MUSLIMDAILY – Menurut hasil penelitian Dwi Purnomo, STP.,MT., yang diungkapnya dalam ujian sidang terbuka disertasi doktornya beberapa waktu lalu di Institut Pertanian Bogor (IPB), visi halal pemerintah Indonesia lebih bersifat defensif, yakni dalam batas-batas tertentu hanya untuk melindungi konsumen dalam negeri. Sedangkan Negara-negara lain di ASEAN dalam disertasinya berjudul “Strategi Pengembangan Agroindustri Halal Dalam Mengantisipasi Bisnis Halal Global”, seperti Malaysia dan Thailand, bahkan juga Singapura, bersifat lebih ekspansif dan ofensif. Halal telah menjadi aspek keunggulan untuk memperluas pasar ekspor produk Negara-negara tersebut ke luar negeri.
Kandidat doktor ini mengemukakan lebih lanjut, standar proses produksi untuk produk-produk yang telah bersertifikasi halal di Malaysia telah sama dengan standar industri. Yang membedakannya hanyalah dalam skala produksi, ada yang berskala industri rumah tangga (IRT), kecil, dan berskala besar, yakni industri menengah dan nasional serta internasional. Sedangkan di Indonesia, terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara produk yang dihasilkan oleh IRT/industri kecil dengan industri besar, demikian sebagaimana diberitakan oleh situs halalmui.org.
Maka, Dwi menyarankan, agar produk IRT yang telah mendapat sertifikat halal dari MUI dapat juga menembus dan bersaing di pasar yang terbuka saat ini, tentu harus memiliki standar proses produksi yang bersaing pula kualitasnya. Sehingga label halalnya tidak dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Bahkan diharapkan dapat menembus pasar ekspor, seperti yang juga telah dilakukan dan dibuktikan oleh IRT serupa di Malaysia.
Visi Sertifikasi Halal Indonesia Agar Ditingkatkan
Selain itu, dosen Universitas Pajajaran Bandung ini juga menyarankan agar visi sertifikasi halal di Indonesia dapat ditingkatkan, bukan sekedar untuk melindungi umat Islam secara terbatas, seperti yang banyak dikemukakan oleh MUI maupun pemerintah Indonesia dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Jaminan Produk Halal (JPH). Karena, Malaysia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, bahkan juga Thailand, dimana Muslim sebagai minoritas, justru telah melangkah jauh dimana aspek halal dijadikan sebagai keunggulan produk dalam bisnis domestik maupun internasional. Sehingga dengan produk yang halal, mereka dapat memperluas cakupan pasar ekspor. Saran dan pertimbangan yang tentu harus menjadi renungan untuk direalisasikan bersama.
Menanggapi presentasi oleh kandidat doktor ini, Prof.Dr.Ir. E. Gumbira Said, M.A.Dev., Ketua Komisi Pembimbing dari IPB mengemukakan, “Kita sangat sedih, halal memiliki nilai bisnis yang sangat besar dan prospektif, namun peran Indonesia masih sangat rendah di pasar halal dunia, khususnya dalam ekspor produk agroindustri halal. Maka kita mengimbau agar pemerintah lebih memperhatikan nilai unggul dari sektor ini untuk meningkatkan kapasitas bisnis sekaligus juga perlindungan umat.”
Sedangkan Dr. Dedi Mulyadi, M.Si., Direktur Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri, Kementerian Perindustrian, penguji dari luar IPB, menandaskan, “Ketentuan halal dapat dijadikan sebagai “non-tariff barrier”, sarana untuk menghambat derasnya arus masuk produk impor agroindustri, seraya juga meningkatkan pangsa pasar domestik kita. Maka jelas kita harus serius di bidang halal ini,” ujarnya lugas. Semoga. (fayyadh)