Mengagungkan Apa-Apa Yang Dihormati Di Sisi Allah

Allah Subhanahu wa Ta’alaa berfirman yang artinya:

“Dan, barangsiapa mengagungkan apa-apa yang dihormati di sisi Allah, maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Rabbnya.” (Al-Hajj: 30).

Di antara para mufassir ada yang mengatakan bahwa hurumatullah di sini adalah hal-hal yang dimurkai dan dilarang Allah. Sedangkan pengagungannya ialah dengan meninggalkannya.

Menurut Al-Laits, hurumatullah adalah apa yang tidak boleh dilanggar. Ada pula yang berpendapat, artinya perintah dan larangan.

Menurut Az-Zajjaj, hurumat artinya apa yang harus dilaksanakan dan tidak boleh diabaikan. Ada pula segolongan ulama yang berpendapat, hurumat artinya manasik dan tempat-tempat syi’ar haji, baik waktu maupun tempat. Pengagungannya ialah dengan memenuhi haknya dan menjaga kelestariannya.

Menurut pengarang Manazilus-Sa’irin, mengagungkan hurumatullah ini ada tiga derajat:

  1. Mengagungkan perintah dan larangan, bukan karena takut kepada siksaan sehingga menjadi perlawanan bagi nafsu, bukan karena untuk mencari pahala sehingga pandangan hanya tertuju kepada imbalan, dan bukan karena menampakkan amal untuk riya’, karena semua ini merupakan sifat penyembahan nafsu.

Masalah ini merupakan topik yang paling banyak dibicarakan manusia. Mereka mengagungkannya dan juga para pelakunya, dengan disertai keyakinan bahwa ini merupakan derajat ubudiyah yang paling tinggi, yaitu tidak menyembah Allah, melaksanakan perintah dan larangan- Nya karena takut siksaan-Nya dan mengharapkan pahala-Nya.

Cinta yang sejati tidak menghendaki yang demikian ini, karena orang yang mencintai tidak menginginkan bagian dari orang yang dicintainya. Jika perhatiannya hanya tertuju kepada bagian yang diterimanya, maka itu merupakan cacat dalam cintanya. Jika dia hanya ingin merasakan nikmatnya pahala, berarti dia merasa berhak mendapat-kan pahala dari

Allah atas amal yang dikerjakannya. Dalam hal ini akan mendatangkan dua ujian: Perhatiannya hanya tertuju kepada pahala, dan muncul persangkaan yang baik terhadap amalnya sendiri.

Tidak ada yang bisa melepaskan diri dari perhatian semacam ini kecuali memurnikan pelaksanaan perintah dan larangan dan segala aib. Bahkan pelaksanaannya harus dilandasi pengagungan terhadap yang memerintah dan yang melarang, bahwa Dia memang layak untuk disembah dan apa-apa yang dihormati di sisi-Nya harus diagungkan,

sebagaimana yang disebutkan di dalam pepatah Isra’iliyat, “Sekira-nya Aku tidak menciptakan surga dan neraka, apakah Aku tidak layak disembah?”

Jiwa yang tinggi dan suci ialah yang menyembah Allah, karena memang Dia layak untuk disembah, dimuliakan, dicintai dan diagungkan. Seorang hamba tidak boleh seperti buruh yang jahat, jika upah sudah diberikan dia baru mau bekerja, dan jika tidak diberikan, maka dia tidak mau bekerja. Amal orang yang memiliki ma’rifat dimaksudkan

untuk mendapatkan kedudukan dan derajat, sedangkan amal para buruh ialah untuk mendapatkan upah dan bayaran. Tentu saja perbedaan di antara keduanya sangat jauh.

Tapi ada golongan lain yang menganggap perkataan ini hanya sekedar bualan dan isapan jempol semata. Mereka berhujjah dengan keadaan para nabi, rasul dan shiddiqin. Mereka berdoa dan juga memohon. Mereka dipuji karena takut kepada neraka dan mengharapkan surga, sebagaimana firman Allah tentang hamba-hamba-Nya yang khusus.

Allah berfirman yang artinya,

“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas, dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” (Al-Anbiya’: 90).

Artinya, mereka mengharap apa yang ada di sisi Kami, dan mereka juga cemas karena adzab Kami. Orang-orang yang disebutkan dalam ayat ini adalah para nabi yang disebutkan dalam surat Al-Anbiya’ ini.

