45. Al-Qudduus (Yang Maha Suci)
46. As-Salaam (Yang Memberi Keselamatan)
Allah ta’alaa berfirman,
“Dia-lah Allah Yang tiada Ilah yang berhak disembah selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera.” (Al-Hasyr: 23)
Al-Qudduus dan as-Salaam, kedua asma’ ini memiliki makna yang berdekatan. Al-Qudduus diambil dari qaddasa dengan arti mensucikan dan menjauhkan-Nya dari kejahatan dan kekurangan serta membesarkan dan mengagungkan. As-Salaam di ambil dari kata as-salamah. Dia yang selamat (terhindar) dari kesamaan dengan makhluk-Nya, dari kekurangan, dan dari segala hal yang menafikan kesempurnaan-Nya. Dia yang disucikan, diagungkan, serta dibersihkan dari setiap kejahatan.
Sebagian cara mensucikan-Nya dari hal yang demikian itu menetapkan sifat kibriyaa’ (kebesaran) dan keagungan bagi-Nya. Maka sesungguhnya mensucikan yang dimaksud adalah memelihara kesempurnaan-Nya dari prasangka negatif, seperti prasangka orang-orang jahiliyyah yang menyangka-Nya dengan persangkaan yang keji, persangkaan yang tidak pantas terhadap Allah. Ibnu Qayyim berkata, “Nama as-Salaam artinya, Allah lebih berhak dengan nama ini dari setiap orang yang diberi nama yang sama karena Allah Maha Suci dari setiap aib dan kekurangan. Dia-lah as-Salaam yang haq dengan segala anggapan. Dan makhlk bernama salam dengan sandaran. Dia terhindar pada Dzat-Nya dari setiap aib dan kekurangan yang dibayangkan oleh persangkaan. Selamat dari setiap aib dan kekurangan, selamat dalam perbuatan-Nya dari setiap aib, kekurangan, kejahatan, kezhaliman, dan perbuatan yang terjadi, tanpa adanya hikmah. Dia as-Salaam yang haq dari setiap sisi dengan segala anggapan. Maka diketahui diyakini kepemilikan-Nya terhadap nama ini lebih sempurna dari kepemilikan setiap makhluk yang dipakaikan kepadanya.”
Inilah hakikat penyucian, Dia menyucikan diri-Nya sendiri begitu pula Rasul-Nya mensucikan-Nya. Demikian juga berdiri sendiri-Nya dan kekuasaan-Nya selamat dari kesulitan dan kelelahan. Ilmu-Nya selamat dari kesamaran atau adanya lupa. Kehendak-Nya selamat terhindar dari keluarnya segala keputusan-Nya akan hikmah dan mashlahat. Kalimat-Nya selamat dari kebohongan dan kezhaliman, bahkan kalimat-Nya sempurna dengan kebenaran dan keadilan. Kekayaan-Nya selamat dari memerlukan kepada yang lain, sekecil apa pun juga, bahkan semua makhluk-Nya memerlukan-Nya, Dia Yang Maha Kaya dari yang lain. Kerajaan-Nya selamat dari perebutan, sekutu, penolong, atau yang memberi syafa’at di sisi-Nya tanpa mendapat izin dari-Nya. Ketuhanan-Nya selamat/terhindar dari adanya sekutu bagi-Nya. Dia-lah Allah yang tiada Ilah selain Dia.
Sifat Hilm, pemaaf, pengampunan, dan tidak membalas-Nya selamat dari adanya kepentingan darinya atau kehinaan atau pura-pura seperti yang sering terjadi pada selain-Nya. Bahkan, hal itu tidak lain semata-mata kemurahan, kebaikan, dan kemuliaan-Nya.seperti itu juga adzab dan siksa, sangat keras dan cepat siksa-Nya, tidak mengandung unsur kezhaliman, kepuasan hati, kasar, bahkan hal itu semata-mata hikmah, keadilan dan meletakkan-Nya sesuatu pada tempatnya. Dia-lah yang berhak atas pujian dan sanjungan sebagaimana ia berhak atas kebaikan, pahalaa, dan nikmat-Nya. Bahkan, jika Dia meletakkan pahala di tempat siksa, niscaya bertentangan dengan hikmah dan kemuliaan-Nya. Dia meletakkan siksa pada tempatnya. Itulah bagian dari keadilan, hikmah, dan kemuliaan-Nya. Maka Dia selamat dari sangkaan musuh-musuh-Nya yang jahil dari adanya pertentangan hikmah-Nya.
Qadha dan Qadar-Nya terhindar dari kesia-siaan dan kezhaliman, serta dari persangkaan terjadinya perbedaan di antaranya dengan hikmah yang sangat dalam. Syariat dan agama-Nya terhindar dari pertentangan, perbedaan, kerancuan.
Seperti itu juga pemberian-Nya, selamat dari keadaan untuk mengharapkan imbalan dan adanya maksud kepada yang diberi. Menahan pemberian-Nya selamat dari kebakhilan dan takut fakir, bahkan pemberian-Nya itu semata-mata kebaikan, bukan sebagai balas jasa atau ada maksud. Menahan pemberian-Nya semata-mata karena keadilan dan hikmah-Nya yang tidak dicampuri kebakhilan dan kelemahan.
Bersamayam dan tinggi-Nya di atas ‘Arsy terhindar dari memerlukan kepada yang membawa-Nya atau tempat bersemayam-Nya, bahkan ‘Arsy lah yang butuh kepada-Nya dan malaikat pemikul yang butuh kepada Allah. Dia Maha Kaya dari ‘Arsy dan para malaikat pemikul dan dari apa pun selain Dzat-Nya. Dia-lah yang Maha Tinggi yang tidak bercampur dengan bilangan dan tiada keperluan kepada ‘Arsy dan yang lainnya. Tiada sesuatu pun yang meliputi Allah, bahkan Dia ada sebelum ‘Arsy ada.
Allah tidak membutuhkannya dan Dia Yang Maha Kaya dan Maha Terpuji, bahkan bersemayam-Nya di atas ‘Arsy dan berkuasa-Nya terhadap segala makhluk sebagian dari konsekuensi dan keharusan dari kerajaan dan keperkasaan-Nya, tanpa memerlukan ‘Arsy dan yang lainnya sedikit pun juga.
Turun-Nya setiap malam ke langit dunia terhindar dari pertentangan dengan sifat ketinggian-Nya dan selamat dari hal yang berlawanan dengan sifat kekayaan-Nya. Sifat kesempunaan-Nya selamat dari setiap sangkaan kaum Mu’aththilah (menolak sifat) dan kaum yang menyamakan sifat (Musyabbihah), serta selamat dari (sangkaan) bahwa Dia ada di bawah sesuatu atau terbatas pada sesuatu. Maha Suci Allah Rabb kita dari setiap sifat yang berlawanan dengan kesempurnaan-Nya.
Kekayaan, pendengaran, dan penglihatan-Nya selamat dari khayalan orang yang menyerupakan-Nya (dengan sesuatu) atau perkataan orang yang menafikan sifat-Nya.
Perlindungan-Nya kepada wali-Nya selamat dari kehinaan sebagaimana perlindungan seorang makhluk dengan makhluk yang lain. Itu adalah perlindungan karena rahmat (kasih sayang) dan kebaikan, sebagaimana firman-Nya,
“Dan katakanlah, ‘Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan tidak mempunyai penolong (untuk menjaga-Nya) dari kehinaan…” (Al-Israa’: 111)
Dia tidak menafikan bahwa bagi-Nya ada wali (kekasih) secara mutlak, tetapi Dia menolak adanya wali (kekasih) disebabkan karena (untuk menjaga-Nya dari) kehinaan.
Seperti itu juga cinta-Nya kepada orang-orang yang mencintai-Nya dan wali-wali-Nya, cinta-Nya selamat dari sifat kecintaan makhluk kepada makhluk yang dilandasi adanya maksud yang lain atau kecintaan (nafsu) baginya atau mengharapkan manfaat dengan mendekatinya. Dia selamat dari sesuatu yang dikatakn orang-orang yang menolak sifat Allah.
Seperti itu pula apa yang disandarkan-Nya kepada diri-Nya seperti adanya tangan dan wajah, sesungguhnya Dia selamat dari yang dikhayalkan oleh orang yang menyerupakan Allah (dengan makhluk-Nya) atau yang dikatakan oleh orang yang menolak sifat-Nya. Namanya as-Salaam mencakup setiap yang disucikan-Nya dari Dzat-Nya.
Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani. Syarah Asma’ul Husna”. Terj. Abu Fatimah Muhammad Iqbal Ahmad Ghazali. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.