Larangan Keras Tidak Berbusana

Diriwayatkan dari al-Miswar bin Makhramah berkata, “Aku sedang membawa batu sementara aku memakai sarung yang agak kendur. Tiba-tiba sarungku terlepas sementara batu masih berada di tanganku dan aku tidak sanggup meletakkan hingga sampai ke tempatnya. Lantas Rasulullah saw. bersabda, ‘Kembalilah dan ambil sarungmu dan jangan berjalan sambil berjalan’,” (HR Muslim [341]).

Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri r.a, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah seorang laki-laki melihat aurat lelaki lain dan janganlah seorang wanita melihat aurat wanita lain. Janganlah seorang laki-laki bersama laki-laki lain dalam sehelai kain dan jangan pula seorang wanita bersama wanita lain dalam sehelai kain,” (HR Muslim [334]).

Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Jarhad, ia berkata, “Jahad adalah salah seorang dari ash-haabu shuffah. Ia berkata, ‘Rasulullah saw. duduk bersama kami sementara pahaku tersingkap. Lalu beliau bersabda, ‘Tidakkah engkau tahu bahwa paha itu aurat’?” (Shahih lighairihi, HR Abu Dawud [4014]).

Diriwatkan dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Dua jenis manusia penghuni neraka yang tidak pernah aku lihat: seorang yang selalu membawa cemeti seperti ekor sapi lalu melecutkannya kepada orang-orang. Wanita-wanita yang berpakaian tapi bertelanjang, berlenggak-lenggok mengundang perhatian dan menyimpang dari kebenaran. Ia bersanggul seperti punuk unta yang bergoyang ke kanan dan ke kiri. Mereka ini tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium aromanya. Sesungguhnya aroma surga dapat tercium sejauh perjalanan sekian dan sekian’,” (HR Muslim [2218]).

Kandungan Bab:

  1. Haram bertelanjang dan membuka aurat. Adapun aurat laki-laki mulai dari pusat hingga lutut dan wanita semua tubuhnya aurat kecuali yang dikecualikan oleh dalil, seperti muka dan telapak tangan walau ada perbedaan pendapat mengenai keshahihan haditsnya. 
  2. Hadits-hadits yang mencantumkan bahwa Nabi saw. pernah mengyingkapkan pahanya sebagaimana hadits Aisyah dan Anas sebenarnya tidak bertentangan dengan bab di atas, sebab para ulama telah mengkompromikan hadits-hadits itu dari beberapa segi:
    1. Menyingkap paha hanya diperbolehkan khusus bagi Nabi saw. 
    2. Riwayat yang menyebutkan bahwa beliau pernah menyingkap paha hanya mengisahkan waktu itu bukan umum untuk semua waktu.
    3. Ibnu Qayyim dalam kitab Tahdzibuss Sunnan (VI/17) berkata, “Cara mengkompromikan hadits-hadits tersebut ialah sebagaimana yang disebutkan oleh beberapa murid Ahmad dan lain-lain bahwasanya aurat itu ada dua macam, khafifah dan mughalazhah. Aurat mughalazhah adalah qubul dan dubur. Adapun aurat khafifah adalah kedua paha. Tidak ada ada pertentangan antara perintah untuk tidak melihat kedua paha karena itu merupakan aurat, dengan menyingkapnya karena paha adalah aurat mukhafafah. Allahu a’lam.

    Saya katakan, “Mungkin pendapat yang paling dekat adalah perkataan Ibnul Qayyim ini. Hanya saja dibantah dengan pernyataan bawa pada hadits Jarhad diperintahkan untuk menutup paha bukan memalingkan pandangan. Jadi keduanya memiliki perbedaan; dengan menutup paha berarti juga sudah terhindar dari pandangan, sementara dengan memalingkan pandangan tidak berarti menutup paha. Demikian zhahir perkataan Ibnu Qayyim. Oleh karena itu yang diamalkan adalah hadits Jarhad dengan alasan berikut:

    Pertama: Hadits Jarhad adalah hadits qauliyah, sedangkan hadits-hadits yang lain adalah hadits fi’liyah dan qauliyah lebih dikedepankan dari pada fi’liyah.

    Kedua: Hadits Jarhad berisikan larangan dan hadits lain menunjukkan pembolehan dan larangan lebih dikedepankan daripada pembolehan.

    Ketiga: Mengamalkan hadits Jarhad lebih selamat. Oleh karena itu Bukhari di dalam Fathul Baari (I/478) berkata, “Hadits Anas lebih kuat dan hadits Jarhad lebih selamat serta terlepas dari perselisihan para ulama.”

  3. Termasuk telanjang orang yang memakai busana tipis dan ketat yang memperlihatkan dan membentuk lekik-lekuk aurat sebagaimana hadits Abu Hurairah r.a. yang tertera di bahah bab.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/212-214.

Baca Juga