Liberalisme, Pluralisme, Rusak Aqidah Umat

Adian

BEKASI_DAKTACOM: Liberalisme, Pluralisme, akan dapat merusak aqidah umat. salaah satu pengassong Liberalisme dan Pluralisme adalah Jaringan Islam Liberal (JIL). Jil adalah bagian dari terkecil gerakan liberalisame dan pluralisme di Indonesia. JIL itu hanya pengasong paham leberal dan masih dapat dihadapi. Tapi kalau JIL terus berteriak ya dapat merusak aqidah umat.

Pendapat itu disampaikan DR. Adian Husaini, Ahad (30/12/12) pada ta’lim bulanan, 10 tahun Catatan Akhir Pekan (CAP), Adian Husaini, dengan thema membendung pengaruh liberalisasi di Indonesia. Catatan Akhir Pekan, disiarkan secara rutin di Radio Dakta setiap Sabut, dan dimuat di dakta.com dan Hidayatullah.com.

Dosen Pasca sarjana Universitas Ibnu Kholdun itu, mengkritisi sikap kaum Sosialis, Liberalisme, pluralisme, yang tak konsisten dengan paham liberalisme yang mereka asong.

“Inkonsistensi kaum liberalisme sering dipertontonkan saat mereka berbicara di TV atau saat mereka menulis di media cetak. Contohnya, mereka sangat keberatan ungkapan ‘kafir’. Kalau mereka menganut kebebasan tak seharusnya mereka marah jika dibilang ‘kafir’ kepada kelompok yang tak sesuai dengan ajaran Islam. Karena seharusnya kaum liberal juga menghormati pendangan orang lain” papar Adian Husaini.

Menurut peneliti INSIS ini, Indonesia adalah negara liberal yang lebih liberal dari negara yang melahirkan paham liberal itu sendiri, seperti Jerman, Prancis, dan negara-negara Barat lainnya.

Kaum liberal di Indonesia sudah kebablasan. Contoh dari kebablasan mereka itu adalah tudingan terhadap Fatwa Majilis Ulama Indonesia (MUI) sebagai sember kekerasan atas nama agama. Lihat saja Wahid Institut yang menilai Fatwa MUI sebagai penyebab terjadi kekerasan atas nama agama di Indoensia. Tudingan dan penilaian yang tak beralasan.

Di Indonesia semua orang punya hak yang sama. Tak perduli mayoritas dan minoritas. Lihat saja tayangan TV, semua ada semua mendapat tempat. Meski Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia, ia tak mendapat keistimewaan. Pedrayaan keagamaan semua sama rata. Kalau presiden merayakan maulid nabi, presiden juga diwajibkan ikut peryaan natal.

Kesamaan hak itu lebih penting dari perintah Allah. Firmaan Allah boleh diabaikan demi kesamaan dan kebebasan.Paham “agama itu sama” terus dikumandangkan, meski melawan Firman Allah. Jangan sekali-kali katakan kalau Islam yang paling baik di Indonesia itu bisa digugat kaum liberal.

“Kalau di Malaysia, yang berhak menggunakan kata “Allah” hanya agama Islam. Kristen, Budha, dan agama lain tak memilik hak untuk memakai dan menggunakan kata “Allah. Tapi di Indonesia orang Kristen juga menggunakan kata “Allah” terhadap tuhan mereka. padahal Kristen memahami Trinitas.Ini salah satu kekebasan di Indonesia” ujar Adian menggambarkan kalau di Malysia tak seenaknya orang menggunakan kata Allah.

Dijelaskan, paham liberal di Indoensia telah merasuk ke seluruh lapisan masyarakat tak terkecuali dunia pendidikan. Hal itu kata Adian Husaini terlihat dari kurikulum pendidikan yang memisahkan pelajaran agama dengan pelajaran umum.

Ilmu Islam tak memisahkan antara pelajaran agama dengan pelajaran umum. Ia mencontohkan pelajaran biologi. Sejak manusia dalam rahim masih dalam bentuk janin, sudah diajarkan keyakinan terhadap Tuhannya. Itu membuktikan bahwa antara ajaran agama dengan ilmu biologi tak dapat dipisahkan.

Tapi belakangan ini kaum liberal telah memisahkan antara ajaran agama dengan pelajaran umum. Seolah tak ada keterkaitan antara alam dan sang penciptanya.

Liberalisme pendidikan jauh lebih berbahaya dibanding dengan JIL. kalau JIL masih dapat kita hadapi, tapi kalau liberalisme yang telah merasuk kesuluruh lapisan masyarakat menjadi persolan yang rumit. Mereka telah mengobrak abrik paham agama seperti lahirnya paham yang membolehkan kawin beda agama, membolehkan Lesbian, homo sek bahkan kini sudah muncul pemikiran yang membolehkan perzinaan.

“kalau paham seperti itu terus dibiarkan cepat atau lambat akan merusak sendi-sendi keyakinan umat islam terutama mereka yang imannya rapuh” kata Adian Husaini.***