1. PENGERTIAN DIAT
Diat adalah harta yang diwajibkan kepada si teraniaya atau kepada walinya karena kasus penganiayaan. Diat ada yang berkaitan dengan sesuatu yang bisa diqishash dan ada pula yang tidak.
Diat disebut juga ‘aql, sebab diat disebut ‘aql karena seseorang yang telah melakukan pembunuhan, ia mengumpulkan diat berupa onta, lalu diikat di halaman rumah wali si terbunuh untuk diserahkan kepada keluarganya. Sehingga orang Arab biasa mengatakan, ‘aqaltu ’an fulaanin (yaitu) saya membayar hutang diat kepada si fulan.
2. DASAR DAN LANDASAN DIAT
Allah swt berfirman:
"Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan Taubat dari pada Allah. Dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS An-Nisaa’: 92)
Dari Amr bin Syuaib dari bapaknya dari datuknya ra bahwa Rasulullah saw pernah memutuskan bahwa barangsiapa telah membunuh karena tersalah (tidak sengaja), maka diatnya (harus membayar) seratus ekor unta, yaitu tiga puluh ekor bintu makhadh dan tiga puluh ekor bintu labun dan tiga puluh ekor hiqqah serta sepuluh ekor bani labun dzakar (jantan). (Hasan Shahih: Ibnu Majah no: 2128, ‘Aunul Ma’bud XII: 283 no: 4518, Ibnu Majah II: 878 no: 2630 dan Nasa’i VIII: 43).
- Bintu makhadh ialah onta betina yang berumur setahun sampai sempurna tahun kedua.
- Bintu labun ialah onta betina yang berumur tiga tahun sampai hampir masuk tahun keempat.
- Sedang Ibnu Labun, Ibnu Makhadh dan hiqqah ialah onta yang baru masuk tahun keempat. Dinamakan demikian karena ia telah siap ditunggangi dan dijadikan sebagai pengangkut barang.
Darinya (datuknya Amr bin Syu’aib) ra ia berkata, “Adalah nilai diat pada periode Rasulullah saw delapan ratus dinar, atau delapan ribu dirham; sedangkan nilai diat Ahli Kitab pada masa itu separuh dari nilai diat orang muslim. Nilai tersebut berlaku terus hingga Umar ra diangkat sebagai khalifah. Dia berdiri untuk berkhutbah dengan mengatakan, ‘Ketahuilah, sesungguhnya harga onta (sekarang) sangat tinggi,’ Kemudian Umar memfardhukan atas pemilik emas seribu Dinar, atas pemilik kambing dua ribu kambing, dan atas pemilik sapi dua ratus sapi, atas pemilik kambing dua ribu kambing, dan atas pemilik pakaian luar yang bagus dua ratus pakaian yang bagus, Umar membiarkan diat ahludz dzimmah dia tidak meninggikan sebagaimana dia telah meninggikan diat yang lain,” (Hasan: Irwa-ul Ghalil no: 2247 ‘Aunul Ma’bud XII: 284 no: 4519).
3. PEMBUNUHAN YANG PELAKUNYA WAJIB MEMBAYAR DIAT
Termasuk masalah yang sudah disepakati oleh para ulama’ bahwa diat yang harus dibayar oleh pelaku kasus pembunuhan yang disebabkan karena keliru (tidaksengaja), dan oleh pelaku pembunuhan yang syibhul amdi (mirip dengan sengaja), serta oleh pelaku pembunuhan yang disengaja yang dilakukan oleh orang yang belum mukallaf, misalnya anak kecil dan orang tidak sehat pikirannya. Diat juga harus dibayar oleh pelaku pembunuhan yang disengaja yang dilakukan oleh orang yang statusnya lebih tinggi daripada yang dibunuh, misalnya orang merdeka membunuh hamba sahaya. Diat juga wajib dibayar oleh orang yang tidur, lalu ia berbalik dalam tidurnya kepada orang lain, lantas membunuhnya (dalam keadaan tidak sadar). Wajib pula atas orang yang jatuh menimpa orang lain, lalu orang itu terbunuh.
