1. Al-Awwal (Yang telah ada sebelum segala sesuatu)
2. Al-Aakhir (Yang tetap ada setelah segala sesuatu)
3. Az-Zhaahir (Yang tidak ada sesuatu pun di atas-Nya)
4. Al-Baathin (Yang tidak ada sesuatu pun yang menghalangi-Nya)
Firman Allah ta’alaa,
“Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Hadiid: 3)
Empat nama yang penuh berkah ini telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penjelasan yang menghimpun (mencakup) dan nyata, ia berkata kepada Rabbnya,
“Ya Allah, Engkau al-Awwal yang tiada sesuatu sebelum Engkau, Engkau al-Aakhir yang tiada sesuatu sesudah Engkau, Engkau az-Zhaahir yang tiada sesuatu di atas-Mu, Engkau al-Baathin yang tiada sesuatu di bawah-Ny (tiada sesuatu yang menghalangi-Mu)…”
Beliau menafsirkan setiap nama dengan maknanya yang agung dan menafikan dari-Nya sesuatu yang merupakan lawannya. Makna yang agung ini, menunjukkan atas sendirinya Rabb Yang Maha Agung dengan kesempurnaan yang mutlak (absolut), meliputi kemutlakan (absolut) terhadap masa, sebagaimana dalam firman-Nya,
“Al-Awwal” menunjukkan bahwasanya setiap makhluk selain Dia adalah hadits (baru), ada setelah tiada. Hamba harus memperhatikan karunia Rabb-nya dalam setiap nikmat agama dan dunia karena sebab dan yang memberikan sebab berasal dari Allah. “Al-Aakhir” menunjukkan bahwa Dialah kesudahan dan tempat bergantung semua makhluk dengan menyembah, berhadap, takut, dan memohon kepada-Nya. “Az-Zaahir” menunjukkan keagungan sifat-Nya dan kefanaan segala sesuatu di sisi keagungan-Nya, baik berupa dzat maupun sifat atas ‘uluww-Nya.
“Al-Baathin” menunjukkan pengetahuan-Nya (melihat-Nya) atas segala rahasia yang tersimpan, tersembunyi, samar, dan yang terperinci dari segala sesuatu, sebagaimana menunjukkan atas kesempurnaan kedekatan Allah. Tidakkah bertentangan antara azh-Zhaahir dan al-Baathin karena Allah tiada sesuatu pun yang menyamai-Nya dalam segala sifat.
5. Al-‘Aliy (Yang Maha Tinggi)
6. Al-A’laa (Yang Paling Tinggi)
7. Al-Muta’aali (Yang Maha Tinggi)
Allah ta’alaa berfirman,
“… Dan Allah tidak merasa berat memlihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Al-Baqarah: 225)
“Sucikanlah nama Rabbmu Yang Maha Tinggi.” (Al-A’laa: 1)
“Yang Mengetahui semua yang ghaib dan yang tampak; Yang Maha Besar lagi Maha Tinggi.” (Ar-Ra’d: 9)
Yang demikian itu menunjukkan bahwa semua makna ‘uluww hanya tetap bagi Allah dari semua sisi. Milik-Nya ketinggian Dzat, sesungguhnya Dia di atas segala makhluk. Di atas ‘Arsy Dia bersemayam, maksudnya Dia tinggi dan ditinggikan. Milik-Nya ketinggian kadar, Dialah yang tinggi dan agung sifat-Nya. Maka sifat makhluk tidak bisa menyamai-Nya. Bahkan, semua makhluk tidak ada yang bisa meliputi sebagian makna walaupun hanya satu sifat-Nya saja. Allah ta’alaa berfirman,
“… Sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.” (Thaahaa: 110)
Dengan demikian, diketahui bahwasanya tidak ada sesuatu pun yang menyamai-Nya pada setiap sifat-Nya. Milik-Nya keperkasaan yang tinggi, sesungguhnya Dialah satu-satunya Yang Maha Perkasa, yang menguasai semua makhluk dengan keperkasaan dan ketinggian-Nya. Ubun-ubun mereka ada di tangan-Nya; apa yang dikehendaki-Nya pasti terjadi dan tidak ada sesuatu pun yang bisa menghalangi-Nya. Apa yang tidak dikehendaki-Nya pasti tidak akan terjadi. Kalaulah semua makhluk berkumpul untuk mengadakan yang tidak dikehendaki Allah, mereka tidak akan mampu melaksanakannya. Jika mereka berkumpul untuk mencegah apa yang sudah dikehendaki-Nya, niscaya mereka tak akan mampu menghalanginya. Demikian itu karena kekuasaan-Nya yang sempurna, kehendak-Nya yang pasti terlaksana, dan semua makhluk sangat memerlukan-Nya dari semua sisi.
