Bab Nudzur

1.    PENGERTIAN NADZAR

Nudzur adalah bentuk jama’ dari nadzar, berasal dari akar kata indzar yang berma’na takhwif (memberi ancaman).

Sedang menurut istilah fiqh sebagaimana yang ditegaskan oleh ar-Raghib, bahwa nadzar ialah mewajibkan sesuatu yang tidak wajib karena terjadi suatu perkara.

2.    PENSYARI’ATAN NADZAR

Allah swt berfirman:

“Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nadzarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS al-Baqarah: 270).

“Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nadzar-nadzar mereka dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (QS al-Hajj: 29).

Allah ta’ala telah memuji orang-orang yang menyempurnakan nadzarnya, Allah swt berfirman:

“Mereka menunaikan nadzar dan takut akan suatu hari yang adzabnya merana di mana-mana.” (QS al-Insaan: 7).

Dari Aisyah ra dari Nabi saw bersabda, ”Barangsiapa bernadzar hendak ta’at kepada Allah, maka ta’atlah kepada-Nya, dan barangsiapa bernadzar hendak durhaka kepada-Nya, maka janganlah ia durhaka kepada-Nya.” (Shahih: Shahihul Jami’ no: 6565, Fathul Bari XI: 581 no: 6696, ’Aunul Ma’bud IX: 113 no: 3265, Tirmidzi III: 41 no: 1564, Nasa’i VII: 17 dan Ibnu Majah I: 687 no: 2126).

3.    DILARANG MENGUCAPKAN NADZAR MU’ALLAQ (BERSYARAT)

Dari Abdullah bin Umar ra, ia berkata: Nabi saw melarang bernadzar, dan Beliau bersabda, ”Sesungguhnya nadzar tidak bisa menolak sesuatu apapun, namun dengannya dapat dikeluarkan (harta) orang yang bakhil.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XI: 576 no: 6693, Muslim III: 260 no: 1639, ‘Aunul Ma’bud IX: 113 no: 3263 dan Nasa’i VII: 16).

Dari Sa’id bin Harits bahwa ia pernah mendengar Ibnu Umar ra berkata: Bukankah mereka telah dilarang dari bernadzar? Sesungguhnya Nabi saw bersabda, ”Sejatinya nadzar itu tidak bisa memajukan sesuatu dan tidak (pula) memundurkan (sesuatu); namun sesungguhnya (pemberian) dari orang yang bakhil hanya bisa dikeluarkan melalui nadzar.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XI: 575 no: 6692, Muslim III: 1261 no: 3 dan 1639 tanpa pernyataan Ibnu Umar itu).

4.    KAPAN NADZAR DIANGGAP SAH DAN KAPAN PULA DINILAI TIDAK SAH

Suatu nadzar akan menjadi sah dan berlaku manakala ditujukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan wajib dilaksanakan sepenuhnya. Hal ini berpijak pada hadits riwayat Aisyah radhiyallahu ’anha bahwa Nabi saw bersabda:

”Barangsiapa bernadzar hendak ta’at kepada Allah, maka ta’atlah kepada-Nya!” (Takhrij haditsnya sudah termuat pada halaman sebelumnya).

Adapun nadzar untuk suatu kemaksiatan tidak sah, namun pelakunya wajib membayar kafarah sumpah:

Dari Aisyah ra bahwa Rasulullah saw bersabda, ”Sama sekali tidak ada nadzar dalam kedurhakaan, dan kafarahnya adalah kafarah sumpah.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2590, ’Aunul Ma’bud IX: 115 no: 3267, Tirmidzi III: 40 no: 1562, Nasa’i VII: 26 dan Ibnu Majah I: 686 no: 2125).

Adapun nadzar yang mubah, misalnya seseorang bernadzar hendak menunaikan ibadah haji dengan berjalan kaki, atau hendak berdiri di terik matahari, maka nadzar seperti itu tidak berlaku dan tidak punya akibat hukum yang wajib dipenuhi.

Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah saw pernah melihat seorang kakek tua renta berjalan berpapah pada kedua puteranya, lalu Beliau bertanya, “Apa-apaan ini?” Jawab kedua puteranya, “Ya Rasulullah, dia bernadzar (naik haji dengan jalan kaki). Kemudian Beliau saw bersabda, “Wahai kakek, naiklah kendaraan; karena sesungguhnya Allah tidak butuh kepadamu dan tidak pula kepada nadzarmu ini.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 1005 dan Muslim III: 1264 no: 1643).

Dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah saw pernah melewati seorang laki-laki di Mekkah sedang berdiri di terik matahari, lalu Beliau bertanya, “Sedang apa orang ini?” Jawab mereka, “Dia bernadzar puasa dan tidak berteduh pada bayangan hingga malam, tidak berbicara dan terus-menerus berdiri.” Maka sabda Beliau, “Hendaklah ia berbicara, berteduh dan duduk dan sempurnakanlah puasanya.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2591, Fathul Bari IV: 276 dan ‘Aunul Ma’bud no: 3300).

5.    ORANG YANG BERNADZAR KEMUDIAN TIDAK MAMPU MELAKSANAKANNYA

Barangsiapa bernadzar hendak ta’at, kemudian tidak mampu menyempurnakannya, maka ia harus membayar kafarah sumpah.

Dari Uqbah bin Amir ra dan dari Rasulullah saw, Beliau bersabda, ”Kaffarah nadzar adalah kafarah sumpah.” (Shahih: Shahihul Jami’ no: 4488, Muslim III: 1265 no: 1645 dan Nasa’i VII: 26).

6.    ORANG YANG BERNADZAR KEMUDIAN MENINGGAL DUNIA

Siapa saja yang bernadzar, lalu wafat sebelum menyempurnakan nadzarnya, maka harus dilaksanakan oleh walinya.

Dari Ibnu Abbas ra bahwa ia berkata: Sa’ad bin Ubadah pernah meminta fatwa kepada Rasulullah saw perihal ibunya yang mempunyai tanggungan nadzar (lalu) wafat sebelum menyempurnakannya. Maka jawab Rasulullah saw, ”Maka hendaklah engkau menyempurnakannya.” (Muttafaqun ’alaih: Muslim III: 1260 no: 1638 dan lafadz ini baginya, Fathul Bari XI: 583 no: 6698, ’Aunul Ma’bud IX: 134 no: 3283, Tirmidzi III: 51 no: 1586, Nasa’i VII: 21 dan Ibnu Majah I: 689 no: 2132).

Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 752 – 756.