4. MACAM-MACAM DIAT
Diat terbagi dua, yaitu diat mughallazhah (yang berat) dan diat mukhaffafah (yang ringan). Diat mukhafffafah diwajibkan atas pelaku pembunuhan yang keliru, tidak disengaja, sedangkan diat mughallazhah diwajibkan atas pelaku pembunuhan yang syibhul ’amdi.
Adapun diat untuk kasus pembunuhan yang disengaja, yang kemudian pihak keluarga si terbunuh memaaafkan dan menuntut diat, maka diat itu sesuai dengan tuntutan yang dengannya mereka berdamai. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam riwayat yang lalu sebagai berikut:
Dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari datuknya, bahwa Nabi saw bersabda, “Barangsiapa yang membunuh dengan sengaja, maka urusannya diserahkan kepada keluarga si terbunuh; jika mereka mau, boleh menuntut balas; dan jika mereka mau, boleh mengambil diat, yaitu tiga puluh hiqqah (onta yang berusia empat tahun) dan tiga puluh jadza’ah (onta yang berusia lima tahun), dan empat puluh khalifah (onta yang bunting), dan apa saja yang dijadikan jaminan perdamaian, maka itu menjadi hak mereka, dan yang demikian itu sebagai penekanan terhadap kewajiban diat.” (Hasan: Shahih Tirmidzi no: 1121, Tirmidzi II: 433 no: 1406, Ibnu Majah II: 877 no: 2626).
Diat mughallazhah ialah seratus ekor onta, yang empat puluh ekor darinya sedang bunting. Ini mengacu pada sabda Beliau saw:
"Ketahuilah, sesungguhnya diat (pembunuhan) yang keliru, yang mirip dengan pembunuhan yang disengaja, yang dilakukan memakai alat cambuk dan tongkat adalah seratus ekor onta; empat puluh di antaranya sedang bunting." (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 2126, ‘Aunul Ma’bud XII: 292 no: 4524, Ibnu Majah II: 877 no: 2627 dan Nasa’i VIII: 41).
Pembiayaan diat ini haruslah diambil dari harta benda si pembunuh semata.
Adapun diat pembunuhan yang tidak disengaja atau yang mirip dengan yang disengaja, maka diat tersebut harus ditanggung oleh keluarga si pembunuh, yaitu keluarganya laki-laki yang sudah baligh dari pihak ayahnya, yang mampu lagi berakal sehat. Dan, masuk ke dalam kategori keluarga tersebut ialah yang buta, yang menderita penyakit berat dan yang pikun, bila mereka kaya. Dan tidak masuk ke dalam kelompok keluarga termaksud adalah perempuan, yang miskin, yang belum baligh, yang gila dan yang berlainan agama dengan si pelaku pembunuhan. Karena pada dasarnya permasalahan ini adalah untuk membantu meringankan si pembunuh, sedangkan mereka tidak termasuk yang berhak membantunya.
Dasar diwajibkannya pembayaran diat atas keluarga si pembunuh ialah hadist:
Dari Abu Hurairah ra ia berkata: “Ada dua wanita dari Hudzail bertengkar, satu dari keduanya melemparkan batu kepada yang lain hingga meninggal dunia dan meninggal pula janin dalam perutnya. Maka Nabi saw menetapkan bahwa diat janinnya adalah (memerdekakan) seorang budak laki-laki atau perempuan, dan Beliau memutuskan bahwa pembayaran diat perempuan yang dilempar itu harus ditanggung oleh keluarga perempuan yang melempar.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XII: 24 no: 6740, Muslim III: 1309 no: 1681 dan Nasa’i VIII: 47–48).
5. DIAT ANGGOTA TUBUH
Pada manusia ada anggota tubuh yang tunggal, misalnya hidung, lisan dan kemaluan; ada pula yang ganda seperti mata, telinga dan tangan dan ada juga yang lebih dari itu.
Apabila seorang merusak anggota tubuh orang lain, baik yang tunggal ataupun yang ganda, maka wajib membayar diat secara sempurna. Tapi manakala salah satu dari anggota tubuh yang ganda dirusak, maka ia hanya wajib membayar separuh diat.
