Feminisme dalam Timbangan

Feminisme adalah idiologi yang dikembangkan oleh kalangan Eropa Barat dalam rangka memperjuangkan persamaan antara dua jenis manusia: laki-laki dan perempuan. Tujuan mereka adalah menuntut keadilan dan pembebasan perempuan dari kungkungan agama, budaya, dan struktur kehidupan lainnya.

Istilah feminisme atau sering juga disebut gender, menurut Dr. Mansour Fakih, belum ada uraian yang mampu menjelaskan secara singkat dan jelas. Mereka menghendaki pemisahan gender dan seks. Artinya, secara kodrati tidak perlu dipermasalahkan tetapi secara sifat itu yang perlu diperhatikan. Bagi mereka, konsep gender yakni suatu sifat yang melekat pada lawan laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa.

Adapun menurut Oakley (1972) dalam Sex, Gender, and Society, gender berarti perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Perbedaan biologis adalah perbedaan jenis kelamin (sex) yang merupakan kodrat Tuhan, dan oleh karenanya secara permanen berbeda. Adapun gender adalah perbedaan perilaku (behavioral differences) antara laki-laki dan perempuan, yakni perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ketentuan Tuhan, melainkan diciptakan oleh manusia melalui proses sosial dan kultural yang panjang. Oleh karena itu, gender berubah dari masa ke masa.

Sifat laki-laki dalam konsep feminisme bisa juga dimiliki oleh kaum hawa. Tuntutan itu berkembang sampai pada tingkatan maskulinitas, yaitu kesetaraan antara perempuan dengan pria dalam segala hal. Tidak berarti perjuangan kaum feminis itu tidak mendapat reaksi keras, terutama oleh kaum hawa sendiri, karena tokoh-tokoh feminisme cenderung menghilangkan tanggung jawab domestik rumah tangga.

Perhatikan pernyataan Engels, “Revolusi bukan jaminan. Persamaan bagi laki-laki dan perempuan dirasa tidak cukup, karena kaum perempuan tetap dirugikan dengan adanya tanggung jawab domestik mereka, maka perempuan akan mencapai keadilan sejati jika urusan mengelola rumah tangga diubah bentuknya menjadi industri sosial, serta urusan menjaga dan mendidik anak menjadi urusan publik.” Demikian teori Marxis klasik, terjadinya perubahan status perempuan hanya dapat melalui revolusi sosialis dengan cara menghapus pekerjaan domestik (rumah tangga).

Dr. Mansour Fakih menyatakan tentang pandangan kaum wanita yang menentang feminisme. Setelah mereka berhasil mendobrak posisi kaum perempuan dari rumah tangga menjadi wanita karir, ternyata perjuangan itu sendiri justru menimbulkan bencana bagi mereka sendiri. Mereka menderita secara fisik maupun batin, karena diberi terlalu banyak equality. Argumentasi mereka antara lain bahwa jalan yang sungguh-sungguh yang diinginkan oleh kaum perempuan adalah menjadi ibu rumah tangga atau istri yang senantiasa berada di rumah (house wives) dan ibu yang bangga dengan keibuannya (proud mother). (Dr. Mansour Fakih, Analisis Gender [Jakarta: Pustaka Pelajar, 1999], Cet. VI).

Sejarah Feminisme

Meskipun feminisme adalah gerakan yang sudah tua, namun baru tahun 60-an dianggap sebagai lahirnya gerakan itu. Gerakan feminisme itu muncul di Amerika sebagai bagian dari kultur radikal hak-hak sipil (civil rights) dan kebebasan seksual (sexual liberation). Buku Betty Friedan yang berjudul The Feminist Mystique (1963) laku keras. Setelah itu berkembang kelompok feminis yang memperjuangkan nasib kaum perempuan memenuhi kebutuhan praktis, seperti pengasuhan anak (childcare), kesehatan, pendidikan, aborsi, dan sebagainya. Lantas, gerakan itu merambat ke Eropa, Kanada, dan Australia yang selanjutnya kini telah menjadi gerakan global dan mengguncang Dunia Ketiga.

Setelah pada tahun 1975 PBB mengumumkan international decade of women, terjadi beberapa peristiwa penting bagi kaum perempuan. Tahun 1979 PBB mengeluarkan resolusi untuk menghentikan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

Wanita Barat yang Saya Lihat

Saya pernah tinggal di Australia, sebagai bagian dari kehidupan Barat, beberapa tahun. Selama itu pula saya berinteraksi dengan kaum hawa di perusahaan, di sekolah-sekolah, dan di dalam masyarakat. Di perusahaan, wanita diperlakukan sama dengan pria. Tetapi, pekerjaan masih diberikan pada posisi-posisi yang ringan. Karena, memang secara kodrat mereka tidak mampu bersaing dengan kaum pria.

Dari cerita mereka nampak sekali kedengkian satu sama lain atau biasa disebut jealous. Kita mendengar dari mereka perlakuan kasar dari para suaminya. Di sekolah banyak sekali terjadi affair. Dan, merupakan hal yang biasa seorang guru menganjurkan kepada para siswanya agar menggunakan kondom demi keamanan. Bahkan, pernah saya diajak oleh wanita asal Amerika Latin untuk devakto alias kumpul kebo, tetapi saya menolak.

Di dalam kehidupan masyarakat di sana, banyak sekali rumah tangga yang mengalami broken home. Hal itu terjadi akibat seringnya percekcokan yang disebabkan oleh sikap arogansi masing-masing dan terjadinya sekandal-sekandal dalam rumah tangga. Oleh karenanya, angka perceraian dalam kehidupan rumah tangga masyarakat di sana sangat tinggi. Anak-anak yang lahir dari hasil perselingkuhan pun sangat banyak serta banyak yang mengalami jiwa yang remuk. Tak jarang kami memberikan masukan sesuai dengan konsep Islam.

