Buah Merenungi Al-Qur’an

Jika kamu perhatikan apa yang diserukan Allah SWT untuk direnungkan, hal itu mengantarkan kamu pada ilmu tentang Tuhan, tentang keesaan-Nya, serta sifat-sifat keagungan-Nya seperti qudrat, ilmu, hikmah, rahmat, ihsan, keadilan, ridha, murka, pahala, dan siksa-Nya. Demikianlah. Dia memperkenalkan diri kepada hamba-hamba-Nya dan menyeru mereka untuk merenungi ayat-ayat-Nya. Kami akan menyebutkan beberapa contoh saja yang disebutkan Allah SWT dalam kitab-Nya; yang lain dapat anda cari sendiri.

Di antaranya adalah penciptaan manusia. Bukan hanya dalam satu tempat Allah SWT menyuruh kita untuk merenungkannya, seperti firman-Nya,

“Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan?” (ath-Thaariq: 5)

“Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan?” (adz-Dzaariyaat: 21)

“Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepadamu, dan Kami tetapkan dalam rahim apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan. Kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampai pada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang dahulunya telah diketahuinya.” (al-Hajj: 5)

“Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)? Bukankah dia dahulu dan setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim)? Kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya. Lalu Allah menjadikan dari-padanya sepasang: laki-laki dan perempuan. Bukankah (Allah yang berbuat) demikian berkuasa (pula) menghidupkan orang mati?” (al-Qiyaamah: 36-40)

“Bukankah Kami menciptakan kamu dari air yang hina, kemudian Kami letakkan dia dalam tempat yang kokoh (rahim), sampai waktu yang ditentukan, lalu Kami tentukan (bentuknya), maka Kamilah sebaik-baik yang menentukan.” (al-Mursalaat: 20-23)

“Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setitik air (mani), maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata!” (Yaasiin: 77)

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia darisuatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik” (al-Mukminuun: 12-14)

Amat banyak ayat di dalam Al-Qur’an yang menyeru manusia untuk memikirkan proses awal, tengah, dan akhir dalam penciptaan manusia. Karena diri manusia dan cara penciptaannya adalah sebagian di antara dalil terkuat atas sang Pencipta. Selain itu juga karena yang terdekat dengan manusia adalah dirinya sendiri. Di sana terdapat keajaiban-keajaiban yang menunjukkan keagungan Allah SWT yang manusia tidak dapat mengetahui walaupun sebagiannya saja. Tapi, manusia lalai dan tidak mau merenungkan dirinya sendiri. Kalau ia mau merenungkan diri sendiri, tentu keajaiban-keajaiban penciptaan yang diketahuinya mencegah para manusia untuk berbuat kafir. Allah SWT berfirman,

“Binasalah manusia; alangkah amat sangat kekafirannya. Dari apakah Allah menciptakannya? Dari setetes mani, Allah menciptakannya lalu menentukannya. Kemudian Dia memudahkan jalannya. Kemudian Dia mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur. Kemudian bila Dia menghendaki, Dia membangkitkannya kembali.” (Abasa: 17-20)

Allah SWT ketika menyebutkan hal ini berulang kali di telinga kita bukan hanya agar kita mendengar kata nuthfah, ‘alaqah, mudhghah, turab, atau agar kita membicarakannya saja, atau sekedar ingin memberitahukan kepada kita. Tetapi, maksud dan tujuan Tuhan adalah untuk sesuatu yang berada di balik itu semua. Karena alasan inilah, tuhan membicarakan hal tersebut.

Sekarang, perhatikanlah nuthfah dengan seksama! la hanyalah setetes air yang hina dan lemah serta menjijikkan. Kalau berselang sesaat saja, akan rusak dan busuk. Bagaimana Tuhan Yang Maha Tahu dan Kuasa mengeluarkannya dari antara shulb (tulang sulbi lelaki) dan taraa’ib (tulang dada perempuan). Bagaimana nutfah itu bisa dan tunduk kepada kekuasaan dan kehendak-Nya meski jalan yang dilalui sempit dan bercabang-cabang, sampai Dia menggiringnya ke tempat kediaman dan tempat berkumpulnya? Bagaimana pula Allah SWT mengumpulkan lelaki dan wanita dan menciptakan cinta kasih di antara keduanya?

Bagaimana Dia menggiring keduanya dengan rentetan syahwat dan cinta untuk berkumpul yang akhirnya menjadi sebab terciptanya anak? Dan, bagaimana Dia menetapkan bertemunya dua air itu padahal letak kedua air itu sebelumnya berjauhan? Bagaimana Allah menggiringnya dari dasar urat-urat dan organ yang dalam dan mengumpulkan keduanya di satu tempat yang dijadikan sebagai tempat kediamannya yang kokoh, tidak tersentuh udara sehingga rusak, atau dingin sehingga membeku, dan tidak terjangkau oleh penyakit?

Kemudian Dia mengubah nuthfah yang amat putih itu menjadi ‘alaqah yang merah kehitaman. Lalu dijadikan-Nya mudhghah (segumpal daging) yang berbeda dengan ‘alaqah dalam warna, hakikat, dan bentuknya. Lalu Dia menjadikannya tulang belulang tanpa pembungkus yang berbeda dengan mudhghah dalam bentuknya, keadaannya, ukurannya, dan warnanya.

Lihatlah bagaimana Dia membagi bagian-bagian yang mirip dan sama itu menjadi organ-organ, tulang-tulang, urat-urat, dan otot-otot; ada yang keras, lunak, dan sedang. Kemudian bagaimana Dia mengikat antara bagian-bagiannya dengan ikatan tali paling kuat yang paling sulit terurai. Bagaimana la membungkusnya dengan daging yang dijadikan-Nya sebagai wadah, penutup, dan pelindungnya; dan menjadikan tulang itu sebagai sarana yang membawa daging tersebut dan yang menjadikannya berdiri tegak. Jadi, daging berdiri dengan bantuan tulang, dan tulang berlindung dengan daging.

Bagaimana Allah SWT membentuknya dengan bentuk yang indah; membuat lubang telinga, mata, mulut, hidung, dan luang-lubang yang lain; memanjangkan tangan dan kaki, dan membagi ujung-ujungnya menjadi jari-jemari, lalu membagi jari-jari menjadi ruas-ruas lagi. Dia memasang organ-organ dalam; seperti jantung, usus, hati, paru-paru, ginjal, rahim, kandung kencing. Masing-masing punya ukuran khusus dan manfaat yang khas.

Lalu perhatikanlah hikmah-Nya yang luar biasa dengan menjadikan tulang sebagai penegak dan tiang penopang badan. Bagaimana Tuhan menakarnya dengan ukuran-ukuran dan bentuk-bentuk yang berbeda-beda. Ada yang besar, kecil, panjang, pendek, melengkung, lurus, tipis, dan tebal. Bagaimana Dia memasang satu sama lain. Ada yang pasangannya adalah seperti masuknya kemaluan jantan ke betina, ada yang dipasang dengan sambungan saja. Bagaimana bentuk-bentuknya berbeda sesuai dengan perbedaan manfaat masing-masing. Gigi geraham misalnya. Karena gigi ini fungsinya adalah mengunyah, bentuknya dibuat lebar. Sedang gigi yang lain, yang fungsinya memotong dijadikan bentuknya tipis dan tajam.

Karena manusia butuh bergerak dengan keseluruhan badannya dan dengan sebagian organ tubuhnya untuk melaksanakan hajatnya, Dia tidak menjadikan tulang sebagai satu kesatuan, melainkan tulang-tulang yang banyak, dan dia menjadikan antara tulang-tulang itu persendian agar memungkinkan bergerak. Tiap persendian itu ukuran dan bentuknya pas dengan gerak yang dibutuhkannya. Allah SWT mengikat kuat persendian dan organ itu dengan tali-tali yang ditumbuhkan-Nya dari salah satu ujung tulang dan dilekatkan-Nya ujung yang lain pada ujung tulang satunya sebagai pengikat.

Lalu, di salah satu ujung tulang Dia juga membuat tonjolan-tonjolan keluar, dan pada ujung yang lain ada lubang-lubang yang pas benar dengan bentuk tonjolan itu sehingga dapat dimasukinya. Sehingga, bila manusia ingin menggerakkan salah satu bagian badannya, hal itu menjadi mungkin. Kalau tidak ada persendian, tentu ha] itu tidak bisa dilakukan.

Perhatikanlah bentuk kepala dan jumlah tulangnya yang begitu banyak, sampai ada yang mengatakan bahwa jumlahnya ada lima puluh lima buah yang bentuk, ukuran, dan manfaatnya berbeda-beda. Bagaimana Allah SWT memasangnya di atas badan, dan menjadikan tempatnya tinggi seperti posisi orang yang menunggang kendaraannya. Karena tinggi di atas badan, Dia meletakkan kelima indera di sana, yaitu pendengaran, penglihatan, penciuman, pengecap, dan perasa. Dia menjadikan indera penglihatan di depan agar berfungsi sebagai penjelajah dan penjaga bagi badan. Dia menyusun setiap mata terdiri dari tujuh lapisan. Setiap lapisan punya sifat, ukuran, dan manfaat khas. Satu saja di antara ketujuh lapisan itu hilang atau bergeser dari posisinya tentu mata tidak dapat melihat. Kemudian Allah SWT menciptakan di bagian tengah di dalam lapisan-lapisan itu satu makhluk yang ajaib, yaitu ‘manusia mata’ sebesar biji adas.

