Larangan Menghukum Seseorang Karena Kejahatan Orang Lain

Firman Allah Ta'ala, "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala dari kebajikan yang diusahakannya dan ia mendapat siksa dan kejahatan yang dikerjakannya…," (Al-Baqarah: 286).   Allah Ta'ala juga berfirman, "Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain…" (Al-An'aam: 164).   Diriwayatkan dari Usamah bin Syarik r.a, ia berkata, "Rasulullah saw. bersabda, 'Kesalahan seseorang tidak akan dibebankan kepada orang lain," (Hasan, HR Ibnu Majah [2672]).   Diriwayatkan dari Thariq al-Muharibi r.a, ia berkata, "Aku pernah  melihat Rasulullah saw. mengangkat kedua tangannya hingga terlihat putih kedua tangannya seraya bersabda, 'ketahuilah bahwa seorang itu tidak akan dihukum akibat kejahatan yang dilakukan anaknya. Ketahuilah bahwa seorang ibu tidak akan dihukum akibat kejahatan yang dilakukan anaknya'," (Shahih, HR an-Nasa'i [VIII/55]).
  Diriwayatkan dari Abu Ramtsah, ia berkata, "Aku dan ayahku pergi menghadap Nabi saw, lalu beliau bertanya kepada ayahku, 'Apakah dia anakmu?' Ayahku menjawab, 'Ya, demi Rabb Ka'bah.' Beliau bertanya lagi, 'Apa benar?' Ia menjawab, 'Untuk itu, aku berani bersumpah.' Ramtsah berkata, 'Lalu Rasulullah saw. tersenyum karena aku mirip dengan ayahku dan karena sumpah ayahku untukku. Kemudian beliau bersabda, "Sesungguhnya kamu tidak dihukum karena perbuatan yang ia lakukan dan ia tidak akan dihukum atas perbuatan yang kamu lakukan.' Lantas Rasulullah saw. membaca ayat, 'Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain,' (Al-An'aam: 164)," (Shahih, HR Abu Dawud [4207-4495]).
  Ada beberapa hadits lain yang termasuk dalam bab ini yaitu dari Amr bin  al-Ahwash, Tsa'labah bin Zahdam dan Laqith bin Amir r.a.   Kandungan Bab:  

  1. Larangan menghukum seseorang karena kesalahan yang dilakukan orang lain. Al-Manawi berkata dalam kitabnya Faidhul Qadir (VI/391), "Larangan yang dicantumkan dalam bentuk nafi menunjukkan sebuah penegasan. Yakni kejahatan seorang ibu tidak akan dibebankan kepada anaknya padahal keduanya memiliki kerikatan yang sangat dekat dan sangat  mirip. Setiap orang tua dan anak akan duhukum sesuai kejahatan yang dilakukannya sendiri dan tidak akan dihukum akibat kesalahan orang lain. Makna yang sangat mengena ini diambil dari sabda beliau, 'Laa Tajni.' Sebab apabila seorang anak dihukum akibat kejahatan orang tuanya, sama artinya ia telah melakukan kejahatan itu sendiri. Oleh karena itu, hukuman tersebut diputus dari pangkalnya dan menetapkan bahwa pembebanan kejahatan salah seorang kepada orang laian adalah suatu hal yang tidak ada dan seolah-olah tidak pernah terjadi. Ini merupakan ungkapan yang sangat mengena, karena apabila sebua sebab dinafikan dari pangkalnya berarti penafian musabab tersebut memiliki arti yang lebih tegas dan lebih  mengena."
  2. Celaan terhadap tindakan yang biasa dilakukan pada zaman jahiliyah yakni merelakan diri dihukum atas kejahatan yang dilakukan oleh orang lain. Dimana mereka menghukum kejahatan yang dilakukan oleh si pelaku lantas hukumannya dibebankan kepada karib kerabat terdekat. Tindakan seperti ini masih diyakini orang-orang yang tinggal dari daerah-daerah pedalaman, pegunungan, dan pedusunan yang enggan melepaskan diri dari kebiasaan keluarga kabila yang rusak dan lingkungan  yang keras. As-Sindi dalam Haasyiah 'Alan Nasa'i (VIII/53) berkata, "Ini merupakan berita tentang bathilnya perkara jahiliyyah."

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 3/483-489. 

Baca Juga