8. Al-‘Azhiim (Yang Maha Agung)
Allah ta’alaa berfirman,
“… Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Agung.” (Al-Baqarah: 255)
Allah Yang Maha Agung milik-Nya semua sifat dan makna yang mengharuskan keagungan-Nya. Tidak ada makhluk yang bisa memuji-Nya sebagaimana mestinya dan tidak ada yang mampu menghabiskan pujian kepada-Nya. Bahkan, Dia memuji diri-Nya dan melebihi segala pujian yang diberikan hamba-Nya.
Ketahuilah bahwa segala makna kebesaran yang hanya tetap bagi Allah ada dua bagian;
Bagian pertama, bahwa Dia bersifat dengan segala sifat kesempurnaan. Milik-Nya kesempurnaan yang paling sempurna, yang paling besar, dan yang paling luas. Bagi-Nya ilmu yang meliputi (segala sesuatu), kekuasaan yang terlaksana, serta keagugan dan kebesaran. Sebagian dari tanda kebesaran-Nya adalah bahwa langit dan bumi di telapak tangan ar-Rahmaan lebih kecil daripada biji sawi, seperti yang dikatakan Ibnu ‘Abbas dan yang lainnya.
Allah ta’alaa berfirman,
“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari Kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya…” (Az-Zumar: 67)
“Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap; dan sungguh jika keduanya akan lenyap, tidak ada seorang pun yang dapat menahan keduanya selain Allah…” (Faathir: 41)
“Hampir saja langit itu pecah dari sebelah atasnya (karena kebesaran Rabb)…” (Asy-Syuura: 5)
Dalam hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Kesombongan adalah selendang-Ku dan keagungan adalah sarung-Ku, maka siapa pun yang mengambil salah satunya dari-Ku, niscaya Aku akan mengadzabnya.’” Allah memiliki sifat kebesaran dan keagungan. Dua sifat yang tidak ada seorang pun yang bisa mengukurnya dan tidak ada yang bisa sampai kepada hakikatnya.
Bagian kedua, sebagian dari makna kebesaran-Nya, bahwasanya tidak ada seorang makhluk pun yang berhak diagungkan sebagaimana Allah diagungkan. Sudah menjadi hak Allah agar semua hamba memagungkan-Nya dengan hati, lidah, dan anggota tubuh mereka. Yaitu, dengan bersungguh-sungguh dalam mengenal-Nya, mencintai-Nya, menghinakan diri kepada-Nya, takut kepada-Nya, menggunakan lisan untuk memuji-Nya, dan menggunakan anggota tubuh untuk bersyukur dan beribadah kepada-Nya. Termasuk membesarkan-Nya adalah Dia ditakuti (dengan sikap takwa) daengan sebenar-benarnya takwa kepada-Nya. Dia ditaati dan tidak didurhakai, diingat dan tidak dilupakan, serta disyukuri dan tidak dikufuri. Di antara bentuk memagungkan-Nya adalah memagungkan segala yang diharamkan-Nya (dengan meninggalkannya), yang disyari’atkan-Nya (dengan mengamalkannya) pada setiap waktu, tempat, dan setiap aktivitas.
Allah ta’alaa berfirman,
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (Al-Hajj: 32)
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah, maka itu adaalh lebih baik baginya di sisi Rabbnya…” (Al-Hajj: 30)
Termasuk memagungkan-Nya adalah bahwa Dia tidak dibantah (dikritik) atas sesuatu yang diciptakan dan disyari’atkan-Nya.
Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani. Syarah Asma’ul Husna”. Terj. Abu Fatimah Muhammad Iqbal Ahmad Ghazali. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.