Bab Laqith (Bayi/Anak Kecil yang Ditemukan)

1.    PENGERTIAN LAQITH

Laqith adalah anak kecil yang belum baligh yang didapati di jalan, atau yang tersesat di jalan, atau yang tidak diketahui nasabnya.

2.    HUKUM MENEMUKAN LAQITH

Memungut laqith hukumnya adalah fardhu kifayah, berdasar firman Allah swt:

“Dan bertolong-tolonglah kamu dalam kebajikan dan ketakwaan.” (QS al-Maidah: 2)

3.    KEISLAMAN DAN KEMERDEKAAN LAQITH SERTA BIAYA HIDUPNYA

Apabila Laqith ditemukan di negeri Islam, maka dianggap sebagai orang muslim, dan dihukumi sebagai orang yang merdeka di mana pun ia ditemukan, karena pada asalnya anak cucu Adam adalah merdeka. Jika ia disertai dengan harta, maka biaya hidupnya diambilkan darinya. Jika tidak, maka biaya penghidupannya diambil dari baitul mal (kas negara):

Dari Sunain Abi Jamilah, seorang laki-laki dari Bani Sulaim berkata: Saya pernah mendapatkan anak kecil tersesat lalu saya bawa Umar bin Khatthab. Kemudian Uraifi berkata, ”Ya Amirul Mukminin, sesungguhnya ia adalah seorang laki-laki yang shalih.” Lantas Umar bertanya, ”Apakah ia memang begitu?” Jawab Uraifi, ”Ia betul.” Kemudian Umar berkata, ”(Wahai Salim), bawalah ia pergi, dan ia sebagai orang merdeka, dan ia harus berwali kepadamu, sedangkan biaya hidupnya tanggungan kami.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1573, Muwathta’ Imam Malik hal. 524 no: 1415 dan Baihaqi VI: 201).

4.    PIHAK YANG BERHAK MENJADI AHLI WARIS LAQITH

Apabila laqith meninggal dunia dan ia meninggalkan harta warisan, namun tidak meninggalkan ahli waris, maka harta warisannya menjadi hak milik baitul mal, demikian pula diyatnya bila ia dibunuh.

5.    PENGAKUAN SENASAB DENGAN LAQITH

Barangsiapa, baik laki-laki maupun perempuan, mengaku punya hubungan nasab (keturunan) dengan laqith, maka harus dihubungkan dengannya, selama hubungan nasab itu memungkinkan. Jika yang mengaku punya hubungan nasab dengannya dua orang atau lebih, maka seharusnya dihubungkan dengan orang yang membawa bukti bahwa dirinya memiliki hubungan nasab dengan si laqith. Jika tidak mempunyai bukti yang kuat, maka dipaparkan kepada orang yang ahli mengenali nasab-nasab dengan adanya kemiripan. Kemudian dihubungkan dengan orang yang menurut ahli penyelidik nasab bahwa anak kecil tersebut sebagai anaknya.

Dari Aisyah ra, katanya: Nabi saw pernah masuk (ke rumah) menemuiku dalam keadaan riang gembira, lalu bersabda, “Tidaklah engkau tahu bahwa Mujazar al-Madlaji tadi melihat Zaid dan Usamah, dan keduanya telah menutup kepalanya sementara kaki mereka terbuka.” Lalu ia berkata, “Sesungguhnya empat kaki ini, sebagiannya berasal dari sebagian yang lainnya (memiliki kemiripan dengan sebagian yang lain).” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XII: 56 no: 6771, Muslim II: 1081 no: 1459, ‘Aunul Ma’bud VI: 357 no: 2250, Tirmidzi III: 293 no: 2212 dan Nasa’i VI: 184).

Jika ternyata ahli penyelidik nasab berpendapat, bahwa laqith tersebut adalah memiliki hubungan nasab dengan kedua orang yang mengaku mempunyai hubungan nasab dengannya, maka harus dihubungkan dengan keduanya:

Dari Sulaiman bin Yasar, dari Umar tentang seorang perempuan yang digauli oleh dua orang laki-laki ketika dalam keadaan suci, maka sang ahli penyelidik nasab berkata, “Dalam hal anak kecil ini kedua laki-laki itu bersekutu.” Kemudian Umar menjadikan (nasabnya) di antara mereka berdua. (Shahih: Irwa-ul Ghalil 1578 dan Baihaqi X: 263).

Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 712 – 715.