Kaidah Halal Dan Haramnya Suatu Makanan

Pada dasarnya semua yang bermanfaat dan hal-hal yang baik adalah halal sedangkan semua yang membahayakan dan yang buruk adalah haram.

Hukum asal makanan baik dari hewan, tumbuhan, yang di laut, maupun yang di darat adalah halal, sampai ada dalil yang mengharamkannya. Allah Ta’alaa berfirman;

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا

“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi.” (QS. Al-Baqarah: 29)

Allah Juga befirman,

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ ۚ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا

“Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia.” (QS. Al-A’raf: 32)

Berkata Imam Syafi’i, “Hukum asal makanan dan minuman adalah halal, kecuali apa yang
diharamkan oleh Allah dalam Al-Qur’an-Nya atau melalui lisan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam Karena apa yang diharamkan oleh Rasulullah sama dengan
pengharaman (dari) Allah.” (Al-Umm 2/213

Jika seseorang ragu terhadap suatu makanan dan ia tidak diketahui apakah makanan tersebut halal ataukah haram, maka sebaiknya makanan tersebut ditinggalkan.

Berkata Ibnu Daqiqil ‘Ied, “”(Apabila) seseorang ragu mengenai sesuatu. Ia tidak tahu apakah halal ataukah haram, dan mengandung dua kemungkinan tersebut, serta tidak ada petunjuk atas salah satu dari keduanya. (Maka) yang terbaik ialah menjauhinya. Sebagaimana yang dilakukan Nabi mengenai kurma yang tercecer ketika beliau menemukannya di rumahnya, lalu beliau bersabda, “Seandainya aku tidak khawatir bahwa kurma tersebut adalah dari sedekah, niscaya aku memakannya.” (HR. Muttafaq Alaihi)

Namun jika telah jelas bahwa tidak ada dalil yang melarang untuk memakan suatu makanan tertentu, maka menghindari makanan tersebut merupakan sikap berlebih-lebihan (ghuluw) di dalam agama.

Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, “Apabila didapati kemungkinan ketidakjelasan (dalam suatu makanan) dan kemungkinannya kuat, maka kecondongan ditinggalkannya lebih kuat, sebaliknya jika (kecondongannya) lemah, (maka) lemah pula kecondongan (untuk) ditinggalkannya. Jika ketidakjelasan tersebut tidak didapati sama sekali, maka sikap meninggalkan dianggap membebani diri yang dilarang syari‟at.”

Sumber: Ensiklopedi Fiqh Islam oleh Abu Hafidzah Irfan