Orang Yang Wajib Melaksanakan Shiyam

Para ulama’ sepakat bahwa shiyam, puasa wajib dilaksanakan oleh orang muslim, yang berakal sehat, baligh, sehat, dan muqim (tidak sedang bepergian) dan untuk perempuan harus dalam keadaan suci dari darah haidh dan nifas. (lihat Fihus Sunnah I:506). Adapun tidak diwajibkannya shiyam atas orang yang tidak berakal sehat dan belum baligh, didasarkan pada sabda Nabi saw., “Diangkat pena dari tiga golongan (pertama) dari orang yang gila hingga sembuh, (kedua) dari orang yang tidur hingga bangun dari tidurnya, dan (ketiga) dari anak kecil sampai ihtilam (bermimpi basah)." (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no:3514 dan Tirmidzi II:102 no: 693). 

Adapun tidak diwajibkannya puasa atas orang yang tidak sehat, tapi muqim, mengacu pada firman Allah SWT, “Maka barangsiapa  diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." (Al-Baqarah. 184). 

Namun jika ternyata orang yang sakit dan yang musafir itu tetap berpuasa, maka puasanya mencukupi keduanya. Karena dibolehkannya keduanya berbuka itu hanyalah sebagai rukhshah, keringanan bagi mereka. Maka jika mreka berdua tetap bersikeras untuk mengamalkan ketentuan semula ‘azimah, maka itu lebih baik.

Manakah Yang Lebih Afdhal Berpuasa Atau Berbuka

Jika dengan berpuasa orang yang sakit dan yang musafir tidak mendapatkan kesulitan yang berarti, maka berpuasa lebih afdhal. Sebaliknya jika mereka berdua ternyata menghadapi kesulitan dan kepayahan yang sangat, maka berbuka lebih afdhal. 

Dari Abu Sa’id al-Khudri r.a. ia berkata, “Dahulu kami berperang bersama Rasulullah saw. di bulan Ramadhan, maka diantara kami ada yang tetap berpuasa dan ada pula yang berbuka. Orang yang (tetap) berpuasa tidak marah (mencela) kepada yang berbuka dan tidak (pula) yang berbuka kepada yang berpuasa. Mereka berpendirian bahwa barang siapa yang kuat, lalu berpuasa, maka yang demikian itu lebih baik. (Shahih: Shahih Tirmidzi no: 574, Muslim II:787 no.96 dan 1116, dan Tirmidzi II: 108 no: 708).

Adapun tentang tidak diwajibkannya shiyam atas perempuan yang haidh dan yang nifas, didasarkan pada hadits dari Abu Sa’id al-Khudri r.a. bahwa Nabi saw. bersabda bersabda, “Bukankah bila perempuan datang bulan ia tidak (boleh) shalat dan puasa ? Maka yang demikian sebagai pertanda kekurangan pada agamanya?” (Shahih: Mukhtashar Bukhari no:951 dan Fathul Bari IV: 191 no: 1951).

Apabila perempuan yang haidh atau nifas itu tetap melaksanakan ibadah shiyam, maka tidak cukup dan tidak berguna bagi mereka. Sebab, salah satu syarat wajibnya berpuasa bagi kaum perempuan adalah harus bersih dari haidh dan nifas, sehingga keduanya tetap wajib menqadha’nya. 

Dari Aisyah r.a. ia berkata, “Kami biasa haidh pada zaman Rasulullah saw., lalu kami diperintah menqadha puasa, namun tidak diperintah menqadha’ shalat. (Shahih: Shahih Tirmidzi no: 630, Muslim I:265 no:355, ‘Aunul Ma’bud I:444 no:259-260, Tirmidzi II: 141 no784 dan Nasa’i IV:191).

Hal-Hal Yang Wajib Dilakukan Kakek Dan Nenek Yang Tua Renta Serta Orang Yang Sakit Menahun Yang Tidak Diharapkan Kesembuhannya

Orang yang tidak mampu lagi berpuasa karena usianya sudah lanjut, atau karena yang semisalnya, maka harus berbuka puasa dengan syarat ia harus memberi makan setiap hari satu orang miskin. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT, “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) ; memberi makan seorang miskin." (Al-Baqarah:184). 

