat yang ke-20 yang menggambarkan bagaimana shalat malam sunnah bagi sahabat dan tetap wajib bagi Rasulullah saw.

Ini adalah bentuk dari fiqih realitas. Kita harus tahu realitas yang ada di lapangan, sehingga seseorang tidak terjebak dalam ibadah yang parsial. Jangan shalat malamnya semangat tapi jihadnya tidak semangat, mencari nafkah tidak semangat. Shalat malam terus tapi di dalam mencari nafkah kerjanya utang, utang, dan utang. Mungkin dulu kuliahnya dari ushulud dain bukan ushuluddin, jadi utang terus. Padahal, kita jangan sampai utang kalau tidak terpaksa. Ini adalah fiqihul waqi’ (fiqih realitas) yang masyarakat harus paham.

Kemudian, memahami fiqihul ikhtilaf (fiqih perbedaan). Jangankan di zaman sekarang yang jamaah banyak, harakah banyak, partai banyak, majelis taklim banyak, mubaligh banyak. Pada zaman Rasulullah saw. saja, yang pemimpin jamaah cuma satu, itu pun terjadi perbedaan. Umar bin Khattab r.a. dan Hisyam r.a. berbeda dalam qiraat membaca Al-Qur’an. Sahabat yang satu dengan yang lainnya berbeda di dalam shalat asar dalam perang Bani Quraidzah. Artinya, ikhtilaf (perbedaan) itu ada.

Nah, dengan fiqihul ikhtilaf ini diharapkan umat memahami bahwasanya di sana ada perbedaan. Cuma, harus dipahami secara mendalam, jangan yang penting beda. Oleh karena itu, yang pertama, ada yang disebut dengan ikhtilaf tanawwu’, perbedaan yang bersifat fariatif. Umpamanya, membaca surat Al-Fatihah, ada yang bismilah ada yang tanpa bismillah. Ada yang bismillah dengan pelan, ada yang dengan keras. Atau, dalam shalat tarawih dan sebagainya. Juga, terjadi perbedaan dalam dakwah yang stressingnya (penekananya) mengangkat masalah khilafah, masalah aqidah as-shahihah, masalah jihad qitaly, masalah tarbiyah, masalah perbaikan negara melalui politik atau ekonomi. Ini adalah ikhtilaf tanawwu’.

Image Kemudian ada ikhtilaf yang tudhat, ikhtilaf kontradiktif yang tidak diperbolehkan di dalam Islam. Ini biasanya berkaitan dengan sesuatu yang prinsip. Contoh, tidak boleh kita berbeda di dalam masalah pembelaan. Ada permasalahan di dunia ini setelah konspirasi global sejak dulu sampai sekarang sudah terjadi, sebagian kaum Muslimin sebagiannya komitmen membela Islam, sementara ada sebagian kaum Muslimin membela orang kafir. Sudah tentu di dalam al-jihad, perang, tidak diperbolehkan perbedaan seperti itu. Jangan, umpanya, ada seseorang yang masih mengaku beragama Islam, lengket (mesra sekali) dengan orang kafir. Ketika diingatkan kenapa kok kamu begitu mesra terus-terusan dengan orang kafir, pakai dalil juga. Sudah salah, pakai dalil. Katanya, gak apa-apa, kan Islam itu wa maa arsalnaka illa rahmatan lil alamin. Mereka tidak akrab sama orang Islam. Dengan Islam selalu beda, tidak mau dalam satu barisan. Sama orang kafir rahmatan lil alamin, sama orang Islam lakum dinukum waliyadin. Ini sering saya ulang di mana-mana, karena ini bahaya. Ini bentuk dari tafsir jalan lain bukan Jalalain, tafsir jalan lain yang menguntungkan musuh-musuh Islam. Nah, perbedaan seperti ini, tadhar (membahayakan) namanya. Ini tidak diperbolehkan.

Ungkapan yang mengurangi keindahan ukhuwah adalah ungkapan yang mengatakan al-haqqu wahid (kebenaran itu cuma satu). Al-haqqu min rabbika fala takunanna minal mumtarin (Kebenaran itu dari Rabbmu, maka janganlah sekali-kali kamu termasuk orang yang ragu). Sehingga tidak ada khilafiyah. Kalau golongan saya yang benar pasti kamu yang salah. Wah, ini kan berbahaya. Sekarang dibalik saja, Anda tau dari mana kalau kamu yang benar, jangan-jangan terbalik. Yang benar saya; yang salah kamu. Na’am al-haqqu wahid (benar, kebenaran itu cuma satu), dari Allah, tapi ada sebagian kebenaran yang nampak di hadapan ulama. Karena, ulama orang yang tau tentang Islam, bisa yata’addad, bisa lebih. Kebenaran menurut Imam Syafi’i rhm. bahwasanya shalat shubuh itu sunnahnya ada qunut. Ulama yang lain, Imam Hanafi, atau yang lainnya mengatakan tidak dikhususkan kepada waktu shubuh. Di mana saja ada bencana yang menimpa umat Islam, kita sunnah membaca qunut nazilah dalam shalat apa pun. Ini kan terjadi perbedaan, bahkan bukan antara satu ulama dengan ulama yang lainnya, antara satu orang alim sendiri sudah terjadi perbedaan. Imam Syafi’i rhm. mempunyai qaul jadid dan qaul qadim. Imam Ahmad bin Hanbal rhm. mempunyai riwayaat yang banyak, wahakadza (demikianlah).

Sehingga, ketika ada perbedaan kita tetap nyaman ketika berjamaah seperti ini, atau mendatangi pengajian seperti ini. Jangan sampai nanti masih ada ketika pengajian di masjid tertentu, manil ladzii yuhadir, siapa yang ceramah? Lah, ustadz dia, itu laisa minna, kita tinggal aja. Ahli bid’ah, kita tinggal, jangan didengar. Kalau begini Saudara sekalian … bisa membahayakan persatuan umat. Selama yang disampaikan adalah qaalallah qaalarrasul, maka kita dengarkan, siapa pun yang menyampaikan, selama itu saudara kita.

Kemudian, juga ada fiqhul awlawiyat (fiqih prioritas). Kerjaan kita banyak sekali, sementara potensi kita terbatas, tidak bisa merespon seluruh mutathallabatid da’wah, tuntutan-tuntutan dakwah. Maka, harus ada skala prioritas, mana yang lebih penting. Fardhu ‘ain lebih diutamakan daripada fardhu kifayah. Fardhu kifayah lebih diutamakan daripada yang sunnah, dsb.

Kemudian juga ada fiqhul muwazanah, fiqih ditimbang-timbang. Waazana yuwaazinu muwaazanatan. Di dalam kehidupan sehari-hari sering kita dihadapkan pada dua hal yang sulit untuk diambil. Umpamanya, ini sekedar contoh, di dalam kehidupan bernegara, ada tiga calon presiden, yang satu makhluknya a’udzubillah min dzaalik, yang satunya innalillahi wa inna ilaihi rajiun, yang satunya lagi astaghfirullahal ‘azhiim. Mana yang kita pilih? Dalam hal ini bukan memilih yang terbaik, karena memang pemerintahan itu harus ada pemimpin, maka yang dipilih bukan yang terbaik, tapi akhaffu dharuuraat, akhaffu dharuurain, mana yang lebih ringan bahayanya, bukan mana yang terbaik. Meskipun jangan sampai sebagai abnaul harakah (generasi pergerakan Islam) senang dikondisikan dengan pilihan-pilihan yang sulit. Kita harus mengondisikan pilihan-pilihan yang mudah, yassiru walaa tu’assiruu. Tapi, laa qadarallah, semoga Allah tidak menaqdirkan. Ketika kita dalam kehidupan tertentu, dalam ekonomi, politik, budaya, karena ini juga kaitan dengan dakwah, dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang sulit. Harus ditimbang-timbang mana yang ringan bahayanya. Nah, kalau yang bagus mana yang terbaik.

Kemudian, yang berkaitan dengan fiqhud da’wah (fiqih dakwah), ummat harus paham tentang fiqhud da’wah. Kalau fiqhud da’wah penekanannya bukan boleh atau tidak boleh, tapi bagaimana menyampaikan Islam secara benar dengan berqudwah kepada Rasulullah saw. Dan fiqih-fiqih yang kita sampaikan ini sekadar memudahkan, tidak membatasi, atau tidak berniat menafikan fiqih yang lainnya, atau berniat membikin-bikin fiqih, tidak! Ini sekadar untuk memudahkan.

Di dalam Islam, antara fiqih yang satu dengan fiqih yang lainnya itu harus menjadi sebuah kesatuan, jangan dihadap-hadapkan. Jadi, kalau bisa idealnya dijamak. Contoh, ketika seorang a’rabiy kencing di masjid, ketika sahabat marah, membentak orang yang sedang kencing, justru Rasulullah saw. sebagai qiyaadatul harakah, sebagai qaaidul harakah, justru yang diberi peringatan sahabatnya, bukan orang yang kencing. Kenapa? Dari mana kita bisa memahami? Dari pendekatan fiqhul ahkam? Atau, bagaimana kita memahami? Dari pendekatan fiqhul ahkam, orang ini baru semangat-semangatnya kencing, belum selesai. Kalau digertak, dia akan lari dan kencingnya ke mana-mana. Ini fiqhul ahkamnya. Fiqhud da’wahnya, ini orang kan baru pertama datang ke masjid, belum tau adabul masjid, belum tau etika bagaimana di rumah Allah. Kalau langsung dibentak begitu, kira-kira Bapak, Ibu besok datang lagi ke masjid? Laa, ma’assalamah (tidak, selamat tinggal). Jadi, kita harus memahami antara fiqhul ahkam dan fiqhud da’wah sehingga di dalam menyikapi itu benar.

Yang kedua, yang berkaitan dengan tau’iyah adalah, selain pemahaman umat ini harus benar, maka sikap pun harus benar. Ini kewajiban aktivis harakah agar umat betul-betul mempunyai mauqif (sikap) yang jelas.

Kalau kita lihat salafunash shalih, ilmu-ilmu beliau itu sebenarnya tidak terlalu jauh, miriplah. Antara Imam Ahmad bin Hanbal dengan Imam Syafi’i, dengan Imam Auza’i, dengan Imam Malik, dan sebagainya, mereka ilmunya hampir sama, tidak jauh beda. Apa yang menjadikan antara imam satu dengan imam yang lain lebih menonjol dalam dakwahnya? Perbedaannya sudah barang tentu karena takwa, tetapi yang jelas lagi adalah berkaitan dengan mauqif (sikap).