Allah telah menyebutkan hamba-hamba-Nya yang khusus, orangorang yang memiliki ma’rifat dan orang-orang yang berpikir, bahwa mereka semua memohon surga dan berlindung dari neraka. Begitu pula Ibrahim Al-Khalil. Firman Allah tentang sabda beliau (Nabi Ibrahim),

“Dan, yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat. Ya Rabbi, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalarn golongan orang-orang yang shalih, dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian, dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mempusakai surga yang penuh kenikmatan, dan ampunilah bapakku, karena sesungguhnya ia adalah termasuk golongan orang-orang yang sesat, dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.”(Asy-Syu’ara’: 82-89).

Ibrahim memohon surga dan berlindung dari neraka atau penghinaan pada hari berbangkit. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga memerintahkan umatnya agar memohon kedudukan yang tinggi di surga kepada Allah pada waktu yang tepat untuk pengabulan doa, yaitu setelah adzan, dan mengabarkan bahwa siapa yang meminta hal itu, maka dia akan mendapatkan syafaat beliau.

  1. Menyampaikan pengabaran menurut zhahirnya, tidak membuat kajian yang menyimpang dari zhahirnya, tidak memaksakan ta’wil, tidak membuat perumpamaan dan perkiraan. Pengarang Manazilus-Sa’irin mengisyaratkan hal ini kepada pemeliharaan kehormatan nash asma’ dan sifat-sifat Allah, dengan menyampaikan pengabaran ini menurut zhahirnya dan menciptakan persepsi pemahaman yang sama di tengah umat.

Malik pernah ditanya tentang firman Allah, “Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy”. (Thaha: 5), “Bagaimana Dia bersemayam di sana?”

Cukup lama Malik hanya menundukkan kepala. Keringat dingin sudah membasahi tubuhnya. Akhirnya dia menjawab, “Bersemayamnya Allah sudah jelas. Tentang bagaimana semayam-Nya, maka tidak bisa dicapai akal manusia.

Iman kepada semayamnya Allah ini wajib, dan menanyakan bagaimana semayamnya adalah bid’ah.” Siapa yang menanyakan firman Allah (kepada Musa dan Harun), “Sesungguhnya Aku berserta kamu berdua, aku mendengar dan melihat”, (Thaha: 46),

“Bagaimana cara Allah mendengar dan melihat?” Maka dapat dijawab seperti jawaban Malik di atas. Begitu pula siapa yang menanyakan sifatsifat Allah yang lain. Makna-maknanya sudah bisa dipahami. Tentang bagaimananya, maka tidak bisa dicapai akal manusia. Yang paling baik dalam masalah ini ialah mensifati Allah dengan sifat yang disifati Allah kepada Diri-Nya dan seperti yang disifati Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, tanpa merubah dan menyim-pangkannya, tanpa menggambarkan caranya dan tidak pula membuat perumpamaan.

Sedangkan ta’wil yang dimaksudkan di sini adalah ta’wil terminologis, yaitu mengalihkan lafazh dari zhahirnya, mengalihkan dari makna yang lazim ke makna yang tidak lazim. Para ulama sudah menyepakati hal ini Tidak membuat perumpamaan artinya menyerupakan dengan sifat-sifat makhluk.

  1. Menjaga semangat agar tidak dikotori kelancangan, menjaga kegembiraan agar tidak dimasuki rasa aman, dan menjaga kesaksian agar tidak ditentang sebab. Derajat ini dikhususkan bagi orang-orang yang memiliki kesaksian, yang biasanya mereka itu penuh semangat dan merasakan kegembiraan.

Semangat yang dikotori kelancangan ini bisa mengeluarkan seorang hamba dari adab ubudiyah dan membawanya kepada bualan, seperti orang yang berkata, “Subhani” yaitu orang yang berkata “Maha Suci Aku”. Orang yang berkata seperti ini adalah orang sufi yang bernama Yazid Al-Busthamy.

Menjaga kegembiraan agar tidak dimasuki rasa aman, artinya orang yang bersemangat dan memiliki kesaksian biasanya merasakan kegembiraan yang tidak terkira. Namun keadaannya ini tidak boleh membuatnya merasa aman dari tipu daya. Kegembiraan dan kesenangannya harus tetap dijaga dan dipelihara.

Menjaga kesaksian agar tidak ditentang sebab artinya, boleh jadi orang yang memiliki kesaksian merasa lemah dalam mempersaksikan hakikat tauhid, lalu dia menduga telah mendapatkan apa yang diinginkannya karena suatu ijtihad dan ibadah yang mukhlis. Ini menunjukkan adanya kekurangan dalam tauhid dan ma’rifatnya. Sebab kesaksian ini merupakan anugerah dan tidak muncul karena suatu usaha.

 

Sumber: Madarihus Salikin oeh Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah