Tempat Makan dan Minum Penghuni Surga

Allah ta’alaa berfirman,

Diedarkan kepada mereka piring-piring dari emas dan piala-piala (akwaab).” (Az-Zukhruf: 71)

Abu Ubaidah berkata, “Akwaab adalah teko yang mempunyai telinga untuk pegangan.”

Ibnu Abbas berkata, “Akwaab adalah gelas yang tidak mempunyai telinga untuk pegangan.”

Muqatil berkata, “Tempat minum yang bulat atasnya dan tidak mempunyai tempat untuk pegangan.”

Dalam buku Nawadir Lihyani dikatakan bahwa imraatun ibriqun, jika wanita tersebut berkilauan. Allah ta’alaa berfirman,

Dan diedarkan kepada mereka bejana-bejana dari perak dan piala-piala yang bening laksana kaca. (yaitu) kaca-kaca (yang terbuat) dari perak yang telah diukur mereka dengan sebaik-baiknya.” (Al-Insan: 15-16)

Qawaarir adalah kaca. Di sini Allah mengabarkan bahwa bahan tempat mereka adalah perak dan bahwa perak tersebut seperti kaca karena saking beningnya. Ini adalah sesuatu yang paling indah dan mengagumkan. Allah ta’alaa berfirman,

Yang telah mereka diukur dengan sebaik-baiknya.”

Maksudnya adalah membuat sesuatu dengan ukuran tertentu. Para pembuat gelas-gelas tersebut telah mengukur ukuran gelas-gelas tersebut sesuai dengan kebutuhan pemiliknya, tidak lebih dan tidak kurang. Ini tentu menambah kenikmatan peminumnya.

Abu Ubaid berkata, “Yang dimaksud dengan taqdir pada ayat tersebut adalah, bahwa penghuni surga meminta minuman lalu ereka menentukannya lalu penghuni surga meminunya. Artinya bahwa kata ganti pada kata qaddaru adalah para malaikat dan pelayan-pelayan surga. Mereka menentukan ukuran gelas sesuai dengan kebutuhan setiap orang. Tidak lebih dari takarannya sehingga membosankan. Tidak pula kurang sehingga meminta tambahan seperti dikatakan sebelumnya.”
Ulama lainnya berkata bahwa, kata ganti kembali pada peminum dan bukannya kembali kepada para malaikat dan pelayan-pelayan surga. Artinya bahwa para peminum itu sendiri yang menentukan ukurannya kemudian mereka diberi minuman sesuai dengan ukuran yang telah mereka tentukan dan inginkan. Pendapat jumhur ulama dalam hal ini, lebih tepat. Allahu a’lam.

Abu Ya’la al-Maushulli berkata dalam Musnadnya, bahwa berkata kepada kami Tsauban yang berkata, bahwa berkata kepada kami Sulaiman bin Mughirah yang berkata, bahwa berkata kepada kami Tsabit yang berkata, bahwa berkata kepada kami Anas bin Malik Radliyallahu ‘anhu yang berkata,

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senang sekali dengan mimpi. Jika ada salah seorang sahabat yang bermimpi dan beliau belum mendapatkan ceritanya, maka beliau menanyakan mimpi tersebut kepada orangnya. Suatu waktu seorang wanita datang menghadap kepada beliau. Wanita tersebut berkata, ‘Wahai Rasulullah tadi malam aku bermimpi bahwa aku keluar dari Madinah ini kemudian aku masuk ke surga. Di surga, kudengar suara pintu terbuka. Aku arahkan pandanganku ke pintu tersebut, ternyata di situ berdiri fulan bin fulan dan fulan bin fulan totalnya dua belas orang.’ Sebelum itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus ekspedisi perang berkekuatan dua belas personel. Wanita tersebut berkata, ‘Mereka dipanggil dengan mengenakan pakaian yang kotor dan urat leher yang masih mengucurkan darah segar.’ Dikatakan, ‘Bawa mereka pergi ke sungai al-Baidakh atau al-Baidaj. Sesampainya di al-Baidakh, mereka mandi lalu mereka berubah. Wajah mereka bersinar laksana rembulan pada saat purnama. Mereka diberi piring yang terbuat dari eas dan di dalamnya terdapat kurma segar. Mereka pun memakan kurma segar tersebut sepuasnya. Apa saja yang datang ke tempat mereka. Mereka pun memakannya sepuas-puasnya dan aku pun ikut makan dengan mereka.’ Tidak lama kemudian datanglah utusan dari kedua belas anggota ekspedisi tersebut. Ia berkata, ‘Si fulan bin fulan telah gugur sebagai syahid.’ Ia menyebutkan sebanyak dua belas orang. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil wanita yang menceritakan mimpinya tadi dan bersabda kepadanya, ‘Cobalah mimpimu ceritakan kembali.’ Wanita tersebut berkata bahwa dalam mimpiku kulihat fulan bin fulan dan seterusnya hingga dua belas persis sepeti yang diceritakan utusan tadi.” (Riwayat Ahmad dengan sanad sesuai dengan syarat Muslim)

Sumber: Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. “Hadil Arwaah ila Bilaadil Afraah” atau “Tamasya ke Surga“. Terj. Fadhil Bahri, Lc. Bekasi: Darul Falah. 2015