Image Contoh, pada zaman Ahmad bin Hanbal rhm. kenapa di zaman fitnah itu yang paling menonjol Ahmad bin Hanbal rhm., padahal ulama banyak, muhadditsun banyak, fuqaha banyak, ushuliyyun banyak. Ini karena ketegaran beliau dalam menyikapi fitnatul Mu’tazilah. Beliau tidak mau minta maaf kepada Mu’tazilah sekalipun dipenjara. Ini adalah mauqif (sikap). Dalam sejarah, tidak hanya ilmu yang dibangun, sikap yang tepat itu juga perlu dibangun. Oleh karena itu, umat harus punya mauqif. Di antaranya, sikap yang harus dipahami oleh umat adalah tentang al-walaa’, tentang loyalitas, tentang keberpihakan.

Tidak bisa kita nafikan bahwa ikhwan (pria) dan akhwat (wanita) ada yang berafiliasi kepada jamaah tertentu, partai tertentu, tapi yang harus dipahami adalah loyalitas keimanan. Loyalitas kita ukurannya adalah keimanan. Jangan loyalitas ukurannya adalah jamaah, partai, atau organisasi, meskipun itu penting. Tapi itu sekadar wasilah. Jadi, jangan sampai, umpamanya, dalam acara seperti ini ada sebagian orang mesranya kalau dalam satu jamaah. Kalau satu jamaah, masya Allah … senyumnya utuh. Begitu ketemu dengan jamaah yang lainnya, sama-sama Islamnya, senyumnya tidak utuh.

Wala’ (loyalitas) kita adalah wala’ keimanan. Ayatnya jelas, iman. Ayat 5 surat 5, Al-Ma’idah itu jelas. Jadi, wala’ kita adalah wala’ keimanan, bukan wala’ kepada jamaah atau partai, meskipun boleh-boleh saja wala’ kepada jamaah dan partai. Tapi, pada keimanan harus di atas segalanya.

Berikutnya, loyalitas kita adalah kepada kebenaran, kepada Islam, bukan kepada kepentingan. Jangan kedekatan kita siapa yang memberi kita, siapa yang memberikan kesempatan kepada kita. Sehingga, walaupun harakah kita berbeda atau masih berbeda, berbeda dalam hal tertentu sudah barang tentu, tetap saja wala’ kita kepada Muslimin.

Kemudian sikap ukhuwwah. Contoh sikap ukhuwwah, kemarin lebaran umpamanya, ada yang Senin ada yang Selasa. Ketika Saudara ikut dalam sidang itsbat, saya katakan tidak menggunakan kata mendukung atau tidak mendukung, tidak menfokuskan Senin atau Selasa. Kita bisa menggunakan fiqih yang lainnya, fiqhul quluub, fiqhul ukhuwwah, fiqhul mashaalihil ummah. Jadi, bisa saja, sekedar umpama (maaf … kalau seandainya ini salah bisa diluruskan), seandainya di antara kita ada yang menentukan Senin, demi ukhuwah bisa saja kita Senin tidak berpuasa. Karena, saya–umpamanya–yakin sudah melihat bulan. Terlepas melihat saya benar atau tidak secara ilmiyah. Tapi, dalam shalat ‘Idul Fitri, wallahu a’lam, menurut saya bisa semuanya hari Selasa. Kenapa? Karena, shalat ‘Idul Fitri itu sekadar sunnah dan khutbah ‘Idul Fitri menurut sebagian ulama fiqih sekedar mau’izhah (pelajaran), sementara menjaga persatuan umat hukumnya wajib. Jadi, bisa saja saudara kita, dia sudah berbuka karena dia yakin, khawatir haram karena puasa di saat lebaran. Nah, dengan demikian, bisa saja kita bersatu meskipun dalam titik tertentu ada perbedaan. Jangan sesuatu yang sifatnya far’i (cabang) kita posisikan sebagai yang qath’i (pasti) atau ashliy (pokok), sementara yang prinsip kita ubah menjadi yang cabang. Ini sekedar wacana, kalau salah bisa diluruskan, kalau benar semoga ada manfaatnya.

Kemudian, mauqif tentang nasihat, ad-diinun nasiihah. Begitu pentingnya nasihat sampai redaksi haditsnya menggunakan isim ma’rifat. Seolah-oleh inti dari ajaran Islam itu nasihat. Nabi saw. ketika memberikan nasihat, ni’mal ghulaamu Ibnu Umar in qaamal lail (sebaik-baiknya pemuda adalah Ibnu Umar jika dia selau qiyamullail). Rasul tidak mengatakan, hai Ibnu Umar, iparnya nabi, anaknya Umar, malas saja. Maka, kata Ibnu Umar r.a. setelah mendengar nasihat itu, “Saya tidak pernah meninggalkan shalat tahajjud.” Ini pentingnya nasihat yang shadiqah (benar).

Jangan sampai nasihat itu muncul karena menunggu-nunggu kesalahan temannya. Tuh lihat, salah kan! Makanya jangan begitu. Jangan seperti orang munafik, yang tidak senang orang Islam itu berjaya, tidak senang orang Islam itu tepat. Oleh karena itu, kita jangan sampai menungu-nunggu kesalahan ustadz kita, ikhwan kita, akhwat kita, jamaah kita, dalam hal ini jamaah kita ya seluruh kaum Muslimin.

Kemudian, di dalam nasihat adalah jangan menyikapi dengan gengsi. Benar perbedaan itu terjadi. Tapi, jangan dengan menyikapi secara ‘izzatun nafs, dengan gengsi. Wah, kalau saya sikap saya sama dengan dia nanti takut dikatakan saya ngikut, dikatakan nanti kita mengekor. Wah, jangan deh, yang penting kita beda. Lha, kalau yang penting beda, nanti kita repot.

Kemudian, sikap kita di dalam berharakah ini harus selalu membela Islam dan kaum Muslimin. Jangan sikap kita justru menyakiti kaum Muslimin, membiarkan kaum Muslimin dikerjain oleh musuh-musuh Islam. Laa, kita harus membela Islam dan kaum Muslimin, bukan sekedar pembelaan kita pada jamaah kita atau harakah kita.

Yang terakhir adalah at-tansiq (koordinasi). Adanya kordinasi antara aktivis harakah, yang di antara buktinya saya melihat husnuzhan seperti ini. Ada jamaah tertentu dia barizah, dominan dalam ulumusy syar’iyah (ilmu-ilmu Islam). Yang lainnya dominan dalam muzhaharahnya, demonya. Umpamanya, aktivis harakah semuanya membutuhkan belajar bahasa Arab. Bagaimana pemahaman Al-Qur’an dan as-sunnah benar kalau tidak bahasa Arab. Nah, bahasa Arab itu secara umum ya sama.

Makanya pada zaman dahulu, walaupun mazhab fiqih berbeda, bisa saja belajar balaghah, nahwu dengan guru yang sama. Ini kadang-kadang dalam harakah, paling tidak yang saya lihat, belajar apa pun gurunya harus dia. Kalau dikasih yang lainnya tidak mau. Kecuali, masalah-masalah internal yang itu sudah bukan rahasia, ada kebijakan-kebijakan internal yang sudah barang tentu itu auratnya jamaah tertentu, itu auratnya harakah tertentu yang perlu dijaga.

Tetapi, hal-hal yang sifatnya tsaqafah (wawasan), ini harus ada kordinasi yang lebih baik. Sehingga sering ketemu, sering salaman, sering tersenyum di hadapan saudaranya, subhanallah. Nah, kenapa kita yakin bisa tansiq? (koordinasi). Alasan yang pertama, karena kita semuanya ditemukan oleh wahdatul ghaayah, kesatuan orientasi. Orientasi kita semuanya wamaa khalaqtul jinna wal insa illa liya’budun. Kita dipertemukan dengan wahdatul mabda’, mabda kita adalah laa ilaaha illallah muhammadur rasulullah. Kita dipertemukan dalam wahdatut thariq, kesatuan jalan. Jalan kita adalah tegaknya syariat Allah SWT, semuanya, apa pun jamaah kita dan apa pun harakah kita.

Tapi, yang terakhir, tetap kita harus kita mempertimbangkan hal-hal, yang pertama adalah at-tanawwu’ (beraneka ragam), adanya program-program mungkin sedikit variasi. Tidak harus persis. Ada tanawwu’ul asalib, strateginya ada yang berbeda, penekanannya, fokus perhatiannya bermacam-macam. Yang tadi sudah disampaikan. Sebagian ikhwan kita penekanannya adalah aqidah yang benar, jauh dari bid’ah dan khurafat. Sebagian bagaimana agar selalu shalat berjamaah. Sebagian bagaimana agar khilafah tegak. Sebagian bagaimana agar jihad qitaly itu benar-benar diperhatikan sehingga kita tidak kaget ketika diserang oleh musuh-musuh Islam. Sebagian tarbiyah membina kader agar mempunyai pemahaman yang menyeluruh. Sebagian bagaimana agar memperbanyak pesatren-pesantren agar mereka paham tentang Islam. Ini sekadar tanawwu’ut tarkizat, hanya perbedaan penekanan. Yang ini sudah barang tentu masuk dalam kajian tadi, ikhtilaf tanawwu’ (…???).

Kemudian, wasailnya (sarananya) juga mungkin berbeda. Dan itu tidak ada masalah. Sehingga kita benar menyikapinya. Dengan bermacam-macamnya hal tersebut akan melahirkan, yang pertama, at-tasaamuh, kita toleran terhadap saudara-saudara kita yang mungkin masih berbeda harakahnya. Yang kedua adalah kita ihtiram, menghargai ijtihad mereka. Dan yang ketiga, kaedah yang sering diungkapkan oleh ulama fiqih, al-ijtihadu laa yanqudhu bil ijtihad, ijtihad seseorang tidak bisa hancur karena ijtihad yang lain, selama bukan al-ijtihad fi mawridin nash. Kalau ijtihad sudah bertentangan dengan nash yang jelas, sudah barang tentu kita harus mengikuti nash yang jelas. Dan terakhir, adalah ta’liiful qulub. Ta’liful qulub adalah syai-un dharuriy (sesuatu yang penting). Tidak mungkin kita bersatu kalau hati kita tidak bersatu. Maka, agar hati kita satu, seperti apa yang tersebut dalam ayat 63 surat Al-Anfal atau surat dari Ali Imran. Seadainya kamu menafkahkan apa saja yang ada di bumi, hanyalah Allah yang menyatukan hati kita.

Oleh karena itu, agar hati kita tetap disatukan oleh Allah, maka hubungan kita dengan Allah harus baik. Kepada sesama berbaik sangka lebih dominan daripada mengkritisi. Mendoakan saudara kita ketika saudara kita tidak ada. Seperti Ust. Husain Umar yang sekarang lagi dirawat di Kuala Lumpur, umpamanya, kita doakan. Karena mendoakan kepada saudaranya seIslam dan seaqidah ketika saudaranya itu tidak ada, itu cepat dikabulkan oleh Allah.

Dan yang selanjutnya, kita memperhatikan kunci-kunci hati, termasuk tabassum (senyum), ziarah, menghargai karya saudara kita. Dan yang terakhir kita harus waspada, menghindari penyakit-penyakit hati dan juga menghindari dari hal-hal yang membatalkan, yang merusak ukhuwwah atau persatuan.

Itu saja yang bisa saya sampaikan. Saya minta maaf. Aquulu qawli haadza wa astaghfirullaha lii walakum. Wassalamua alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Pembicara Kedua Ust. Abu Rusydan (Mujahidin)

Bismillahirrahmanirrahim. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Innal hamda lillah nahmaduhu wanasta’iinuhu wanastaghfiruh. Wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu warasuluh la nabiyya ba’dah. Qaalallahu ta’ala fi kitabihil karim, a’udzubillahi minasy syaithanir rajim, yaa ayyuhal ladziina aamanut taqullaha haqqa tuqaatih walaa tamuutunna illa waantum muslimun. Fa-inna ashdaqal haditsi kitabullah, wakhairal hady hadyu muhammadin saw wasyarral umuuri muhdatsaatuha’ dhalalatin finnar. Allahumma shalli wasallim ala nabiyyina muhammad wa ‘ala alihi wa ashabihi wal ladziinat taba’uuhum biihsaanin ila yaumil qiyamah. Amma ba’du.

Ikhwani fiddin rahimakumullah, uushiikum wa-iyyaya nafsi bitaqwallah faqad faazal muttaqun.

Ikhwani fiddin rahimakumullah (Saudara sekalian, semoga dirahmati Allah). Alhamdulillah pada pagi yang penuh dengan keutamaan, rahmat, dan nikmat dari Allah SWT, kita berkumpul bersama di dalam satu majelis yang sederhana. Kita berharap moga-moga Allah SWT akan mengumpulkan kita pada satu majelis yang lebih baik nanti di akhirat dalam keadaan yang lebih baik lagi di jannatun na’iim (surga). Amin Allahumma amin.

Sebelum saya sampaikan, ada satu jaminan, meskipun tadi sudah disampaikan bahwa salah satu di antara curriculum vitae (riwayat hidup) tadi saya termasuk yang pernah dituduh oleh aparat keamanan terlibat terorisme, tapi saya memberi jaminan bahwa saudara saya Ustadz Ahzami lebih ekstrem dari saya. Oleh karena itu, barangkali karena maudhu’nya (judulnya) saja yang memaksa saya untuk menyampaikan perkara-perkara yang kesannya ekstrem. Kalau judul yang disampaikan oleh panitia kepada saudara saya, Ust. Ahzami, memang judulnya lembut, gitu ya, tauhidul ummah.

Ada dua kalimat yaitu ad-da’wah wal jihad. Seandainya, dan ini tidak pernah mungkin, dakwah Islamiyah tidak ada siapa pun yang menghalangi, seorang da’i apabila menyampaikan Islam apa adanya, tidak dihambat oleh siapa pun, dibiarkan nilai-nilai kebenaran yang ada di dalam Islam itu meresap ke dalam pikiran, ke dalam hati manusia, tanpa ada hambatan siapa pun, untuk menerima kebenaran Islam, untuk bersama-sama melaksanakan syariat Islam, untuk bersama-sama menegakkan agama Allah di muka bumi ini secara nyata, maka tidak diperlukan jihad.

Oleh karena itu, salah satu fungsi jihad itu sendiri adalah li-izaalati nawaa-ikid da’wah, untuk menghilangkan hambatan-hambatan dakwah. Oleh karena itu, sekali lagi apabila dakwah tidak ada yang menghambat, maka jihad tidak perlu kita lalukan. Cukup kita sampaikan dakwah. Tetapi, sekali lagi sunnatun min sunanillahi ‘azza wajallah tidak pernah ada itu di muka bumi ini.

Oleh karena itu, sebagai satu agama fitrah yang sesuai dengan tabiat kehidupan, Allah SWT mensyariatkan jihad fi sabilillah. Dan al-jihaadu maadhin ilaa yaumil qiyaamah, jihad itu berlaku terus sampai hari kiamat.

Kenapa Allah SWT mengingatkan kita sejak awal bahwa barang siapa yang tegak dengan dakwah pasti ada yang menghalangi. Kemudian disyariatkan jihad untuk li-izaalati awaa-ikid dakwah itu tadi. Kemudian di dalam perjalanan jihad dan dakwah itu sendiri maka ada ujian-ujian. Karena apa? Sebab, Allah SWT berfirman di dalam surat An-Naml ayat 45, a’udzu billahi minasy syaithanir rajim, walaqad arsalna ilaa tsamuuda akhaahum shaaliha ani’budullah fa-idzaa hum fariiqaani yakhtasimun. Kemudian di dalam salah satu hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari sahabat Jabir r.a., wa muhammadun farraqa baynan naas. “Dan benar-benar telah Kami utus kepada kaum Tsamud saudara mereka yang bernama Shalih.” Untuk apa Nabi Shalih diutus oleh Allah SWT kepada kaum Tsamud. Satu saja dakwahnya, ani’budullah, supaya kalian, wahai kaum Tsamud, menyembah Allah SWT. Adakah satu ajakan yang lebih baik daripada ini? Tidak ada. Yaitu, mengajak manusia menyembah Allah SWT, Dzat Yang telah menciptakan manusia, memberi rizki kepada manusia, memelihara kehidupan manusia, menyerahkan seluruh ciptaan-Nya untuk kebahagiaan hidup manusia.

Kemudian dakwah itu menyampaikan ani’budullah, supaya kalian menyembah Allah. Satu hal yang sangat patut. Tapi, fa-idzaa hum fariiqani yakhtashimun, ketika itu kaum yang diajak untuk menyembah Allah SWT terpecah menjadi dua, yang menerima dakwah dan yang menolak dakwah. Ada yang bilang, kalau begitu Islam memecah-belah manusia. Betul! Bahkan, diperkuat oleh hadits Nabi saw. yang sudah saya sampaikan tadi. Dan Nabi Muhammad saw. farraqa baynan naas, memisahkan antara manusia, kalimat yang paling tepat. Kalau memecah-belah ini provokator yang bicara. Tapi Islam memecah, memisahkan umat manusia. Islam hanya memisahkan manusia dari yang menerima dakwah (yang menjadi hamba Allah SWT) dan yang menolak dakwah (yang menjadi hamba thaghut). Sudah, hanya dipecah menjadi dua. Manusia oleh Islam dipecah menjadi dua.

Tapi, manusia oleh nasionalisme dipecah menjadi beratus-ratus golongan. Manusia oleh demokrasi dipecah-pecah menjadi beberapa ribu golongan. Kita sama-sama orang Islam, oleh nasionalisme dipisahkan orang Islam Indonesia, orang Islam Malaysia, orang Islam Filipina, orang Islam Arab. Bahkan kita sama-sama orang Islam bangsa Indonesia, mungkin berangkat dari satu organisasi massa yang sama dari Muhammadiyah atau NU, oleh demokrasi dipecah-pecah lagi. Orang Islam NU yang ikut PPP, orang Islam NU yang ikut PKB. Subhanallah.

Jadi, ayyuhal ikhwah, Islam sangat adil. Ketika Islam datang memisahkan manusia dari yang satu hamba Allah, yang satu hamba thaghut. Oleh karena itu, kalau kita berbicara kembali kepada persoalan pokok, kita hamba Allah-kah atau hamba thaghut? Ini persoalannya. Ini termasuk asas daripada wujudnya komunikasi.

Sebab, Allah SWT berfirman, walladziina kafaruu ba’dhuhum awliyaa-u ba’dh illa taf’aluuhu takun fitnatun fil ardhi wa fasaadun kabiir. Surat Al-Anfal ayat 73. “Dan orang-orang kafir itu sebagian dengan sebagian dari mereka itu saling membantu, saling menolong. Sebagian mengangkat pemimpin kepada sebagian orang kafir yang lain.” Jika kalian (orang-orang mukmin) tidak mewujudkan perintah Allah SWT di dalam salah satu urusan yang paling penting adalah al-wala’ wal baraa’, akan wujud fitnah. Fitnah itu dalam bahasa para mufassirin yang paling masyhur adalah kesyirikan. Akan tersebar kesyirikan yang banyak dan kerusakan di muka bumi.

Jadi, karena seorang muslim memilih pemimpin bukan seorang muslim yang lain, akhirnya seluruh sisi kehidupan politik di dalam kehidupan manusia ini dipimpin oleh at-thaghut. Jadi, salah satu di antara dampak negatif apabila wala’ wal bara’ (benci dan cinta) ini tidak diterapkan pada semestinya, seorang muslim tidak memberikan wala’nya kepada Muslim yang lain, maka salah satu di antara dampak yang paling buruk adalah istilaa-ut thughaam ‘alaa daffati qiyaadatis siyaasiyah fi hayatin nas (berkuasanya orang-orang yang bermoral buruk, yang berakhlak rendah pada segala sisi kehidupan politik umat manusia). Salah memilih pemimpin maka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akan dikuasai oleh orang-orang yang akhlaknya buruk, moralnya buruk, yang akan menyebabkan kerusakan merata di seluruh kehidupan manusia. Oleh karena itu, ini harus tepat, harus pasti.

Jadi, setelah manusia itu dibagi dua oleh dakwah Islamiyah yang hanya satu yaitu ani’budullah, bukan yang lain, maka manusia yang tidak menerima dakwah pasti pasti dia akan bangkit menghalangi manusia yang menerima dakwah untuk melaksanakan peribadatan kepada Allah SWT. Pasti. Oleh karena itu, diperlukan sebuah kesabaran. Saya sangat setuju dengan sebuah ketetapan, saya mengatakan ketetapan yang sangat brilian menurut saya, yang ditetapkan oleh Sayid Quthub rhm. ketika mengatakan, “Imanun wa jihadun, wa-mihnatun wabtilaa-un, washabrun watsabaatun, tsumma yajii-un nashr, tsumma yajii-un ni’m.” Apabila kita mengharapkan bahwa kita akan dapat hidup dalam penuh kedamaian, rahmatan lil’alamin, penuh kenikmatan, ada fase-fase yang mesti kita tempuh, yaitu iman dan jihad. Kemudian ujian dan cobaan, kemudian sabar dan tetap berpegang kepada ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Barulah datang pertolongan Allah SWT dan barulah datang kenikmatan hidup itu.