Jadi, wajib membayar diat secara utuh pada perusakan hidung dan kedua mata; untuk (perusakan) satu mata separuhnya, untuk dua pelupuk mata dari satu mata ia membayar separuhnya (separuh diat), dan untuk satu pelupuk mata, diatnya seperempatnya. Pada jari-jari kedua tangan dan kedua kaki diatnya utuh, dan pada masing-masing jari diatnya sepuluh onta. Untuk gigi-gigi diatnya sempurna juga, dan pada setiap gigi diatnya lima ekor onta.
Dari Abu Bakar bin Ubaidillah bin Umar dari Umar ra dari Rasulullah saw, Beliau bersabda, “Pada hidung, bila dipotong hidungnya, diatnya seratus ekor onta, pada tangan (diatnya) lima puluh (ekor onta), pada kaki (diatnya) lima puluh (ekor onta), pada mata (diatnya) lima puluh (ekor onta), pada luka yang mengenai otak (diatnya) sepertiga diat pembunuhan, pada tusukan yang sampai ke bagian dalam (diatnya) sepertiga diat pembunuhan, pada anggota tubuh yang bergeser (diatnya) lima belas (ekor onta), pada luka yang menampakkan tulang (diatnya) lima (ekor onta), pada gigi (diatnya) lima (ekor onta) dan pada setiap jari yang ada (diatnya) sepuluh (ekor onta).” (Shahih karena banyak syahid (saksi penguat)nya: Irwa-ul Ghalil no: 2238, Shahih Nasa’i no: 4513, Musnad al-Bazzar II: 207 no: 1531, Baihaqi VIII: 86).
Dari Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm dari bapaknya dari datuknya ra dari Nabi saw bahwa Beliau pernah mengirim surat kepada penduduk Yaman yang berisikan fardhu-fardhu, sunnah-sunnah dan berbagai jenis diat. Di antara isinya ialah, “Bahwa pada jiwa diatnya seratus ekor onta, pada hidung yang terpotong ada diat, pada lisan ada diat, pada dua bibir ada diat, pada dua buah penis ada diat, pada penis (dzakar) ada diat, pada tulang sulbi ada diat, pada dua mata ada diat, pada satu kaki ada separuh diat, pada luka yang tembus ke otak sepertiga diat, pada tusukan yang sampai ke bagian dalam (jaa-ifah) sepertiga diat, pada luka yang menyebabkan tulang berpindah (diatnya) lima belas ekor onta, pada setiap jari tangan dan jari kaki (diatnya) lima belas ekor onta, pada gigi (diatnya) lima ekor onta dan pada luka yang menampakkan tulang, (diatnya) lima ekor onta.” (Shahih karena banyak syahid (saksi penguat)nya: Irwa-ul Ghalil no: 2275, Shahih Nasa’i no: 4513, Muwaththa’ Malik hal 611 no: 1545, Nasa’i VIII: 57, 58 dan 59).
6. DIAT FUNGSI ANGGOTA TUBUH
Apabila seseorang memukul orang lain hingga tidak berfungsi akalnya atau salah satu panca inderanya, misalnya pendengarannya, penglihatannya, penciumannya, perasaannya atau menjadi bisu, maka pada masing-masing dari kesemuanya itu ada diatnya secara sempurna:
Dari ‘Auf, ia bertutur: Saya pernah mendengar seorang kakek, sebelum terjadi fitnah Ibnu al-Asy’ats yang kemudian dijelaskan ciri-cirinya, lalu orang-orang pada berkata, “Itu adalah Abul Mulhib Paman Abu Qilabah.” Ia (kakek itu) berkata, “Ada seorang laki-laki yang dilempar dengan batu pada kepalanya sehingga pendengarannya, lisannya, akalnya dan penisnya tidak berfungsi, sehingga ia tidak berani mendekat kepada perempuan. Maka Umar ra menetapkan (si pelempar batu itu) harus (membayar) empat diat (kepadanya).” (Hasan: Irwa-ul Ghalil no: 2279, Musnad Ibnu Abi Syaibah IX: 167 no: 6943 dan Baihaqi VIII: 86)
Jika dicukil matanya yang sehat dari orang yang buta sebelah, maka diatnya sempurna. Hal ini pernah diputuskan oleh Umar dan putranya, Abdullah bin Umar serta Ali bin Thalib ra:
Dari Qatadah, ia berkata: Saya pernah mendengar Abu Mujilliz mengatakan: Saya pernah bertanya kepada Abdullah bin Umar perihal orang yang buta sebelah yang dicukil matanya, maka Abdullah bin Shafwan menjawab, “Dalam hal ini Umar ra pernah menetapkan diat.” Kemudian aku (Abu Mujilliz) berkata, “Sesungguhnya aku hanya bertanya kepada Ibnu Umar (bukan bertanya kepadamu).” Maka jawabnya, “Bukankah ia (Abdullah bin Shafwan sendiri) menyampaikan (apa yang diterima) dari Umar?” (Shahihul Isnad: Irwa–ul Ghalil no: 2270, Baihaqi VIII: 94, Musnad Ibnu Abi Syaibah IX: 196 no: 7060 tanpa perkataan, “Faqultu…” (kemudian aku (Abu Mujilliz) katakan…..) ).
