Dialog Islam-Barat, Apa Perlu? Catatan untuk Sukidi

Sukidi, staf di Paramadina, dalam artikelnya di Republika (14/1) yang berjudul ”Dialog Islam-Barat untuk Perdamaian Dunia” menegaskan, demokrasi dan perdamaian dunia tidak bisa ditegakkan di atas fondasi rapuh seperti prasangka buruk, melainkan harus melalui jalan dialog dan rekonsiliasi, dengan dilandasi semangat kepercayaan, toleransi, dan sikap terbuka untuk saling menghormati kekayaan ide dan keberagaman.

Intinya Sukidi mengajukan satu solusi bagi perdamaian dunia: dialog! dan bukan konfrontasi. Karena itu, ia berani membuat kesimpulan, ”Baik jihad maupun crusade adalah komoditas simbol-simbol agama untuk tujuan dan kepentingan politik murahan berjangka pendek.”

Jadi, ada dua hal yang perlu dikritisi pada artikel Sukidi tersebut. Pertama, apakah dialog Islam-Barat akan efektif untuk menciptakan perdamaian dunia? Dan kedua, apakah benar jihad adalah komoditas simbol-simbol agama untuk tujuan dan kepentingan politik murahan jangka pendek?

Gagasan dialog Islam-Barat sudah sering diusung oleh para pakar politik maupun keagamaan, baik di dunia Islam maupun di Barat. Lembaga-lembaga dialog Islam-Kristen atau Islam-Barat sudah didirikan di mana-mana. Salah satu yang tersohor adalah Center for Muslim-Christian Understanding yang dibangun oleh John L Esposito, John O Voll, dan Yvonne Y Haddad, di Georgetown University.

Dialog-dialog Islam-Barat semacam itu hingga kini terbukti indah dalam tataran akademis dan seringkali merupakan hal yang utopis saat diterapkan di lapangan. Gagasan Sukidi pun berangkat dari angan-angan, dan bukan berangkat dari fakta-fakta yang terjadi di lapangan. Kesalahan fatal dari gagasan semacam itu adalah penempatan Islam dan Barat dalam posisi yang sejajar. Dialog membutuhkan posisi yang setara. Jika satu pihak merasa lebih kuat dan memaksakan kehendaknya, maka tidak akan terjadi dialog. Kalaupun terjadi, hanya basa-basi belaka.

Dalam pengantarnya pada buku The Oxford History of Islam (1999:xi), Esposito mencatat bahwa sejak abad ke-19 sebagian besar dunia Islam menghadapi ancaman dari luar, yakni serbuan besar kolonialisme Eropa. Warisan kolonial dan sejarah respons kaum Muslim terhadap tantangan politik, ekonomi, dan agama imperialisme Eropa pada abad ke-19 dan ke-20 telah memberikan dampak yang mendalam terhadap masyarakat Muslim dan bahkan pada hubungan antara Muslim dengan Barat.

Hingga kini, dunia Islam belum lepas dari cengkeraman imperialisme Barat tersebut. Edward Said mencatat bahwa imperialisme berarti praktik, teori, dan sikap dari suatu pusat metropolitan yang menguasai suatu wilayah yang jauh. Kolonialisme, yang hampir selalu merupakan konsekuensi imperialisme, adalah dibangunnya permukiman-permukiman di wilayah-wilayah yang jauh. Sebagaimana dikemukakan Michel Doyle, imperium adalah suatu hubungan, formal atau informal, di mana satu negara menguasai kedaulatan politik efektif dari suatu masyarakat politik lainnya. Hal itu bisa dicapai dengan paksa, melalui kolaborasi politik, melalui ketergantungan ekonomi, sosial, atau budaya.

Imperialisme adalah proses atau kebijaksanaan untuk menegakkan atau mempertahankan imperium. Di masa kini, kolonialisme langsung kebanyakan telah berakhir; tetapi, imperialisme tetap hidup di tempat ia sebelumnya, dalam semacam lingkaran budaya umum maupun dalam praktik-praktik politik, ideologi, ekonomi, serta sosial tertentu. (Said, 1996: 39-40).

Jadi, sesuai dengan penegasan Said–seorang Nasrani Palestina–dunia Islam masih tetap menghadapi praktik imperialisme Barat dalam hampir semua aspek kehidupan, sebagai kelanjutan dari praktik kolonialisme yang bersemboyan God, Gold, and Glory. Menurut Th Sumartana, tiga semboyan itu merupakan suatu bentuk trinitas, tiga yang esa (holy trinity), yang tak terpisahkan antara satu dari yang lain. Ketiganya merupakan misi dagang, misi penaklukan wilayah, dan misi agama. (Tentang tiga semboyan trinitas, lihat: Th Sumartana dkk, Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia, 2001: 82).

Dalam posisi yang tidak sejajar sepeti itu, ajakan dialog seharusnya bukan ditujukan kepada kaum Muslim, tetapi justru lebih kepada pihak Barat, terutama ”komandannya”, yaitu AS. Sukidi tampaknya mencoba meyakinkan kaum Muslim bahwa Barat bisa dan mungkin diajak dialog. Karena itu, ia mencoba menekan umat Islam, agar jangan curiga terhadap Barat. Seperti halnya Donald K. Emmerson, dalam kolomnya di majalah Tempo (21 Oktober 2001), yang menyatakan, ”Tantangan yang sebenarnya kini dihadapi kalangan mayoritas umat Islam di dunia yang cinta damai, toleran, dan menghormati penganut agama lain bukanlah berasal dari warga Amerika yang kafir yang memerangi Islam.” Meskipun AS dan Barat berupaya keras untuk membungkus misi perburuan terhadap Islam dengan bungkus memburu teroris, memburu kelompok radikal, militan, fundamentalis, dan sebagainya, aroma perburuan terhadap Islam itu tetap saja sesekali mencuat keras.

Kampanye antiterorisme AS dan sekutunya dengan jelas kini telah berubah menjadi kampanye anti-Islam radikal, atau anti-Islam militan, yang sangat kabur definisi ilmiahnya. Sepertinya, perburuan itu menjalankan pernyataan Francis Fukuyama, ”Radical Islamist, intolerant of all diversity and dissent, have become the fascists of our day. That is what we are fighting against.” (Newsweek, Special Davos Edition, December 2001-February 2002).

Tentu, andaikan mungkin, dialog adalah jalan ideal, meskipun utopis. Faktanya, AS dan sekutunya tetap mempertahankan hegemoni imperialnya, dengan politik standar ganda terhadap dunia, demi memenuhi kepentingan pragmatisnya. Pasca Tragedi WTC, AS bukannya berubah, tetapi malah menjadi-jadi menjalankan politik diskriminasi dan anti-Islam. Perlakuan yang tidak manusiawi terhadap tawanan-tawanan perang Afghanistan terus berlangsung. Begitu pula penangkapan ratusan warga Muslim di AS yang dicurigai terlibat ”terorisme”. AS juga tetap menjadi pendukung setia dan utama kebiadaban zionis Israel di Palestina.

Mestinya Sukidi memahami, bahwa Usamah, Hammas, Jihad Islam, para mujahidin Kashmir, dan sebagainya, yang menggelorakan jihad melawan kezaliman dan penindasan adalah respons terhadap kezaliman penjajah Barat. Mereka bukan kelompok atau orang-orang yang anti-pluralisme. Di Palestina, para mujahid Palestina justru bekerja sama dengan kalangan Kristen Ortodoks dalam melawan Zionis Israel. Dalam situasi kaum Muslim yang terjajah dan terzalimi, baik oleh penjajah asing maupun kolaboratornya di negeri-negeri Islam, maka dialog menjadi barang mahal. Bagaimana dialog bisa dilangsungkan di Palestina, sementara hampir setiap hari Israel melakukan perburuan terhadap aktivis-aktivis Islam, dan terus mencengkeram wilayah jajahannya?

Pelecahan Jihad

Jihad, secara istilahnya, menurut Sayyid Sabiq, diartikan sebagai meluangkan segala usaha dan berupaya sekuat tenaga serta menanggung segala kesulitan di dalam memerangi musuh dan menahan agresinya, yaitu yang oleh pengertian sekarang dikenal dengan sebutan al-harb (perang), yakni pertempuran bersenjata antara dua negara atau lebih. (Lihat Fiqih Sunnah [terj.], Jld. 11, hlm. 50).

Nabi saw. bersabda, ”Sungguh, pergi atau berangkat (perang) di jalan Allah lebih baik daripada dunia seisinya.” (HR Ahmad, Bukhari, dan Muslim). Dalam haidts lain riwayat Ahmad, Bukhari, Nasai dan Tirmidzi, dikatakan, ”Siapa yang kedua kakinya berdebu karena membela agama Allah, maka Allah mengharamkannya dari api neraka.” Bahkan, Nabi saw. menyatakan, ”Sesungguhnya pintu-pintu surga itu di bawah kilatan pedang.” (HR Ahmad, Muslim, Tirmidzi).

Para ulama Islam, seperti Prof. Muhammad Abu Zahrah, menjelaskan bahwa adalah kewajiban kaum Muslimin mempertahankan negeri Islam yang diserang. ”Perang (jihad) dalam mempertahankannya itu adalah fardhu kifayah, bila musuh belum lagi memasuki negara itu. Tetapi bila musuh telah memasukinya, perang waktu itu menjadi fardhu ‘ain bagi setiap orang Islam.” (Lihat: Abu Zahrah, Hubungan-Hubungan Internasional Dalam Islam, 1973: 61-62).

Jihad adalah ajaran penting dalam Islam. Nabi saw. mengingatkan, ”Puncak perkara adalah Islam. Barang siapa berislam, maka ia selamat. Tiang Islam adalah shalat dan atapnya adalah jihad. Yang dapat mencapainya hanya orang yang paling utama di antara mereka.” (HR Thabrani).

Karena itu, aneh sekali jika Sukidi berani menyatakan bahwa jihad adalah komoditas simbol-simbol agama untuk tujuan dan kepentingan politik murahan berjangka pendek. Sukidi mengajukan teori ”menolak kekerasan dengan kekerasan”. Apakah kaum Muslim di Palestina, Kashmir, Filipina, dan di berbagai belahan dunia harus berdiam diri sambil terus mengemis untuk berdialog, saat mereka diserang dan dibantai, kekayaan alam mereka dirampok, negeri mereka diduduki? Apakah jika pipi kanan mereka ditampar, maka harus mereka serahkan pipi kiri mereka?