Dari al-Bara’ bin ‘Azib r.a, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Tidaklah mencintai kaum Anshar melainkan seorang mukmin dan tidaklah membenci mereka melainkan seorang munafik. Barangsiapa mencintai mereka niscaya Allah akan mencintainya dan barangsiapa membencinya niscaya Allah akan membencinya’,” (HR Bukhari [3783] dan Muslim [75]).
Dari Anas bin Malik r.a, dari Rasulullah saw. bersabda, “Tanda keimanan adalah mencintai kaum Anshar dan tanda kemunafikan adalah membenci kaum Anshar,” (HR Bukhari [3784 dan Muslim [74]). Dari Abu Sa’id al-Khudri r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Tidaklah membenci kaum Anshar orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir’,” (HR Muslim [77]).
Dari al-Harits bin Ziyad, salah seorang sahabat Nabi saw. berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Barangsiapa mencintai kaum Anshar niscaya Allah akan mencintainya pada hari pertemuan dengan-Nya. Dan barangsiapa membenci kaum Anshar niscaya Allah membencinya pada hari pertemuan dengan-Nya’,” (Shahih, HR Ahmad [III/429] dan Ibnu Hibban [7273]).
Dari Abu Hurairah r.a bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah membenci kaum Anshar orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir,” (HR Muslim [76]).
Kandungan Bab:
- An-Nawawi berkata dalam Syarh Shahih Muslim (II/64), “Makna hadits-hadits ini ialah siapa saja yang mengetahui martabat kaum Anshar, jasa mereka dalam membela agama Islam, usaha mereka meninggikannya, perlindungan mereka terhadap kaum muslimin, kesungguhan mereka melaksanakan kewajiban-kewajiban agama Islam, cinta mereka kepada Nabi dan cinta Nabi kepada mereka, pengorbanan harta dan jiwa mereka, perjuangan mereka di medan perang dan permusuhan mereka terhadap semua orang karena mengutamakan Islam, kemudian ia mencintai mereka karena semua itu, maka hal tersebut merupakan bukti kebenaran iman dan Islamnya. Karena kegembiraannya melihat kejayaan Islam dan melihat tegaknya apa yang diridhai Allah dan Rasul-Nya. Berbeda halnya dengan siapa saja yang membenci kaum Anshar. Kebenciannya terhadap mereka menjadi bukti kemunafikannya dan kerusakan bathinnya. Waallahua’lam.”
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani berkata dalam Fathul Bari (I/63), “Kaum Anshar bentuk jamak dari kata naashir, seperti ashaab bentuk jamak dari kata shahib. Atau bentuk jamak dari naashir seperti asyraaf bentuk jamak dari kata syariif. Alif laam di awalnya menunjukkan kepada identitas tertentu, yaitu Anshar (pembela) Rasulullah saw. yang dimaksud adalah suku Aus dan Khazraj. Sebelumnya mereka dikenal dengan sebutan bani Qailah, yaitu induk dari kedua kabilah tersebut. Rasulullah saw. menamakan mereka Anshar, lalu menjadi identitas resmi mereka. Identitas ini juga digunakan untuk anak keturunan mereka, sekutu mereka dan budak-budak yang mereka merdekakan.
Mereka diberi keistimewaan dengan sebutan tersebut karena dari sekian banyak kabilah yang ada merekalah yang berhasil melindungi Rasulullah saw. dan para sahabat beliau. Merekalah yang telah menyediakan segala keperluan kaum Muhajirin, mendermakan harta mereka dan mendahulukan kepentingan kaum muhajirin dari pada kepentingan mereka sendiri dalam banyak urusan. Karena sikat itu seluruh kelompok kabilah Arab maupun non Arab memusuhi mereka. Permusuhan yang membuahkan kebencian. Kemudian keistimewaan yang mereka raih juga membangkitkan kedengkian dan hasad. Kedengkian yang membuahkan kebencian. Oleh sebab itu, Rasulullah saw. mengeluarkan ultimatum tersebut dan mengeluarkan anjuran supaya mencintai mereka. Sampai-sampai beliau menjadikannya sebagai tanda-tanda keimanan dan tanda kemunafikan. Semua itu sebagai isyarat agungnya kedudukan kaum Anshar dalam Islam dan mulianya jasa mereka terhadap Islam.”
- Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari (VII/113), “Ibnu Tin berkata, ‘Maksudnya mencintai seluruh kaum Anshar dan membenci seluruh mereka. Semua itu tentunya atas dasar agama. Adapun membenci sebagian mereka karena suatu perkara yang memang patut dibenci maka tidaklah masuk dalam kandungan hadits di atas’.”
Kemudian Ibnu Hajar mengatakan, “Itu adalah perincian yang bagus.”
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 2/5591-583.