Dari Qatadah dari Khallas dari Ali ra bahwa ia pernah mengatakan perihal orang yang buta sebelah bila dicukil matanya, “Jika ia mau, boleh menuntut dia secara utuh, jika mau, ia boleh mengambil separuh diat (saja) dan ia mencukil salah satu dari dua mata si pencukil mata itu.” (Musnad Ibnu Abi Syaibah IX: 197 no: 7062 dan Baihaqi VIII: 94).
7. DIAT SYIJAJ
Syijaj ialah segala macam jika yang mengenai kepala dan wajah. Dan ini ada sepuluh macam:
- Kharishah, yaitu luka yang mengupas kulit, namun tidak sampai berdarah.
- Damiyah, adalah luka yang mengeluarkan darah.
- Badhi’ah, yakni luka yang menyobek daging dengan sobekan yang lebar.
- Mutalahamah, ialah luka yang menembus daging bagian dalam.
- Samhaq, yaitu luka, yang mana antara luka dan tulang ada daging tipis.
Jadi inilah lima macam luka yang tidak boleh diqishash, karena tidak mungkin bisa sama dan sepadan, dan tidak ada diat tertentu dan bagi pelakunya diwajibkan hukumah.
Ibnul Mundzir berkata: “Telah Ijma (sepakat) semua ulama’ yang kami hafal perkataan mereka bahwa makna perkataan hukumah yaitu dikatakan apabila seorang terluka yang mana luka tersebut tidak ada diatnya yang dimaklumi, (dikatakan): Beberapa harga orang ini jika dia sebagai seorang hamba sahaya sebelum terluka seperti yang dialaminya ini? atau sebelum dipukul seperti pukulan ini? Jika dikatakan seratus dinar, maka ditanya (lagi): Berapa harganya jika dia telah terkena luka ini dan telah sembuh? Jika dikatakan: Sembilan puluh lima dinar maka yang wajib dibayar kepada si teraniaya oleh yang menganiaya adalah 1/20 diat, dan jika mereka mengatakan: sembilan puluh dinar maka yang wajib dibayar adalah 1/10 diat, dan sekiranya harga tersebut ada yang lebih dari itu, atau kurang maka seperti itulah perumpamaannya.” Nukilan dari Kitab al-Ijma’ hal: 151 point no: 697.
- Mudhihah, yaitu luka yang sampai tulangnya terlihat, diatnya lima ekor onta.
- Hasyimah, yaitu luka yang memecahkan tulang, diatnya sepuluh ekor onta.
- Munaqqilah adalah luka yang menyebabkan berpindahnya tulang dari satu tempat ke tempat yang lain. Diatnya lima belas ekor onta.
- Makmumah atau aamah yakni luka, di mana antara luka dan otak tidak tersisa daging, melainkan daging yang amat tipis dan diatnya sepertiga diat.
- Damighah ialah luka yang sampai tembus ke otak. Diatny aseperti diat juga.
