Hidayatullah.com— Lahirnya feminism dipicu oleh ketertindasan wanita di Barat dengan adanya inkuisisi, yang memang sangat menyakitkan. Pernyataan ini disampaikan peneliti Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS), Henri Shalahuddin, MA dalam acara diskusi hari Sabtu (19/05/2012) lalu.
Menurut Henri, feminisme berawal dari pernyataan perempuan tentang kekuatannya, di mana awalnya bukanlah teori tapi ia berasal dari tindakan personal sendiri. Sejarah gender, awalnya digunakan untuk menjelaskan pembagian jenis kelamin kata benda dalam grammatika bahasa Inggris. Lalu pada 1955 seksolog Jhon Money memperkenalkan istilah sex untuk menunjuk pada klasifikasi biologis laki-laki atau perempuan dan memperkenalkan istilah gender untuk menunjuk pada perbedaan perilaku berdasar jenis kelamin.
Namun, Ide Jhon Money baru menyebar luas pada tahun 1970-an, yaitu ketika teori feminis mengurai perbedaan antar jenis kelamin biologis dan konstruksional gender. Barulah kemudian pada akhir 1990-an melalui proses pengulangan, “gender” telah membentuk commonplace wisdom (kebijakan umum) dari sebuah disiplin keilmuan.
Selain itu, ia juga menjelaskan tentang definisi gender menurut World Health Organization: Gender is used to describe characteristics of woman and men, which are socially constructed.“ Padahal menurut Henri, defenisi itu kurang tepat.
“Jika gender adalah jenis kelamin sosial yang dibentuk sejak masa kanak-kanak dalam keluarga dan lingkungan sosialnya, itu menentang kodrat. Bahkan ada para penafsir liberal yang menggunakan QS an-Nisa: 34, Arrijalu qowwamu ‘alannisaa’ yang artinya laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan dan menafsirkan rijal itu yang mobilitasnya tinggi. Maka, jika ada perempuan yang mobilitasnya tinggi maka dia bisa disebut rijal dan berhak memimpin laki-laki. Gender dipandang sebagai cara utama untuk menandai hubungan kekuasaan, maka Joan W. Scoff membangun konsep gender melalui konstitusi. Inilah wacana kontroversial yang dijadikan undang-undang.”
Istilah gender sendiri, menurut Henri, digunakan untuk meruntuhkan asumsi bahwa karakteristik laki-laki dan perempuan lebih ditentukan secara biologis dan kultural.
Kemudian, konsep gender diarahkan untuk menyamai, menyaingi bahkan merebut peran laki-laki di ranah publik. Sebab kaum perempuan merasa cenderung dikategorikan sebagai simbol yang lemah dan bergantung.
Hanya saja, dalam Islam, tidak seperti itu. Contoh kasusnya adalah hubungan antara Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam dengan istrinya Siti Khadijah.
“Khadijah sama Nabi gajinya tinggian siapa?” kemudian dengan serentak audiens menjawab “Khadijah….”
“Yang jadi pemimpin rumah tangga Khadijah atau Nabi?,” ujar Henri. Audiens yang dipenuhi kaum hawa serentak menjawab “Nabi”.
Perbedaan kedudukan wanita dan pria dalam Islam dalam konsep gender dan feminisme ini jelas berbeda jauh. Sebab kaum feminism, justru ingin mewujudkan kesetaraan gender secara kuantitatif, alias sama persis.
“Agenda feminis mainstream adalah mewujudkan kesetaraan gender secara kuantitatif (50:50), yaitu pria dan wanita harus sama berperan baik di luar maupun dalam rumah. Bagi kaum feminis, dasar perbedaan peran gender adalah produk budaya, bukan kodrati. Perbedaan pria wanita bagi mereka pada 3 M (menstruasi, menyusui, melahirkan) dan ini bukan alasan bagi wanita untuk menjadi ibu. Tapi, lagi-lagi ini tidak tepat,” ujar pria yang kini sedang melanjutkan program S3 di Univeristi Malaya dan meneliti masalah gender ini.
Hanri juga mengkritik kaum feminis yang jika kalah berdebat selalu menggunakan tameng kalimat, “Itu kan perspektifnya laki-laki” atau bahkan menganggap penafsiran yang digunakan adalah penafsiran yang berasal dari laki-laki.
“Seakan-akan bagi para feminis, ilmu pengetahuan itu berjenis kelamin”, kritiknya.*/nunu karlina, sarah