Kesimpulan Feminisme

Jadi, konsep feminisme berasal dari agama dan budaya non-Islam (kafir). Konsep ini tidak cocok diterapkan di kalangan wanita Muslim. Persis kata Allah SWT, yang artinya, “Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun.” (Ibrahim: 26).

Wanita dalam Islam

Kaum feminis merasa tidak mendapat keadilan karena mereka terlalu mengandalkan konsep manusia yang penuh ketidakadilan. Oleh karena itu, tidak jarang mereka dieksploitasi oleh kaum pria menggunakan tangan wanita demi keuntungan duniawi sesaat dan sebagai pemuas hawa nafsu mereka.

Lain halnya dengan konsep Islam yang turun dari Allah Yang Maha Adil dan Maha Mengetahui hakikat kaum hawa, maka kaum wanita ditempatkan pada posisi yang layak demi kepentingan dan kebahagiaan mereka di dunia maupun di akhirat. Karena itu, kalau kita dalami konsep Islam, sesungguhnya yang menarik adalah bahwa surga bagi wanita lebih mudah untuk dicapai daripada kaum pria. Seperti dialog yang terjadi antara Asma’ binti Sakan dengan Rasulullah saw. Asma’ berkata, “Wahai Rasulullah, bukankah Engkau diutus oleh Allah untuk kaum pria dan juga wanita. Mengapa sejumlah syariat lebih berpihak kepada kaum pria? Mereka diwajibkan jihad, kami tidak. Malah, kami mengurus harta dan anak mereka di kala mereka sedang berjihad. Mereka diwajibkan melaksanakan shalat Jum’at, kami tidak. Mereka diperintahkan mengantar jenazah, sedangkan kami tidak.” Rasulullah saw. tertegun atas pertanyaan wanita ini sambil berkata kepada para shahabatnya, “Perhatikan! betapa bagusnya pertanyaan wanita ini.” Beliau melanjutkan, “Wahai Asma’! sampaikan jawaban kami kepada seluruh wanita di belakangmu, yaitu apabila kalian bertanggung jawab dalam berumah tangga dan taat kepada suami, kalian dapatkan semua pahala kaum pria itu.” (Diterjemahkan secara bebas, HR Ibnu Abdil Bar).

Dalam Al-Qur’an, wanita ditempatkan paling tidak dalam tiga posisi, yaitu wanita sebagai pendamping pria, karena mereka adalah manusia yang satu. Firman Allah SWT, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Ar-Ruum: 21).

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan ….” (Al-Hujuraat: 13).

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya, dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain ….” (An-Nisaa’: 1).

“Dialah yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya.” (Al-A’raaf: 189).

“Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak, dan cucu-cucu, dan memberimu rizki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?” (An-Nahl: 72).

Rasulullah saw. bersabda, “Bahwasannya para wanita itu saudara kandung para pria.” (HR Ahmad, Abu Daud, dan Tirmizi).

Keimanan wanita sama dengan pria, bahkan wanita dapat dispensasi tidak shalat saat datang bulan.

“Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang mu’min laki-laki dan perempuan kemudian mereka tidak bertaubat, maka bagi mereka azab Jahanam dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar.” (Al-Buruuj: 10).

“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang Mu’min dan Mu’minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (Al-Ahzab: 58).

“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (yang Haq) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang Mu’min, laki-laki dan perempuan.” (Muhammad: 19).

Balasan di dunia dan akhirat antara wanita dan perempuan adalah sama. “Barang siapa mengerjakan perbuatan jahat, maka dia tidak akan dibalas melainkan sebanding dengan kejahatan itu. Dan barang siapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rizki di dalamnya tanpa hisab.” (Al-Mu’min: 40).

Demikian pandangan Islam menempatkan wanita pada posisi yang terhormat. Sehingga, apa pun peranannya baik sebagai anak, remaja, dewasa, ibu rumah tangga, kaum professional, dan lain-lain mereka itu terhormat sejak kecil hingga usia lanjut.

Sementara, kaum feminis ala Barat, mereka benar-benar menderita, terutama pada usia lanjut. Betapa tidak menderita, pada usia-usia menjelang akhir hayatnya mereka harus berdiam di panti-panti jompo terpisah dari anak, cucu, keluarga, dan kerabat sendiri. Hidup yang tersisa tiada berguna lagi. Makanya mereka mengadakan hari ibu agar bertemu dengan keluarga setahun sekali. Sungguh amat menyedihkan akhirnya. Wallahu a’lam.

Referensi:

  1. Al-Qur’anul Karim
  2. Al-Hadits
  3. Al-Mar-atul Muslimah bainal Ashaalah wat Taqliid, Abdullah Khalaf as-Sabt
  4. Al-Mar-atul Muslimah, Wahby Sulaiman Ghaawijy
  5. Qadhiyyatu Tahriiril Mar-ah, Muhammad Quthb
  6. Qadhaayaa Tahammul Mar’ah, Abdullah bin Jaarillah bin Ibrahim al-Jaarillah
  7. Nashaaih wa Taujihaat Ilaal Usratil Muslimah, Yusuf bin Abdillah at-Turky
  8. Akhtaar Tahaddudil Buyuut, Muhammad Shalih Al-Munjid
  9. Kalimaat ‘Aabirah lil Mar-ah al-Muslimah al-Mu’aashirah, DR. Abdurrahman al-Hawaaly
  10. Analisis Gender & Transformasi Sosial, DR. Mansour Fakih