8. DIAT JAA-IFAH
Jaa-ifah yaitu segala tusukan dan semisalnya yang menembus bagian dalam, misalnya perut, punggung, dada, tenggorokan dan tempat janin. Diatnya, masing-masing sepertiga diat. Hal ini mengacu pada riwayat Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazim dari bapaknya dari datuknya dari Nabi saw bahwa Beliau mengirim surat kepada penduduk Yaman.
Di antara isinya:
"Dan, pada jaa-ifah diatnya sepertiga." (Teks lengkap dan takhrij hadistnya sudah pernah dimuat sebelumnya).
9. DIAT PEREMPUAN
Jika seseorang perempuan dibunuh karena tersalah, tidak disengaja, maka diatnya separuh diat laki-laki. Demikian pula diat anggota tubuh perempuan dan pelukaannya adalah separuh dari diat laki-laki dan pelukannya:
Dari Syuraih, ia bertutur, “Telah datang kepadaku Urwah al-Bariqi dari sisi Umar ra bahwa diat luka-luka pada laki-laki yang sama dengan yang ada pada perempuan hanyalah pada gigi dan luka yang sampai menampakkan tulang; dan untuk yang lebih parah daripada itu, maka diat perempuan separuh dari diat laki-laki.” (Sanadnya Shahih: Irwa-ul Ghalil VII: 307, Musnad Ibnu Abi Syaibah IX: 300 no: 7546).
10. DIAT AHLI KITAB
Manakala ahli kitab dibunuh karena tidak sengaja, karena keliru, maka diatnya separuh diat orang muslim dan diat laki-laki di antara mereka separuhdari diat laki-laki muslim; diat perempuan dari perempuan mereka adalah separuh dari diat perempuan muslim:
Dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari datuknya ra bahwa Rasulullah saw memutuskan, bahwa denda bunuh Ahli Kitab adalah separuh dari denda bunuh kaum Muslimin; mereka adalah kaum Yahudi dan Nashrani. (Hasan: Irwa-ul Ghalil no: 2251, Ibnu Majah II: 883 no: 2644, Tirmidzi II: 433 no: 1434, Nasa'i VII: 45 dengan redaksi yang berlainan, dan Abu Daud meriwayatkan dalam ‘Aunul Ma’budXII: 323 no: 4559 dengan lafazh, “DIATUL MU’AHAD NISHFU DIATIL HURRI (diat kafir mu’ahad adalah separuh dari diat orang merdeka, yaitu orang muslim)).
11. DIAT JANIN
Jika janin meninggal dunia disebabkan ibunya dianiaya baik sengaja maupun tidak, namun sang ibu tidak wafat, maka wajiblah si penganiaya memerdekakan hamba sahaya, baik si janin meninggal pada waktu sedang lahir atau meninggal dalam perut ibunya, baik laki-laki ataupun perempuan. Kemudian jika sang ibu meninggal dunia juga, maka untuknyalah diat janinnya itu:
Dari Abu Hurairah ra ia bertutur, “Telah berkelahi dua orang perempuan dari Bani Hudzail, yaitu satu dari keduanya melemparkan batu kepada yang lain hingga meninggal dunia dan meninggal (pula) janin yang ada dalam perutnya. Kemudian keluarga si terbunuh mengadukan kasus tersebut kepada Rasulullah saw maka Rasulullah memutuskan bahwa diat janinnya adalah (memerdekakan) hamba sahaya laki-laki atau perempuan, dan Beliau menetapkan diat perempuan (yang terbunuh itu) harus ditanggung keluarga si pembunuh; sedangkan warisan dari ibu yang terbunuh itu diterima oleh anaknya dan orang-orang yang bersamanya.” (Muttafaqun ’alaih).
Adapun jika sang janin lahir, lalu meninggal dunia, maka diatnya utuh. Yaitu jika laki-laki, wajib pembunuh menyerahkan seratus ekor unta kepada keluarga korban, dan jika perempuan maka diatnya lima puluh ekor onta, karena kita yakin meninggalnya janin itu karena penganiayaan, sehingga statusnya mirip dengan bukan janin.
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 873 – 885.