Bab I’tikaf

I‘tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan adalah termasuk amalan sunnah yang sangat dianjurkan, karena mencari kebaikan dan demi mendapatkan Lailatul Qadr. 

Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu, apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari pada seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat, terutama malaikat Jibril dan izin Rabbnya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh kesejahteraan sampai terbit fajar."(Al-Qadr: 5).

Dari Aisyah r.a. berkata, adalah Rasulullah saw. beri’tikaf pada sepuluh hari yang terakhir dari Ramadhan, dan beliau bersabda, “Carilah lailatul qadr pada sepuluh malam yang terakhir dari bulan Ramadhan." (Shahih: Mukhtashar Bukhari no: 987, Fathul Bari IV: 259 no: 2020, Tirmidzi II: 144 no: 789).

 Dari (Aisyah) r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Carilah lailatul qadr pada (malam) yang ganjil di sepuluh malam yang terakhir dari bulan Ramadhan!” (Muttafaqun’alaih : Fathul Bari IV: 259 no: 2017, dan Muslim II: 628 no: 1169).

Adalah Rasulullah saw. sangat menganjurkan dan amat menekankan shalat malam di malam lailatul qadr, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits dari Abu Hurairah r.a. Nabi saw. bersabda, “Barangsiapa yang shalat malam di malam lailatul qadr karena iman dan mengharapkan pahala di sisi Tuhannya, niscaya diampuni baginya dosa-dosanya yang telah lalu.” (Muttafaqun’alaih : Fathul Bari IV: 255 no: 2014, Muslim I: 523 no: 760 ‘Aunul Ma’bud IV: 146 no: Nasa’i IV: 157).

I’tikaf harus dilaksanakan di masjid, berdasar firman Allah SWT, “(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, padahal kamu sedang beri’tikaf dalam masjid.” (Al-Baqarah: 187).

Dan, karena Rasulullah saw. senantiasa beri’tikaf di masjid.

Dianjurkan bagi mu’takif (orang yang i’tikaf) agar menyibukkan diri dengan berbagai keta’atan keapda Allah, seperti shalat, tilawatul (membaca) Qur’an, tasbih, tahmid, tahlil, takbir, istiqhfar, shalawat, do’a, kajian ilmu, dan semisalnya.

Mu’takif, dianggap makruh menyibukkan dirinya dengan perkataan atau perbuatan yang tidak berguna, sebagaimana ia dipandang makruh juga menahan diri tidak berbicara karena menyangka bahwa yang demikian itu termasuk dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. (Fiqhus Sunnah: 404 dengan sedikit perubahan).

Mu’takif, diperbolehkan keluar dari tempat i’tikafnya  manakala ada hajat yang harus dilakukan, sebagaimana ia dibolehkan menyisir dan menggundul rambutnya, memotong kukunya dan membersihkan badannya.

I’tikaf akan menjadi batal karena sang mu’takif keluar dari masjid tanpa ada hajat atau karena jima’ (menggauli isterinya). 

Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 414 – 418.