Dengannya manusia melihat benda-benda dari ujung barat ke timur, antara langit dan bumi. Dia menjadikannya seperti kedudukan hati terhadap organ tubuh yang lain. Dia adalah rajanya. Lapisan-lapisan, pelupuk, dan bulu-bulu mata adalah sebagai pembantu, penjaga, dan pelindungnya. Maha agung Allah, sebaik-baik Pencipta.

Lihatlah bagaimana Dia mengindahkan bentuk kedua mata itu, posisinya, dan ukurannya. Lalu Dia memperbagus dengan pelupuk mata sebagai penutup, pelindung, dan hiasannya. Pelupuk itu mencegah masuknya kotoran dan debu ke mata, melindungi mata dari dingin dan panas yang berbahaya. Kemudian Dia menanam bulu-bulu di tepi pelupuk sebagai hiasan dan keindahan serta untuk manfaat lainnya. Kemudian memberinya cahaya dan sinar mata yang menembus angkasa antara langit dan bumi, lalu menembus langit untuk melihat bintang-gemintang di atasnya. Allah SWT memberikan rahasia yang mengagumkan ini pada satu makhluk kecil tersebut. Sehingga, gambar langit yang sedemikian luasnya dapat terlukis di sana.

Dia menciptakan telinga dalam bentuk yang paling indah dan paling sesuai dengan fungsinya. Dia menjadikan bentuk daun telinga itu seperti sendok agar dapat mengumpulkan suara lalu mengirimkannya ke lubang telinga. Juga agar merasakan hewan serangga yang merayap di sana sehingga cepat-cepat dikeluarkannya. Dia menciptakan lipatan, rongga, dan lengkungan-lengkungan yang dapat menahan dan mengontrol udara dan suara yang masuk, mengurangi pedasnya, kemudian baru mengirimkannya ke lubang telinga. Di antara hikmah itu semua, agar jalannya menjadi panjang bagi hewan sehingga ia tidak dapat sampai ke lubang telinga sebelum manusia terbangun atau sadar untuk mencegahnya. Selain itu masih ada hikmah yang lain.

Sesuai dengan hikmah-Nya, Dia menjadikan air telinga amat pahit sehingga hewan tidak dapat melewatinya menuju ke dalam telinga. Bahkan, kalaupun hewan dapat sampai ke dalam, ia masih dapat mengusahakan mengusir hewan itu. Dan Dia menjadikan air mata rasanya asin untuk menjaga mata itu; karena mata adalah lemak yang mudah rusak. Jadi, asinnya rasa air mata adalah untuk menjaganya. Dia menjadikan air mulut (ludah) tawar manis untuk digunakan mencicipi rasa benda-benda sesuai dengan rasanya yang sebenarnya. Sebab, kalau rasanya tidak tawar, tentu akan menjadikannya seperti rasa air ludah itu; seperti orang yang pahit mulutnya, dia akan merasakan benda-benda yang sebenarnya tidak pahit menjadi terasa pahit sebagaimana dikatakan,

“Siapa sakit dan pahit mulutnya Air tawar pun akan pahit rasanya.”

Allah SWT memasang hidung di wajah, dengan bentuk dan posisi yang indah. Dia membuat dua lubang hidung dan memisahkan keduanya dengan penghalang; memberikan indera penciuman kepadanya untuk merasakan berbagai bau-bauan baik yang harum maupun yang busuk, yang bermanfaat ataupun yang berbahaya; menghirup udara untuk ditransfer ke jantung sehingga menjadi dingin dan segar. Dia tidak menciptakan bengkokan atau kerutan di dalamnya seperti di telinga agar tidak menahan bau sehingga menjadikannya lemah dan menghentikan alirannya.

Dia menjadikan hidung sebagai tempat tumpahnya sisa-sisa otak. Sisa-sisa otak itu terkumpul di sana lalu keluar. Sesuai dengan hikmah-Nya, Dia menjadikan bagian atas hidung lebih kecil dari bagian bawahnya. Karena bila yang bawah lebar, maka sisa-sisa otak terkumpul di sana lalu keluar dengan mudah. Juga karena dia menghirup udara sepenuh-penuhnya, lalu naik sedikit demi sedikit dan masuk ke jantung sehingga dengan cara seperti itu tidak mengagetkan dan membahayakannya.