Jadi, tidak bisa ketika kita mencoba untuk menjelaskan al-wala’ wal bara’, ketika kita coba menjelaskan bahwa dakwah itu senantiasa ada yang menerima dakwah sebagai golongan hizbullah (pasukan Allah) dan yang menolak dakwah sebagai golongan hizbusy syaithan (pasukan syaitan). Kita terangkan itu kemudian orang mengatakan,”Itu Islam garis keras.” Islam itu rahmatan lil’alamin. Islam akan menjadi rahmatan lil’alamin apabila Islam itu terwujud dalam kehidupan sehari-hari manusia. Tapi, Islam sendiri tidak akan memberi manfaat kepada manusia apabila Islam itu dicampakkan oleh manusia.

Oleh karena itu, kita jangan terbuai bahwa yang namanya Islam rahmatan lil’alamin itu Islam harus lemah lembut, diapa-apakan mau, ditampar pipi kanan berikan pipi kiri. Bukan seperti itu. Tapi, Islam akan menjadi rahmatan lil’alamin dengan sendirinya apabila Islam itu terwujud dalam kehidupan manusia. Dan ini orang tidak mau. Orang kafir pada dasarnya gurunya satu, semua orang kafir di dunia itu gurunya satu, yaitu iblis atau syaitan. Mereka tidak senang melihat manusia bahagia. Ditinjau dari segala segi, tidak senang kalau melihat manusia itu bahagia. Oleh karena itu, mereka selalu menghalang-halangi.

Ujian dakwah yang paling berat adalah bahwa seluruh kekuatan orang-orang kafir–tadi disebutkan semacan suatu strategi global orang kafir untuk memusuhi Islam dan kaum muslimin–hari ini dikerahkan semuanya untuk memusuhi Islam dan kaum muslimin dari berbagai aspek. Kalau saya boleh menggambarkan secara mudah bahwa hari ini rumah Islam kita sedang dibakar oleh orang kafir. Terus bagaimana, apakah kita kalau ada seorang Muslim atau sekelompok orang Islam datang membawa ember berisi air untuk memadamkan api yang membakar rumah Islam kita itu, kemudian kita tanya dulu, stop-stop, nanti dulu. Itu embernya mereknya apa? Itu airnya dari mana? Ini yang paling berat hari ini. Jadi, embernya tidak perlu kita tanya, itu ember PKS, ini ember JI, ini ember MMI, tidak perlu. Sebab, ujian yang paling berat hari ini adalah itu tadi, yaitu strategi global. Yaitu, bagaimana seluruh kekuatan orang-orang kafir dari segala aspek kehidupan manusia hari ini dikerahkan sepenuhnya di situ. Untuk menghadapinya, perlu strategi antara dan strategi pokok. Strategi antaranya adalah siapa pun yang hari ini membawa ember berisi air untuk memadamkan rumah Islam kita yang sedang terbakar, welcome, ahlan wasahlan (selamat datang), mari. Kita tidak perlu tanya. Adapun strategi pokoknya nanti kalau ada waktu.

Dari kesalahan orang-orang beriman menyerahkan al-wala’ dan al-bara’nya tidak pada tempatnya, akhirnya orang-orang beriman ini memberikan kepercayaannya kepada orang kafir, kepada bukan orang Islam. Yang terjadi adalah satu hal yang sangat menyedihkan, yaitu tasharrufu quwwatil muslimina litaqwiyatil kuffar wa adyanihim. Na’udzubillah min dzalik. Potensi kaum Muslimin ditasharrufkan untuk memperkuat orang-orang kafir dan agama-agama orang kafir, syiar-syiar agama orang kafir. Sebenarnya ujian yang paling berat dalam skala umat hari ini bagi dakwah Islamiyah adalah di sini. Yaitu, potensi kaum Muslimin atau potensi seorang Muslim ditasharrufkan untuk memperkuat orang kafir dan kepentingan orang kafir. Menyedihkan! Seorang Muslim yang baik, dia ahli di bidang komputer, dia bekerja di Amerika, untuk kepentingan Amerika. Atau di sini, seorang Muslim yang baik, dia bekerja mengabdi kepada satu institusi yang bukan institusi Islam. Sehingga, potensi dia yang baik ditasharrufkan untuk kepentingan bukan Islam dan kaum Muslimin, bukan untuk ‘izzul Islam wal muslimin. Ini, sungguh sebuah malapetaka, musibah yang sangat besar bagi kaum muslimin bangsa Indonesia khususnya, dan hampir di seluruh muka bumi ini.

Oleh karena itu, penting sekali hari ini untuk memikirkan masalah ini. Kalau kita berbicara masalah-masalah apa keyakinan kita, policy (strategi, kebijakan) kita, tiap-tiap kelompok bisa saling mengejek. Tapi, kalau kita berpikir bagaimana supaya seluruh potensi kaum Muslimin ini tidak diarahkan demi kejayaan kafir dan orang-orang kafir, maka di mana pun ada kaum Muslimin, di mana pun di sana orang kafir itu melancarkan serangannya, harusnya kita tempatkan kekuatan di sana. Tentunya sepanjang yang dibenarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ini perlu kita pikirkan.

Sesungguhnya kita tidak pernah membuat satu perencanaan strategis. Ikhwan kita tertentu kita tempatkan di parlemen untuk menghambat laju kekafiran di sana. Tidak pernah kita punya pikiran begitu dari awal. Kita tidak pernah berpikir ada sekelompok ikhwan kita, kita beri latihan-latihan laskariyah, kita tempatkan di satu tempat sehingga membuat orang-orang kafir menjadi takut untuk melakukan tindak kekerasan kepada orang-orang beriman. Kita juga tidak pernah membuat perencanaan bagaimana ada ikhwan-ikhwan kita yang diberi keberanian oleh Allah SWT melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Kita juga tidak pernah membuat perencanaan ada sebagian ikhwan-ikhwan kita yang berani mengemukakan bahwa khilafah adalah solusi, bahwa Islam satu-satunya solusi secara terbuka di hadapan institusi-institusi kenegaraan. Kita tidak pernah membuat perencanaan. Semua itu terjadi demikian adanya. Potensi itu menggelinding begitu rupa. Ada yang di sana, ada yang di sana. Kemudian apakah kita mau menyusahkan diri kita sendiri, itu keliru! Mari kita pusatkan pada potensi yang sama. Sekarang kita menjadi partai politik semua, misalnya. Atau, sekarang kita jihad semua, misalnya. Atau, kita sekarang demonstrasi semua. Tidak mungkin! Banyak sekali pertimbangan yang tidak memungkinkan.

Oleh karena itu, ayyuhal ikhwah, kita syukuri potensi-potensi itu. Bagaimana kita mengajak kepada para ikhwan kita yang ada pada berbagai lapangan kehidupan ini, mereka mentasharrufkan kekuatan mereka, potensi mereka untuk ‘izzul Islam wal muslimin. Ini perkara yang sangat penting. Oleh karena itu, kalau memang kita melanjutkan masalah ini, komunikasi, dan ini penting untuk dilanjutkan, maka harus sampai kepada satu titik tertentu nanti. Wallahu a’lam. Ini persoalan-persoalan yang hubungannya dengan mihnatud da’wah wal jihad, khususnya dakwah bagi umat.

Adapun mengenai ujian-ujian dakwah dalam skala pribadi dan sebagainya, ini sesuatu yang sudah bisa kita pahami bersama. Saya tidak perlu sampaikan. Sebab, forum ini tema utamanya adalah komunikasi antar gerakan dakwah. Jadi, saya lebih baik, lebih mustahak, lebih penting untuk mengingatkan kepada kita semua sekalian bahwa musibah dakwah yang paling besar adalah yang menimpa umat. Ini yang sangat penting. Jadi, kalau ini tidak kita manfaatkan dengan baik, maka musibah yang ketiga adalah karena kesalahan kita memberikan al-wala’ dan al-bara’ tidak pada tempatnya, kesalahan yang ketiga adalah akhirnya kita menjadi kehilangan kekuatan, kita menjadi lemah. Fatafsyaluu wa tadzhaba riihukum. Na’udzubillah.

Sesungguhnya dari beberapa tokoh pergerakan Islam di seluruh belahan bumi dunia Islam ini mereka selalu memberi peringatan kepada kita bahwa kekuatan atau energi atau potensi yang mereka kerahkan untuk menghadapi lawan itu sebenarnya terlalu kecil dibanding dengan kekuatan potensi atau energi yang mereka pergunakan untuk menghadapi ikhtilaf (perbedaan) antarkaum Muslimin. Dr. Abdullah Azzam rhm. selalu mengingatkan kepada kita bahwa potensi kami ini habis di atas 70% untuk menyelesaikan ikhtilaf di antara kaum Muslimin sendiri. Sementara, dengan 30% yang kami punyai, sisa potensi yang 30% itu sudah mampu mengusir Uni Soviet dari Afghanistan.

Kaum muslimin yang ada di Iraq, coba kita bayangkan, kita renungkan, potensinya begitu besar. Tapi, sebenarnya potensi terbesarnya adalah menghadapi persoalan-persoalan interen, perbedaan pendapat internal. Sementara, sisa-sisa kekuatan dari lelahnya menghadapi persoalan internal itu sudah mampu menggetarkan Amerika. Di Indonesia potensi kita ini sangat besar. Sekian ratus juta kaum Muslimin. Coba bayangkan!

Ayyuhal ikhwah, saya perlu ingatkan sekali lagi bahwa kaum Muslimin menghadapi satu ujian yang sangat besar, yaitu dengan dikerahkannya seluruh kekuatan orang-orang kafir pada seluruh segi kehidupan manusia. Oleh karena itu, setiap potensi kaum muslimin yang ada di seluruh bidang kehidupan manusia di mana pun juga hendaknya kita daya gunakan untuk menangkal upaya kaum kafirin yang mau merusakkan Islam dan kaum Muslimin.

Tapi, sekali lagi, penyelesaian strategisnya adalah harus ada di antara kita yang merupakan qaidah salabah, yaitu kekuatan inti yang mempunyai tiga syarat, yaitu wihdatul ghayah, wihdatul ‘aqidah, dan wihdatul fahmi lidiinillah (kesatuan tujuan hidup hanya mencari keridhaan Allah SWT, kesatuan aqidah yaitu aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah, dan kesatuan pemahaman di dalam memahami dinul Islam yaitu pemahaman dinul Islam menurut manhaj salafus shalih). Ini inti dari penyelesaian persoalan secara strategis.

Demikian ayyuhal ikhwah, moga-moga yang sedikit ringkas ini bisa mewakili pikiran-pikiran yang banyak yang ingin saya sampaikan. Aquulu qawli haadza wa astaghfirullahal ‘azhim lii wa lakum wa lisaa-iril muslimina wal muslimati min kulli dzanbin, fastaghfiruuhu innahu huwal ghafuurur rahiim. Waqul rabbighfir warham wa anta khairur raahimin.

Pembicara Ketiga Ust. Ahmad Shabri Lubis (FPI)

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Alhamdulillahi rabbil ‘aalamin wa-afdhalus shalati wa-atammut taslim ‘ala sayyidina muhammadin wa’alaa aalihi wa-ash-haabihi ajma’iin. Amma ba’du walaa hawla walaa quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘azhiim. Ahibba-il kiraam.

Bapak moderator yang saya hormati, Ust Abuddin. Begitu juga segenap ikhwani pembicara Al-Ustadz Ahzami, Ustadz Thariquddin, dan Ustadz Khattat. Ikhwani wa akhawati rahimakumullah.

Saya sedikit menerangkan tentang firman Allah Ta’ala tentang amar ma’ruf nahi munkar yang memang amar ma’ruf nahi munkar adalah bagian kunci dalam kepribadian dan menjadi syarat mutlak untuk terjadinya umat yang terbaik di muka bumi ini. Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an, “Kuntum khaira ummatin ukhrijat linnas ta’muruuna bil ma’ruufi wa tanhauna ‘anil munkar wa tu’minuuna billah.” Kalian adalah sebaik-baik umat yang dikeluarkan oleh Allah sebagai bahan percontohan di antara umat yang lainnya. Tiga syaratnya: ta’muruuna bil ma’ruufi wa tanhauna ‘anil munkar wa tu’minuuna billah. Ini tiga menjadi syarat umat khairu ummah. Ketiganya ini harus kita jalankan: amar ma’ruf juga, nahi munkar juga, iman billah juga. Sehingga, kalau tiga-tiganya ini terjadi, jaminan dari Allah Ta’ala, sebagaimana masa sahabat, masa tabi’in, yang masih konsen masa salafunas shalih, masa kejayaan Islam itu betul-betul akan mencerminkan dunia semuanya.

Maka, saya di sini ingin menggambarkan amar ma’ruf nahi munkar. Kalau kita ibaratkan satu pola, amar ma’ruf itu ibarat seorang petani yang menggarap tanah (lahan). Dia itu mengairi tanah, memberikan pupuk, lalu menanam padi. Sedangkan nahi munkar itu adalah membunuh hamanya. Berantas hama, bunuh tikus, itu nahi munkarnya. Sehingga, hasil yang ditanam tadi akan menghasilkan tanaman yang maksimal.

Tapi, kalau orang hanya amar ma’ruf saja, maka ibarat orang yang kerjaannya hanya menanam, serangganya tidak dibunuh. Hamanya tidak pernah diberantas. Maka, dia akan menghasilkan hasil yang tidak maksimal. Bahkan bisa hasilnya hanya panen serangga.

Begitu juga halnya kalau orang hanya nahi munkar saja, tidak pernah dia beramar ma’ruf. Ini akibatnya menjadi satu hal kerusakan yang luar biasa. Kerjaannya bunuh tikus, tapi nanamnya gak pernah. Ya sama juga … panennya panen tikus.

Sehingga, kalau kita bisa sinergikan apa-apa yang ada dari amal-amal khair, yaitu kita bisa lihat gerakan dakwah umat Islam di Indonesia. Semua ormas-ormas Islam kerja luar biasa. Yang di pondok pesantrennya, yang di ormas-ormas dakwah yang lainnya, luar biasa. Selalu berdakwah, berdakwah berdakwah, dan berdakwah, tiada hari tanpa berdakwah. Tapi ternyata, dakwahnya hanya berapa lama sih? Di sekolah hanya berapa jam sih? Di masjid ini hanya berapa jam sih? Tapi di luar sana, musuh-musuh Islam selalu mengadakan pengrusakan-pengrusakan dan pengrusakan.

Syair Arab dulu menyatakan, kalaulah seribu orang membangun satu bangunan, lalu ada satu orang di belakang mereka meruntuhkannya, cukup itu. Kita seribu orang bangun satu rumah, setelah selesai ada satu orang yang merusak. Bisa hancur itu, dengan satu orang. Bagaimana kalau sekarang ini yang membangun ada satu, yang menghancurkannya ada seribu. Kerusakan umat Islam sekarang ini mencerminkan sangat banyaknya pengrusak-pengrusak moral dan akhlak di seluruh dunia.

Kita lihat bahwa hukum di Republik kita ada. KUHPnya ada, judinya dilarang, mirasnya juga ada hal-hal yang dilarang, cuma semua serba samar-samar. Kemudian, pelacurannya juga dilarang. Semua kriminal dilarang. Sekarang apa yang masih kosong? Kok ini bisa membuat semakin menggila-gila kerusakan akhlak ini? Maka dari itu, kami berpikiran bahwa perangkat yang ada untuk saat sekarang ini di negara ini belumlah cukup untuk mengatasi permasalahan akhlak umat ini. Kita harus melaksanakan satu, yaitu perintah Allah SWT yang disebut dengan al-amru bil ma’ruf wan nahyu ‘anil munkar sebagaimana firman-Nya dalam surat Ali ‘Imran ayat 29: Wal takun minkum ummatun yad’uuna ilal khair wa ya’muruuna bil ma’ruf wayanhauna ‘anil munkar wa-ulaa-ika humul muflihun. Hendaklah ada dari kalian ummah, artinya ummah sekelompok dari kalian. Untuk apa? Yad’uuna ilal khair, berdakwah untuk ke jalan yang baik. Wa ya’muruuna bil ma’ruuf, lalu mereka mengajak orang untuk kema’rufan dan mencegah orang dari kemunkaran. Tiga perintah ini, wa-ulaa-ika humul muflihun, jadilah mereka orang yang beruntung.

Sekarang dari sini nahi munkar seperti apa? Kalau kita lihat di televisi, memang untuk FPI ini luar biasa. Diidentikkan dengan radikalisme, diidentikkan dengan garis keras, diidentikkan dengan fundamentalisme, main hakim sendiri, dan lain-lainnya. Kalau dilihat yang dari TV ini sangat sangat sangat berbeda 180 derajat dari apa yang ada sebenarnya di dalam FPI.

FPI itu tidak bisa diidentikkan dengan yang seperti itu. FPI itu dari namanya saja sudah berharap menjadi pembela Islam. Islam itu rahmatan lil ‘alamin. Masa ya sih, kita main hakim sendiri. Begitu gencarnya media massa bersatu dalam pembusukan citra gerakan Islam, terutama FPI. Ini luar biasa.

Kami ini melihat konteks ke-Indonesiaan. Amar ma’ruf nahi munkar dengan konteks ke-Indonesiaan. Artinya, kita sudah melihat, ini hanya untuk strategi, fiqhus siyasah-lah, masuk dalam arti kata itu. Jadi di dalam FPI dalam kerangka amar ma’ruf nahi munkar, tidak boleh ada gerakan kekerasan atau main hakim sendiri. Tidak boleh. Terutama wajib untuk mengadakan koordinasi atau pelaporan dengan pihak yang berwajib. Karena, mereka kan yang bertugas, mereka sudah digaji. Mereka sudah dibayar. Merekalah yang bekerja.

Tapi, yang menjadi masalah kalau mereka tidak mau bekerja. Begitu mereka tidak mau bekerja, apakah harus kita biarkan saja korban umat Islam berjatuhan terus-menerus. Itu proses waktunya lama. Satu tempat bisa tiga bulan, bisa setengah tahun, bisa satu tahun, baru akhirnya ada tindakan tegas. Prosesnya sangat lama ya ikhwan. Gak cepat. Gak begitu lihat langsung hantam. Itu luar biasa. Semua ada proses. Tapi, ternyata proses-proses ini tidak dimuat di media massa. Tidak ada yang dimuat di media masa. Bagaimana kami mendakwahi dia. Itu setelah kami kirim surat ke aparat yang berwajib. Masih nggak juga. Kita lapor ke yang lebih tinggi: dari Polsek lapor ke Polres; dari Polres lapor lagi ke Polda. Masih gak bisa juga, lapor lagi ke Mabes Polri. Tidak bisa juga, wah ini, ya sudah. Berarti harus minta keadilan Allah SWT.

Dari situlah terjadinya tindakan tegas kami. Kalau itu terjadi, itu sudah risiko semuanya. Kita lihat yang di Bekasi kemarin ada 21 orang FPI yang ditangkap, dijebloskan ke dalam penjara. Padahal setelah menempuh prosedur panjang, satu tahun. Sementara, masyarakat sudah dua tahun lebih mintanya (kepada FPI untuk menangani masalah itu, red).

Dengan adanya pengalaman-pengalaman itu membuat kita semakin dewasa dan juga semakin bisa mengemas gambar organisasi FPI ini dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, meminimalisasi risiko-risiko yang ada. Dari delapan tahun pengalaman kami, dari tahun 1998, kami terus mengemas dan membenahi serta mengurangi kesalahan-kesalahan, menerima masukan-masukan dari teman dan juga mengurangi risiko-risiko yang ada.

Di dalam amar ma’ruf nahi munkar, FPI tidak mungkin mengedepankan kekerasan, wajib mengedepankan kelembutan. Kalau dengan lemah lembut itu sudah bisa menyelesaikan permasalahan, maka selesai urusannya buat kami. Kalau dengan pihak aparat sudah selesai, buat apa dengan kita. Kok harus capek-capek …. Emangnya turun nahi munkar itu enak …? Kan harus nyewa mobil …? Kan harus ninggalin sekolahan kita …? Kan harus keluar dari ngajar santri kita …? Satu hari buat makan berapa? Itu biayanya berapa? Belum lagi kalau ditangkap. Keluarganya bagaimana, anak-anaknya bagaimana?

Sedangkan sekarang ini lembaga-lembaga baitul mal wat tamwil yang ada, lembaga-lembaga zakat ini masih mikirin untuk kelompoknya saja, belum memikirkan bagaimana mereka yang dipenjara. Ada lho … yang dipenjara, yang dia lagi nahi munkar, lagi melawan minuman keras, tau-taunya dia dijebloskan ke dalam penjara. Bagaimana anaknya dia?

Kita harapkan dengan forum seperti ini, ada lembaga-lembaga tamwil yang juga bisa memperhatikan risiko-risiko tadi, risiko-risiko perjuangan. Karena, kalau kita tidak juga pikirkan mereka, bagaimana? Apakah kita biarkan saja negara ini harus diambil jadi mafia? Mafia yang berkuasa. Mafia yang setir itu. Mafia-mafia di negara ini yang akan menyetir bangsa ini. Aparat-aparat di negara ini bagaimana mafianya. Begitu yang kita harapkan? Mafia itu luar biasa. Makanya Habib Rizieq bilang, kalau nahi munkar ini tidak segera ditegakkan di Republik Indonesia, ini negara sudah jadi negara republik mafia Indonesia. Memang isinya sudah hampir begitu semua! Preman berkuasa di mana-mana. Ustadz, kiai ditekan di mana-mana. Preman nyetor ke fulan, ke fulan (ke aparat maksudnya, red). Umat Islam yang begini kuatnya tidak punya ‘izzah (kehormatan) sama sekali di hadapan para preman itu. Masya Allah …!

Eh …, sekarang kita lihat, kemungkaran yang ada di Indonesia kita tangani, lantas orang bilang keras? Nggak! Keras itu teknis. Bisa lembut, ya lembut. Artinya, ini dalam filsafat FPI, tangkap ikan tanpa membuat air keruh. Artinya harus cerdas. Itu langkah pertama. Kalau tidak bisa karena ikannya gesit, ya keruh sedikit tidak apa-apa, asal ketangkap. Kan begitu. Kalau ternyata ikannya juga sangat hebat, sangat gesit, ya terpaksa airnya dikuras. Airnya dikuras, tangkap ikannya, bikin dia kapok dalam berbuat. Kan seperti itu? Kenapa? Karena ini negara harus diselamatkan. Tidak ada cara yang lain.

Ada satu kaidah fiqhiyyah, maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwal waajib. Untuk kekerasan, apa-apa yang tidak bisa dilaksanakan wajib itu dilaksanakan kecuali hanya dengan cara yang itu, maka cara yang itu jadi wajib. Apabila kemungkaran yang terjadi itu tidak bisa diberantas kecuali hanya dengan kekerasan, maka kekerasan itu menjadi wajib. Terus, wajibnya ini bagaimana? Apa ya jadi kekerasan? Nggak! Tetap kewajiban kita tetap pakai aturan. Tidak boleh melanggar syariat Islam. Kita tidak menerima tabrirul wasaa-il, penghalalan segala cara. Kita tidak pernah menerima cara seperti itu.

Jadi FPI itu kalau dibilang tabrirul wasa-il ggak benar. Hanya, sekali-sekali ada salah kita terima. Ya kita manusia, misalnya ada sampai-sampai TV yang tidak salah ikut dirusak. Itu dampak-dampak. Itu kita terima sebagai kesalahan, maklum anak-anak lagi emosi. Jadi, kita selalu memperbaiki.

Yang berikutnya, kekerasan menurut kami itu tidak bisa digeneralisasi, pukul rata. Kekerasan berarti tidak boleh. Kekerasan berarti haram. Tidak! Kekerasan bagi Front Pembela Islam ada dua arti. Satu, kekerasan yang terpuji; satu lagi kekerasan yang tercela. Kalau kita punya rumah dirampok orang. Perampoknya ada tiga. Terus di rumah saya ada empat orang, laki-laki. Dia pakai pisau. Di rumah saya ada golok-golok. Apakah saya lawan dia, atau saya menyerah. Otomatis dia akan saya usir. Karena saya punya samurai, saya lebih daripada itu perampok.

Begitu dia kita usir, terjadilah baku hantam. Masa baku hantam ini dua-duanya keras. Yang satu mengadakan tindak kekerasan, yang satu juga mengadakan tindak kekerasan. Tapi, dua kekerasan ini punya dua nilai. Yang satu kekerasan tercela, yang satu kekerasan terpuji. Yang satu membela diri, membela hak, yang satu dalam rangka menghancurkan hak orang lain.

Apa kita tidak bisa memilah-milah kekerasan yang seperti itu? Apa kita benar-benar sudah ggak ngerti lagi dari media massa itu, bahwasanya ini betul-betul kekerasan yang tidak bisa kita terima dan kekerasan yang memang harus untuk kita lakukan?

Saya rasa, itu saja mungkin dari saya. Terima kasih banyak. Kurang lebihnya mohon maaf. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Pembicara Keempat: Ir. Muhammad Khoththot (HTI)

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh. Alhamdulillah, wash-shalatu wasslamu ‘ala rasulillah wa ‘ala alihi wasahbihi wa mauwaala, amma ba’du. Qaalallahu ta’ala fi kitabillah Al-Karim , “kumtum khara ummatin … watu’minuun billah, al-ayah shadakallahul ‘adzim.

Allah hummar hamna bil qur’an, ma’asyiral muslimin rahimakukllah, saudara-saudaraku kaum muslimin wal muslimat yang berbahagia, wabil khusus para khutaba’ asatidzah, yang telah menyampaikan terlebih dahulu: Ustadz Abu Rusydan, Ust. Ahzami, dan Ust. Shabri Lubis, yang saya cintai. Alhamdulillah, pada kesempatan siang hari ini kita bisa berkumpul seluruh pimpinan maupun jama’ah dari harakah Islamiyah yang ada di Bekasi ini.

Alhamdulillah, kita masih bisa mengucapkan alhamdulillah sekalipun keadaan umat Islam pada hari ini di seluruh dunia dalam situasi yang sedang berjuang untuk meraih kemuliannya kembali. Ada yang menganalisa bahwa andaikan persoalan yang menimpa umat Islam ini sepuluh persennya saja menimpa umat-umat yang lain niscaya umat lain itu binasa. Tetapi alhamdulillah, dengan izin Allah, umat Islam ini masih bisa bertahan, dan dalam kondisi yang t erus berjuang, kita saksiakn kemarin di Libanon bagaimana Hizbullah ternyata bisa menghadapi serangan Israel. Bahkan setelah Israel berhenti, mereka tablig akbar dengan dua juta orang sekalipun sekarang masih menghadapi perlucutan senjata. Bahkan, yang melucuti juga rencananya dari TNI juga. Makanya kemarin sewaktu aku diwawancarai televisi Al-Jazeera: “Apakah Anda setuju dengan pengiriman TNI ke Libanon?”
Saya bilang, “Setuju.”
“Lo … kan mau melucuti senjata Hizbullah?”
“Ha, itu tidak setuju,” saya bilang.
“Lalu, setujunya bagaimana?”
“TNI ke Libanon melindungi umat Islam dan berjihad melawan Israel. Itu yang saya setuju.”
“Kan ini harus netral, kan mereka bisa membunuh orang Muslim?”
“Ha, membunuh orang Muslim masuk neraka,” saya bilang begitu.
Jadi, saya jawab singkat-singkat saja.

Ikhwani rahimakumullah, umat Islam ini sudah ditakdirkan oleh Allah menjadi khairu ummah, menjadi umat yang terbaik . Umat yang terbaik ini tidak hanya umat di zaman Rasulullah, di zaman sahabat, Rasulullah ridhwanullah ‘alaihim, tidak. Tetapi, akan berlangsung terus sampai hari kiamat. Umar r.a. pernah menyatakan bahwa khairu ummah kal mathar al ghaziir, umat yang terbaik itu laksana hujan yang deras laa yu’rafu khairuhaa awwaluha aw aakhiruhaa, tidak diketahui yang lebih baik itu yang awal atau yang akhir. Oleh karena itu, kita masih punya peluang untuk menjadi umat terbaik asal memenuhi syaratnya tadi: ta’ muruuna bil ma’ruf wa tanhauna ‘anil munkar wa tu’minuuna billah, tu’minuuna billah sekalipun diletakkan di bagian akhir, tapi itu menjadi yang pertama, karena tidak boleh ta’muruna bil ma’ruf dan tanhauna ‘anil munkar mengabaikan tu’minuuna billah, tu’minuuna bilaah bimakna tu’minuuna billah, wa birasulillah wa bi syareatillah wa bi kitabillah gitu. Iman kepada Allah mencakup iman kepada Islam secara keseluruhan. Itulah dasar kita beramar ma’ruf nahi munkar.

Permasalahannya di Indonesia orang beramar ma’ruf nahi munkar seperti yang dilakukan oleh saudara-saudara kita dari FPI yang telah diuraikan oleh Ust. Shabri Lubis itu banyak disalahtafsirkan. Kenapa disalahtafsirkan, karena peranan media massa tidak menyiarkan siaran langsung secara keseluruhan. Jadi yang sering itu adalah siaran editan. Jadi, apa yang disampaikan oleh Ust. Shabri tadi saya percaya, bahwa ada hal seperti itu. Kemarin kita sudah mendemo Bush, ya kan …, tanggal 20, 21. Sebelumnya juga banyak sekali demo di seluruh Indonesia. Saya nonton editorial Media Indonesia di Metro TV isinya itu mengecam pendemo. Demo yang baiklah, jangan yang bodoh, jangan yang biadab. Apa itu demo yang bodoh yang biadab? Dia bilang yang mendo’akan baling-balingnya copotlah, yang mendo’akan Bush matilah. Itu adalah demo yang bodoh, itu yang biadab.

Nah, kita (umat Islam) tersinggung, langsung kemaren kita samperin ke Media Indonesia. Nah, di sinilah perlunya, yang disampaikan Ust. Ahzami tadi, tansiiq, koordinasi antargerakan. Alhamdulillah kemarin kita dari Forum Umat Islam (FUI) dipimpin Pak Mashadi dari PKS (kawannya Ust. Ahzami) mendatangi Media Indonesia. Untuk menghadapinya, Media Indonesia menghadirkan Ja’far Asegaf, seorang habib. Dulu, tahun 98 Ja’far Asegaf ini pernah kecelik (yang terjadi di luar dugaan). Dikiranya kalau habib yang datang, umat Islam langsung cium tangan. Saya kasih tahu bahwa yang datang ini tokoh-tokoh semua, bukan demonstran. Akhirnya kita kasih tahu kekeliruannya. Saudara Elman Sarage yang Nasrani itu mengatakan bahwa demo santet dari Gendeng Pamungkas dan do’a membunuh Bush itu sebagai demo yang bodoh dan biadab. Kita kasih tahu, harus dibedakan bahwa santetnya Ki Gendeng Pamungkas itu msuyrik, tetapi kalau mendo’akan agar Bush mampus, itu qunut nazilah, mengikuti sunnah Rasul. Do’a qunut nazilah itu ibadah. Ibadah dapat pahala. Kalau musyrik itu dapat dosa. Elman nggak tahu karena nggak pernah ngaji.

Nah, inilah Saudara-Saudara bahwa kita berdakwah memang penuh dengan risiko. Risiko pengemban dakwah ya kalo nggak dicela, ya diusir, diintimidasi, mungkin sampai dibunuh. Tapi, kalo yang kita sampaikan itu adalah haq, maka hadiahnya adalah surga. Nah, Hizbut Tahrir juga sering disalahpahami, dianggap cuma demostrasi. Setelah Amerika menyerang Afghanistan, kita berdemonstrasi tahun 2001. Sebelumnya Hizbut Tahrir nggak pernah demonstrasi, ngaji aja dulu. Makanya tadinya saya sebut sekarang masih menempuh pendidikan di Uneversitas Hizbut Tahrir. Dari tahun 85 saya itu ikut Hizbut Tahrir , sudah 21 tahun ngaji terus, nggak berhenti. Jadi, jangan dikira Hizbut Tahrir nggak ada ngajinya, hanya demo aja. Itu keliru sekali.

Pernah saya di Australi menyampaikan pengajian tentang nadhratul Islam fil mar’ah war rajul (pandangan Islam tentang wanita dan laki-laki, tentang bagaimana nidzom ijtima’i fil Islam), bagaimana hukum khalwat ? Macem-macem saya terangin. Selesai pengajian saya dikritik oleh orang-orang Hizbut Tahrir sendiri di sana.
“Usttadz, Anda kan tokoh Hizbut Tahrir, kenapa nggak menyampaikan ide-ide Hizbut Tahrir? Kenapa ngasih ceramah tentang pria dan wanita. Apa urusanya dengan Hizbut Tahrir ?”
Saya bilang, “Ikhwah …, ini murni dari buku-buku Hizbut Tahrir, nih … yang saya terangkan tadi.”
“Wah, yang saya tahu selama ini Hizbut Tahrir hanya dua: polotik dan khilafah. Selain itu ndak ada.”
“Ooh … gitu, ya!” saya bilang begitu.
Nah, demikian juga dikira kita hanya demonstrasi saja. Tidak! Kita ada kajian-kajian juga. Hizbut Tahrir tentu memang tidak mengajarkan bahasa Arab. Kalau bahasa Arab belajar kepada Ust. Ahzami saja. Jadi, memang perlu adanya tansiq antargerakan, perlu saling mengenal supaya persepsi kita tidak keliru. Saya yakin di FPI juga ada ngajinya, karena saya beberapa kali ikut ta’limnya. Inilah yang harus kita pahami. Kenapa Hizbut Tahrir mengedepankan masalah khilafah? Masalah khilafah ini ya sunnah Rasul. Rasulullah yang menyatakan, “Wainnahu laa nabiyya ba’di wa satakuunul khulafa’,” ya setelahku nanti tidak ada nabi. Setelah itu yang memimpin adalah para khilafah: ada Abu Bakar, ada Umar, ada Utsman, ada ‘Ali, dan seterusnya. Jadi, kalau Hizbut Tahrir berjuang untuk menegakkan khilafah itu sebenarnya bukan mengarang-ngarang. Itu mengikuti sunnah salafush shaleh. Itu mengikuti apa yang dilakukan oleh Abu Bakar. Dialah penegak khilafah yang pertama. Jadi, menegakkan khilafah itu bukan hanya kewajiban orang Hizbut Tahrir, itu kewajiban seluruh kaum Muslimin. Kalau kita mengakui Abu Bakar sebagai qudwah kita, kalau kita mengakui Umar, Utsman, ‘Ali sebagai qudwah kita, ya kita mari sama-sama berjuang untuk menegakkan khilafah.

Kenapa khilafah harus diperjuangkan? Karena, dalam sistem negara kita, yang sekarang ini, orang seperti FPI dianggap radikal, dianggap preman berjubah, padahal menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Oleh karena itu, mesti ada sesuatu yang salah di dalam sistem kenegaraan ini. Oleh karena itu, saudara-saudara kita di PKS, itu berjuang di parlemen saya yakin dalam rangka mengubah sistem itu. Sistem yang sekarang ini adalah demokrasi, sistem sekuler, sistem yang zalim, undang-undang warisan Belanda. Bagaimana bisa Belanda yang menjajah kita 350 tahun, lalu setelah pergi kemudian undang-undangnya kita pakai. Lebih dari itu, yaa ikhwah, utang dari pemerintah Hindia Belanda sebesar 4 milyar US Dollar itu pun dibayar oleh pemerintah kita, secara nyicil dari tahun 68 sampai tahun 2003, kemarin baru lunas. Bukan pemerintah yang nyicil, kita yang nyicil, cuma kita nggak tahu. Karena kita nggak tahu bahwa itu adalah kemungkaran, kita nggak sempat amar ma’ruf nahi mungkar. Mestinya itu termasuk hal yang kita nahi mungkar, yang harus kita larang juga. Makanya perlu koordinasi antargerakan. Ini supaya saling sharing informasi, supaya kita betul-betul bisa menata dengan baik.

Saya kebetulan anggota tim penanggulangan terorisme berdasarkan pendekatan agama, yang dipimpin oleh Kiai Ma’ruf Amin. Kita berdebat di situ, dari kalangan garis keras sampai kalangan garis lunak. Saya dibilang dari kalangan garis keras. Saya selalu ditanya orang, “Ustadz, Anda ini kalau ceramah selalu keras?” Ah, nggak, saya itu suaranya lembut, saya masih pakai pengeras suara kok, kalo suaranya keras, nggak perlu pakai pengeras suara,” saya bilang gitu. Di situ berdebat tentang jihad. Kesimpulan akhirnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersepakat bahwa di Indonesia belum perlu jihad. Jihadnya kawan-kawan kita itu adalah bukan jihad, itu terorisme, itu kira-kira.

Kemarin pada saat Josh Bush datang seharusnya merupakan kesempatan bagi para ulama untuk menyampaikan kepada sulthan ja’ir: afdhalul jihad kalimatu haqqin ‘inda sulthanin ja’ir (menyampaikan kalimat yang haq kepada pemimpin yang zalim). Kalau ulama tidak mengambil jihad yang tadi, yang model Ust. Abu Rusydan (jihad perang), ambillah jihad yang ini kan, yaitu kalimatu haqqin ‘inda sulthanin jaa’ir, kalimat yang haq kepada sulthan yang jaa’ir. Itu juga tidak disampaikan, jadi jihad yang sana nggak, jihad yang sini juga nggak, lalu jihad yang mana? Oleh karena itu, kalau kita berjuang untuk menegakkan khilafah sebenarnya bukan tiba-tiba, ayo khilafah kita dirikan, nggak begitu. Ada prosesnya, ada tahapan-tahapannya, pertama kali dari thariqul iman, kemudian qadha’ dan qadar, baru qiyadatul fikriyah, bahkan kita belajar fiqihnya, belajar ushul fiqihnya.

Jadi, tidaklah gerakan politik itu hanya politik, seperti politik sekuler. Kalau Golkar, PDIP enak, nggak pakai ngaji, nggak mendalami ushul fiqih. Kenapa, karena mereka berbuat tanpa ushul fiqih, mereka berbuat tidak terikat oleh fiqih. Kalau umat Islam berbuat di parlemen, berbuat di jalanan, berdemonstrasi, amar ma’ruf nahi munkar, terikat oleh syariah. Oleh karena itu, perjuangan menegakkan khilafah Islamiyah ini memang tidak main-main, karena kita ingin memperkenalkan sistem pemerintahan yang diwariskan oleh baginda Rasulullah saw. Supaya kepala negara kita itu jangan mengikuti Josh Bush, jangan mengikuti Tony Blair, ikutilah baginda Rasul, ikutilah Khalifah Umar yang mengatakan, “Kalau seandainya di Syiria, padahal beliau ada di Madinah, jaraknya ribuan kilo meter, kalo senadainya di syiria, ada keledai terantuk batu, aku khawatir Allah nanti akan menanyai aku di akhirat, kenapa aku tidak sediakan jalan yang rata?

Andaikan pemerintah-pemerintah kita mengikuti Umar, subhanallah, kita tidak mungkin terlunta-lunta seperti sekarang. Uang kita ini banyak Saudara-Saudara, tapi dishadakahkan kepada IMF, kepada world bank, APBN yang dibacakan oleh Presiden SBY kemarin 88 triliun hanya untuk membayar bunga, riba. Bayangkan, 88 trilyun Saudara-Saudara. Masjid ini kira-kira berapa milyar? Ada dua milyar kali ya, atau lima milyar, anggaplah 10 milyar paling banyak. Kalau 88 triliun Saudara-Saudara, kita masih bisa punya 88,8 ribu masjid seperti ini. Indonesia itu kotanya nggak sampai 88 ribu Saudara-Saudara. Masjid yang semegah ini mungkin bisa dibangun di tiap kecamatan Saudara-Saudara. Tapi, itu kita shadakahkan kepada tuan-tuan yang ada di Washington, yang ada di New York, yang ada di Paris, yang ada di London.

Itulah kenapa khlifah harus jawabannya. Karena, hanya dengan kekuatan negara, yang sistem pemerintahannya mengikuti apa yang disunnahkan oleh Rasulullah saw., yakni khilafah ‘ala minhajin nubuwwah, maka negara ini bisa dikuatkan kembali, bahkan akan menjadi negara yang terkuat di dunia, terimah kasih, wal afwu minkum, wasalamu’alaikum warahmatullah wabarakaatuh.

Tanya Jawab

Penanya Pertama
Assalamu’alaikum wr. wb.
Nama saya Abu Da’i, dari Kecamatan Siborosa, ujung dari Kabupaten Bekasi, sebelah selatan. Pertanyaannya, langkah-langkah apa saja yang sudah dilakukan, terutama para pimpinan teras, para harakah dakwah ini, dalam rangka sinergisitas antargerakan? Kemudian, harapan kedepannya acara ini tidak diset hanya sampai dhuhur, tapi mudah-mudahan bisa sampai sore . Mudah-mudahan kita bisa adakan kegiatan berikutnya dan kami coba lebih proaktif berbicara dengan panitia ke depannya, sukran, wasalamu’alaikum wr. wb.

Penanya Kedua
Assalamu’alaikum wr. wb.
Nama saya Faiz, dari Jakarta Utara. Pertanyaan kami tujukan kepada Ust. Abu Rusydan. Saat ini, ustatz-ustadz yang di sini insya Allah berdiri pada sebuah harakah. Manakala kita berjuang di atas harokah, saudara kita, umat Islam, dari belakang mungkin sangat menggembosi gitu, bahkan mungkin ada yang mencela. Sehingga, pada saat kita berjuang, lawan kita bukan orang kafir, tapi umat Islam sendiri, saudara kita sendiri. Padahal, pada saat mungkin taruhlah mengkritik pemerintah gitu, pemerintah itu seperti ini, lawan kita yang balik mengkritik itu bukan pemerintah, tapi saudara Muslim kita yang membantah kritikan kita itu. Sehingga, perdebatan yang terjadi antara kita dengan saudara seiman kita sendiri. Bagaimana cara atau langkah apa untuk pendekatan kita kepada saudara-saudara kita. Wasalamu’laikum wr. wb.

Jawbaan Pertanyaan Pertama oleh Ir. Muhammad Khoththot

Terimah kasih, sebenarnya para pimpinan ormas, gerakan, lembaga, dan partai-partai Islam itu terus melakukan proses-proses komunikasi, proses-proses konsolidasi, proses-proses pendekatan dan penguatan untuk perjuangan bersama, izzul Islam wal muslimin (kemuliaan Islam dan kaum Muslimin). Oleh karena itu, kita membentuk Forum Umat Islam (FUI) itu sebagai wadah koordinasi dari kurang lebih 80 organisasi Muslimin dan Muslimat, baik untuk partai, ormas, maupun lembaga-lembaga, bahkan ada sebagian masjid atau yayasan. Mereka yang besar-besar itu kita kumpulkan atau pada tingakat nasional kita kumpulkan, dan ini kita kembangkan ke seluruh daerah. FUI ini sebenarnya sama dengan apa yang dilakukan oleh At-Tazkiyah ini. Hanya, yang dilakukan oleh FUI itu koordinasisi antarpimpinan saja. Tapi, kita juga berupaya mempertemukan masa kita. Sementara ini masih dalam bentuk-bentuk tabligh akbar, kemudian dalam bentuk-bentuk demonstrasi. Kita dapat berkah dari peristiwa penghinaan tentara Amerika di Guantanamo yang melecehkan Al-Qur’an dan sebagainya. Dari situlah kita kemudian bangkit sebagai umat Islam, sebagai pembela Al-Qur’an, pembelan Nabi Muhammad saw. Ini adalah langkah dan proses terus-menerus.

Kita juga berupaya untuk menghilangkan dikotomi-dikotomi, misalnya perjuangan di dalam parlemen dan di luar parlemen, saling menegasikan satu sama lain. Kita coba berpikir bagaimana kekuatan kita menjadi saling sinergi. Yang di parlemen itu supaya gampang kita telepon kalau kita mau ke parlemen. Kita mau menyampaikan pendapat umat Islam, sambil menasihati yang di parlemen, jangan hanya datang, duduk, diam, duit, dan tidur saja. FUI juga mengembangkan lebih jauh lagi, selain partai-partai islam yang kita deketi, juga orang-orang Islam, personal politisi Muslim yang ada di partai. Yang tidak menyatakan diri sebagai pertai Islam pun tetep kita dekati. Karena, seluruh potensi umat ini kita satukan untuk izzul Islam wal Muslimin.

Dengan demikian, bukan harakah sendiri-sendiri yang kita tonjolkan, tapi juga bukan berarti meleburkan harakah. Kalau dileburkan tidak ketahuan alamatnya. Ibarat kita punya rumah di kampung, tiap-tiap orang punya rumah. Tapi, semuanya sebagai jamaah masjid. Tapi coba, kalau rumahnya itu disamakan? Ya … seperti ditenggelamkan oleh lumpur Lapindo. Kan jadi susah, nggak punya rumah lagi. Jadi, rumah tetep perlu ada, tapi janganlah karena kita punya rumah lalu kita tidak mau bersilaturrahmi dengan tetangga-tetangga kita. Kita harus tetap menjalin silaturahmi, kapan saja, di mana saja, demi untuk Islam. Itulah yang sedang kami lakukan.

Insya Allah sekarang ini kekuatan umat Islam mulai diperhitungkan, mulai dihargai. Adapun kita mengritik pemerintah dan sebagainya, pemerintah ini tidak kita kritik pribadinya. Cara kerja FUI tidak mengkritik pribadinya, tapi kita kritik kebijakannya. Pokoknya kalau tidak sesuai dengan Islam dan tidak memihak kepada kemaslahatan publik (yang 87% adalah Muslim), ya pasti kita tembak, siapa pun penguasanya. Kita tembak dalam arti kita nasihatilah, kita jewerlah. Kalau nggak mau mau dijewer, yah FPI-lah yang bergerak. Itu kira-kira. Terima kasih. Saya kira itu.

Jawaban Pertanyaan Kedua oleh Ust. Abu Rusydan

Bismillahirrahmanirrahim. Ini tentang fenomena saling mencela antarharakah. Ini memang sebuah fenomena yang menjadikan kita semuanya prihatin dan bersedih di dalam menghadapi persoalan ini. Tetapi, yang perlu menjadi satu pegangan buat kita bahwa itu adalah bagian dari fitrah perjalanan, bagian dari tabiat perjalanan–di dalam berdakwah khususnya. Yang perlu menjadi catatan dan perlu senantiasa diingat adalah, pertama, kita melakukan satu tindakan yang benar menurut keyakinan kita, bukan atas dasar pujian siapa pun, atau kita menghentikan satu kegiatan dikarenakan celaan siapa pun. Oleh karena itu, sekali lagi perlu ditegaskan bahwa kita melakukan sesuatu atau menghentikan sesuatu karena kita memahami dengan benar tentang ketentuan hukum, ketentuan Allah dan Rasul-Nya di dalam masalah itu.

Kedua, tentang realitas yang berhubungan dengan persoalan itu. Yang perlu dicatat dan jarang sekali kita ungkapkan adalah bahwa betapapun juga kita yakini tindakan kita ini membawa manfaat, tapi perlu ada tawazun, ada keseimbangan. Misalnya, satu contoh, kita yakini bahwa yang namanya jihad fi sabilillah itu jelas secara hukum. Kemudian, jelas juga bahwa dari segi realitas itu tuntutan hari ini. Kemudian dari segi manfaat, tidak mungkin sesuatu yang disyari’atkan oleh Allah tidak bermanfaat. Ada satu hal, yaitu keseimbangan.

Ketika saya awal-awal sampai di rumah setelah menjalani ujian sekian lama, banyak sekali yang datang bertanya, “Apa yang sekarang mau Ustad lakukan?” Pertanyaan yang benar bukan seperti itu. Bukan apa yang akan ustad lakukan, mestinya apa yang sekarang sama-sama kita sepakati untuk kita lakukan. Ini penting sekali. Sebab, para aktivis di dalam amal Islam ini harus senantiasa menyadari betapapun juga yang dilakukan oleh satu kelompok itu bermanfaat, tetapi harus ada keseimbangan. Yang ingin mewujudkan ‘izzul Islam wal Muslimin bukan hanya kelompok kita. Itu ada stressing (penekanan) kegiatan tertentu. Oleh karena itu, harus ada keseimbangan. Kita rundingkan bersama. Kalau kami harus melakukan jihad fi sabilillah itu porsinya berapa? Kemudian, kalau harus demo itu porsinya berapa? Kalau harus berjuang lewat parlemen, porsinya berapa, fungsinya seperti apa? Jangan semua potensi dihabiskan untuk demo. Jangan semua potensi dihabiskan untuk berpolitik. Jangan semua potensi dihabiskan untuk berjihad.

Apalagi, kalau tidak ada saling pengertian. Meskipun kami punya dalil, punya hujjah, tetapi kalau tidak pernah mengomunikasikan dengan para asatidz (ustadz) ini, maka akan memperlebar atau memperluas kemungkinan adanya saling tidak mengerti. Jadi, inilah perlunya kita menjalin komunikasi ini, bukan di dalam rangka untuk membenarkan bahwa tindakan kita adalah berdasarkan musyawarah saja. Bukan itu, tapi itu adalah faktor yang keempat, yaitu faktor keseimbangan itu tadi.

Tapi, faktor yang utama adalah bahwa apa yang kita kerjakan berdasarkan hujjah yang jelas, nash yang sharih (jelas), Al-Qur’an dan as-sunnah. Kemudian tahqiqul manat (mewujudkan tujuan), mengaktualisasikan nash di dalam realitas harus tepat. Kemudian, yang ketiga bermanfaat bagi kehidupan ini, kehidupan umat manusia.

Keempat, tawazun (keseimbangan). Forum ini kita adakan dalam rangka mempersempit kemungkinan apabila satu pihak melaksanakan satu amal islami tertentu, kemudian akan mendapat celaan dari pihak yang lain. Kalau sudah diupayakan seperti ini kemudian masih ada juga pihak yang tidak mau terlibat, dan apabila sebuah harakah amal islami tertentu melaksanakan satu program tertentu, tapi masih dicela, kita punya udzur (alasan) di hadapan Allah SWT. Dan, kita punya udzur (alasan) di hadapan manusia. Ini yang penting sebenarnya. Kalau kita mau menghilangkan sama sekali, itu tidak bisa, itu tabiatnya. Oleh karena itu, Allah SWT mengingatkan bahwa salah satu di antara tabiat orang-orang yang bersungguh-sungguh itu walaa yakhaafuuna lawmata laa-im, dia tidak akan khawatir, takut dengan celaan orang-orang yang mencela. Kita berjalan sesuai dengan ketentuan yang sudah kita yakini.

Catatan: Ditulis dengan perubahan kebahasaan seperlunya, tanpa mengubah isi.

Arsip Kajian Tematik

Baca Juga