Tidak Ada Fara’ dan ‘Athiirah

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, dari Nabi saw. beliau bersabda, “Tidak ada fara’ dan ‘athiirah,” (HR Bukhar [5473] dan Muslim [1976]).

Kandungan Bab: 

  1. Al-Fara’ ialah anak unta pertama yang disembelih untuk berhala dan tuhan-tuhan mereka pada masa jahiliyyah. Al-‘Athiirah ialah hewan sembelihan yang disebut dengan rajabiyah, yaitu hewan yang mereka sembelih pada bulan Rajab untuk pengagungan bulan tersebut. Sebab bulan Rajab adalah awal bulan haram. 
  2. Penafian yang tercantum dalam hadits menunjukkan larangan, sebab dalam hadits lain tercantum dengan jelas bahwasanya Rasulullah saw. melarang melakukan fara’ dan ‘athiirah. 
  3. Larangan ini menunjukkan pengharaman, yaitu haram melakukan fara’ dan ‘ahiirah dengan cara yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyyah dahulu. Oleh karena itu dalam satu riwayat Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada Fara’ dan ‘athiirah dalam Islam,” (Shahih, HR Ahmad [II/229]). 
  4. Dalam beberapa hadits ada yang menunjukkan disyari’atkannya fara’ dan ‘athiirah diantaranya:
    1. Diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya ia berkata, “Rasulullah saw. pernah ditanya tentang fara’, lantas beliau menjawab, “Fara’ itu hak dan biarkanlah hingga ia besar dan kuat menjadi ibnu mukhaadh atau ibnu labun lalu barulah kamu berikan kepada seorang janda atau digunakan untuk mengangkat beban dalam jihad fisabilillah. Yang demikian itu lebih baik dari pada kamu sembelih ketika dagingnya lengket ke bulu dan berarti kamu juga menumpahkan bejanamu dan membuat gelisah untamu.”

      Dalam riwayat lain tercantum, Rasulullah saw. ditanya tentang al-‘atiirah. Lalu beliau menjawab, “Al-‘Atiirah itu hak.”

      Sebagian kaum bertanya kepada Amr bin Syu’aib, “Apa yang dimaksud dengan ‘atiirah?” ia menjawab, “Dahulu orang-orang yang menyembelih kambing pada bulan Rajab kemudian memasaknya, menyantapnya dan membagikan kepada orang lain,” (Hasan, HR Abu Dawud [2842]). 

    2. Diriwayatkan dari Nubaisyah al-Hudzali r.a, bahwa seseorang berseru kepada Rasulullah saw., “Pada masa jahiliyyah dahulu kami menyembelih hewan ‘atiirah pada Rajab dan sekarang apa yang anda perintahkan kepada kami?” beliau menjawab, “Sembelihlah hewan untuk Allah di bulan apa saja dan taatilah Allah Azzawajalla lalu berikan makan orang lain.”

      Orang itu kembali berkata, “Pada masa jahiliyyah dahulu kami melakukan ‘atiirah dan sekarang apa yang anda perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Setiap unta yang mencari makan sendiri ada fara’nya. Setelah unta itu mampu mengangkat beban orang-orang haji, barulah engkau sembelih dan engkau sedekahkan dagingnya kepada ibnu sabil. Demikian itu tindakan yang lebih baik,” (Shahih, HR Abu Dawud [2830] dan Ibnu Majah [3167]). 

    3. Diriwayatkan dari Aisyah r.a, ia berkata, Rasulullah saw. memerintahkan kami agar dari setiap lima puluh ekor kambing disembelih satu ekor,” (Shahih, HR Abu Dawud [2833]).

      Ada beberapa hadits lain dalam bab ini yaitu dari Mikhnaf bin Sulaim, dan al-Harits bin Amr, hanya saja dalam sanadnya ada pembicaraan. Ini semua menunjukkan disyari’atkannya fara’ dan atiirah.

    Hadits-hadits di atas menunjukkan sebagai berikut:

    1. Disyariatkannya far’ yaitu menyembelih anak unta yang pertama kali lahir. 
    2. Dengan syarat penyembelihan itu dilakukan karena Allah Azzawajalla. 
    3. Lebih baik apabil hewan tersebut dibiarkan hingga gemuk lalu disedekahkan kepada para janda dan ibnu sabil atau dipergunakan untuk mengangkat barang keperluan fi sabilillah. 
    4. Disyari’atkannya ‘athiirah dengan tidak membedakan antara bulan Rajab dengan bulan-bulan lainnya. 
  5. Dengan demikian tidak ada pertentangan antara hadits bab dan hadits-hadits ini, dimana telah jelas bahwa larangan melakukan fara’ dan ‘atiirah bertujuan untuk membatalkan kebiasaan jahiliyyah yang menyembelih untuk tuhan-tuhan dan berhala mereka. Atau pembatalan adanya pengagungan bulan Rajab daripada bulan-bulan lain. Wallahua’lam.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/135-138.

Baca Juga