Dari ‘Atha’ bahwa ia pernah mendengar Ibnu Abbas r.a. membaca ayati ini, lalu ia berkomentar, “Sesungguhnya ayat ini tidak mansukh, yaitu kakek dan nenek yang sudah tua renta yang tidak mampu berpuasa hendaklah masing-masing memberi makan seorang miskin sebagai ganti tiap-tiap hari (yang mereka tidak puasa itu).” (Shahih:Irwa’ul  Ghalil no:912 dan Fathul Bari VIII:179 no:4505).

Wanita Yang Hamil Dan Yang Menyusui

Wanita yang hamil dan yang sedang menyusui yang merasa berat melaksanakan ibadah shiyam, atau keduanya merasa khawatir mengganggu kesehatan bayinya., bila tetap berpuasa, maka keduanya boleh berbuka dengan mengemban kewajiban membayar fidyah dan tidak ada kewajiban mengqadha’ bagi mereka. Hal ini mengacu kepada riwayat berikut. 

Dari Ibnu Abbas r.a. ia bertutur, “Kakek yang sudah tua renta dan nenek yang sudah lanjut usia, yang merasa amat berat melaksanakan ibadah shiyam diberi disepensasi untuk berbuka kalau keduanya mau, dan harus memberi makan seorang miskin setiap hari dan mereka tidak boleh mengqadha. Kemudian ketentuan itu dihapus oleh ayat ini, FAMAN SYAHIDA MINKUMUSY SYAHRA FALSYASHUMU (Karena itu, barang siapa di anara kamu hadir (di negeri/ tempat tinggalnya) pada bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa di bulan itu), dan tetaplah bagi kakek dan nenek yang lanjut usia, bila merasa berat menjalankan shiyam, dan wanit yangh amil dan yang menyusui yang merasa khawatir  (mengganggu kesehatan bayinya), agar berbuka dan mereka harus memberi makan seorang miskin sebagai ganti tiap-tiap hari (yang mereka tidak puasa itu)”. (Sanadnya kuat diriwayatkan : Baihaqi IV: 230).

Dari Ibnu Abbas r.a. katanya, “Jika wanita yang hamil merasa khawatir terganggu kesehatan dirinya dan wanita yang menyusui khawatir terganggu kesehatan bayinya ketika, berpuasa Ramadhan, hendaklah mereka berbuka dan memberi makan orang miskin sebagai ganti tiap hari (yang mereka tidak puasa itu), dan mereka tidak usah mengqadha’nya.” (Shahih: yang oleh al-Albani dalam Irwa-ul Ghalil IV:19 nisbatkan kepada ath-Thabari no: 2758 dan ia berkata, “Sanadnya shahih menurut persyaratan Imam Muslim).

Dari Nafi’I, ia bertutur, “Seorang puteri Ibnu Umar menjadi isteri seorang laki-laki Quraisy, dan ketika hamil merasa haus dahaga di (siang hari bulan) Ramadhan, lalu diperintah oleh Ibnu Umar agar berbuka dan (sebagai gantinya) agar memberi makan setiap hari satu orang miskin.” (Shahih sanadnya: Irwa-ul Ghalil IV:20 dan Daruquthni :207 no: 15).

Kadar Banyaknya Makanan Yang Wajib Diberikan

Mengenai hal ini dijelaskan dalam riwayat berikut. 

Dari Anas bin Malik r.a. ia mengatakan bahwa ia pernah tidak mampu berpuasa pada suatu tahun (selama sebulan), lalu ia membuat satu bejan tsarid (roti yang diremuk dan direndam dalam kuah. Lihat Kamus al-Munawwir (Penterj.) kemudian mengundang sebanyak tigapuluh orang miskin, sehingga dia mengenyangkan mereka. (Shahih Sanadnya: Irwa-ul Ghalil IV: 21 dan Daruquthni II: 207 no:16).

umber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm.391 — 396.