Kemudian Dia memisahkan kedua lubang hidung itu dengan dinding pemisah. Tentu saja ini mengandung hikmah dan rahmat. Karena hidung merupakan sebuah batang saluran turunnya sisa-sisa otak dan sekaligus sebagai saluran naiknya pernafasan, maka perlu diletakkan pemisah agar tidak rusak karena mengalirnya sisa itu sehingga hidung tidak dapat menghirup udara. Bahkan, terkadang sisa-sisa itu mengalir turun dari salah satu lubang sehingga yang satunya terbuka untuk bernafas. Atau mungkin juga sisa itu mengalir terbagi kepada dua lubang itu sehingga hidung tidak tersumbat keseluruhan, tetapi tetap ada sisa ruang untuk menarik nafas.

Di samping itu, hidung adalah satu organ dan satu indera. Tidak dua organ dan dua indera seperti telinga dan mata yang hikmah menuntutnya untuk menjadi dua organ. Mungkin saja salah satu hikmah dijadikannya telinga dan mata menjadi dua adalah supaya seandainya ada salah satu mata atau telinga yang tidak normal atau menderita cacat sehingga mengurangi kesempurnaannya, maka masih ada yang satunya, yang utuh dan sehat. Sehingga apabila hal itu terjadi, fungsi indera ini tidak rusak secara total. Tapi, karena kalau ada dua hidung di wajah, maka akan tampak begitu jelas. Maka dipasanglah satu hidung saja, tapi lubangnya dibuat dua yang dipisahkan dengan sebuah penghalang yang fungsinya seperti dua telinga dan dua mata meski ia cuma satu. Maka, Maha Mulia Allah SWT, Tuhan Sebaik-Baik Pencipta.

Dia menciptakan mulut pada letak yang teramat pas. Di dalamnya tersedia berbagai manfaat, alat-alat pengecap, bicara, mengunyah, dan memotong yang mengagumkan akal. Dia memberikan lidah yang merupakan salah satu ayat-Nya yang menunjukkan bahwa Dia ada. Dia menjadikan lidah itu sebagai juru bicara bagi raja organ tubuh (hati). Lidah adalah pengungkap dan penjelas kata hati. Sebagiamana D43 menjadikan telinga sebagai agen (utusan) yang mengambil berita dan menyampaikannya kepada hati. Jadi telinga adalah tukang pos yang menyampaikan berita-berita kepada hati, sedang lidah adalah tukang pos yang mengungkapkan apa yang dikehendakinya.

Sesuai dengan hikmah-Nya, Dia menjadikan agen ini terjaga, terlindungi, dan tertutup; tidak tampak atau terbuka seperti telinga, mata, dan hidung. Karena organ-organ tersebut mengambil dari luar untuk diantarkan ke dalam, maka mereka diletakkan di bagian luar. Sedang karena lidah adalah sebaliknya, yaitu mengungkapkan dari dalam ke luar, maka dibuatkanlah penutup untuknya karena tidak ada gunanya menampakkan—sebab lidah tidak mengambil dari luar untuk dikirim ke hati.

Juga, karena lidah adalah organ termulia setelah hati, dan kedudukannya sebagai juru bicara dan menteri. Allah menciptakan “tenda” yang menutupi dan melindunginya, dan meletakkannya di dalam “tenda” itu seperti posisi jantung di dalam dada. Juga, ia adalah termasuk organ paling lunak, elastis, dan paling lembab. Ia tidak bergerak tanpa bantuan kelembaban yang mengelilinginya itu. Makanya, seandainya lidah berada di luar, tentu terancam serangan panas dan kekeringan yang menghalanginya bergerak. Dan, seterusnya masih ada hikmah dan faedah yang lain.

Kemudian, Allah SWT menghiasai mulut dengan gigi-gigi yang ada di dalamnya yang menambah keindahan sebagai hiasan, juga sebagai alat mengunyah makanan. Dia menjadikan sebagiannya sebagai alat menumbuk dan yang lain untuk memotong. Dia menancapkan pangkalnya dengan kokoh dan membuat ujung-ujungnya tajam, memutihkan warnanya, merapikan barisnya dengan tinggi yang sama dan urutan yang elok seakan-akan gigi itu adalah untaian permata yang putih, bening, dan indah.

Dan masih banyak lagi kebesaran Allah yang ada pada penciptaan manusia sebagai makhluk yang sempurna bentuknya. Wallahu A’lamu bis Shawwab.

 

Sumber: Miftah Dar As-Sa’adah oleh Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah