Di sini perlu saya sebutkan beberapa masalah yang berkaitan dengan taubat, yang perlu dijabarkan dan tidak boleh diabaikan oleh seseorang. Di antaranya:
Pertama:
Bertaubat dari dosa wajib dilakukan secara langsung, seketika itu pula dan tidak boleh ditunda-tunda. Siapa yang menundanya, berarti dia telah durhaka karena penundaannya itu. Apabila dia bertaubat dari dosa itu, maka dia harus bertaubat lagi, yaitu dari penundaan taubatnya. Yang seperti ini jarang disadari orang yang bertaubat. Biasanya, jika dia sudah bertaubat dari dosa tersebut, maka dia menganggap tidak perlu lagi bertaubat. Padahal masih ada taubat yang menyisa karena penundaan taubatnya. Tidak ada yang menyelamatkan hal ini kecuali taubat yang bersifat umum, yaitu taubat dari dosa-dosa yang diketahui maupun yang tidak diketahui. Sebab dosa dan kesalahan-kesalahan yang tidak diketahui hamba justru lebih banyak dari yang diketahuinya. Karena dia tidak mengetahuinya, bukan berarti dia terbebas dari hukuman, kalau memang sebenarnya memungkinkan baginya untuk mengetahuinya. Dengan begitu dia telah durhaka karena tidak ingin mengetahui dan tidak beramal, sehingga kedurhakaannya semakin berlipat.
Di dalam Shakih Ibnu Hibban disebutkan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Syirik di dalam umatku ini lebih tersembunyi daripada rangkakan semut.”
Abu Bakar bertanya, “Wahai Rasulullah, lalu bagaimana cara untuk menyelamatkan diri darinya?”
Beliau menjawab, “Hendaklah engkau mengucapkan,
اللهم إني أعوذ بك أن أشرك بك وأنا أعلم وأستغفرك لما لا أعلم
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari berbuat syirik kepada-Mu sedang aku tidak mengetahuinya, dan aku memohon ampunan kepada-Mu dari dosa-dosa yang tidak kuketahui.”
Dalam sebuah hadits dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, disebutkan bahwa beliau berdoa dalam shalatnya,
اللهم اغفر لي خطيئتي وجهلي وإسرافي في أمري وما أنت أعلم به مني اللهم اغفر لي جدي وهزلي وخطاي وعمدي وكل ذلك عندي اللهم اغفر لي ما قدمت وما أخرت وما أسررت وما أعلنت وما أنت أعلم به مني أنت إلهي لا إله إلا أنت
“Ya Allah, ampunilah bagiku kesalahan dan kebodohanku, berlebih-lebihanku dalam urusanku dan apa pun yang Engkau lebih mengetahuinya daripada aku. Ya Allah, ampunilah bagiku kesungguhan dan senda gurauku, kelalaian dan kesengajaanku, dan semua itu ada pada diriku. Ya Allah, ampunilah bagiku apa yang telah kudahulukan dan apa yang kuakhirkan, yang kurahasiakan dan yang kutampakkan, serta apa pun yang Engkau lebih mengetahuinya daripada aku. Engkau Ilahku yang tiada Ilah selain Engkau.”
Kedua:
Apakah taubat dari suatu dosa dianggap sah, sementara dosa yang lain masih tetap dilakukan?
Ada dua pendapat di kalangan ulama tentang masalah ini, yang keduanya diriwayatkan dari Al-Imam Ahmad. Tapi tidak ditemukan adanya perbedaan pendapat dari orang yang mengisahkan adanya ijma’ tentang sahnya taubat itu, seperti yang dilakukan An-Nawawy dan lain-lainnya. Memang masalah ini bisa dianggap rumit, yang perlu ada kepastian untuk salah satu di antara kedua pendapat ini, yang tentu saja harus disertai dalil yang pasti. Golongan yang menganggap taubat itu sah, berhujjah bahwa selagi seseorang sudah masuk Islam secara benar, yang berarti dia sudah bertaubat dari kekufuran, maka Islamnya itu sudah sah sekalipun dia masih melakukan kedurhakaan dan dia belum bertaubat dari kedurhakaan itu. Maka taubat dari satu dosa sudah dianggap sah sekalipun dia masih melakukan dosa lain.
Golongan satunya lagi menanggapi hujjah ini, bahwa Islam merupakan satu keadaan yang tidak bisa disamakan dengan yang lain, karena kekuatan, pengaruh dan cara mendapatkannya, yang biasanya anak lebih cenderung mengikuti agama kedua orang tuanya, atau budak yang mengikuti agama tuannya.
Yang lain lagi berpendapat bahwa taubat adalah kembali kepada Allah. Yang tadinya durhaka berubah menjadi taat kepada-Nya. Lalu apakah masih terus melakukan dosa yang lain? Menurut mereka, Allah tidak akan menghukum orang yang bertaubat, karena dia sudah kembali menaati dan beribadah kepada-Nya serta bertaubat dengan sebenar-benarnya. Orang yang masih melakukan dosa seperti dosa yang dia mintakan ampunannya kepada Allah, berarti belum bertaubat dengan sebenar-benarnya. Jika orang yang bertaubat kepada Allah dapat menghilangkan cap orang yang durhaka, sebagaimana orang kafir yang sudah kehilangan cap kafir jika dia sudah masuk Islam, maka jika dia masih mengerjakan dosa, maka cap durhaka itu belum hilang darinya, sehingga taubatnya belum dianggap sah.
Letak permasalahannya, apakah taubat itu bisa dipilah-pilah seperti halnya kedurhakaan, sehingga orang yang bertaubat dari satu dosa belum dianggap bertaubat dari dosa yang lain, seperti halnya iman dan Islam?
Memang taubat itu bisa dipilah-pilah. Sebagaimana cara pelaksanaannya yang berbeda, porsinya pun juga berbeda. Jika seseorang melakukan satu kewajiban dan meninggalkan kewajiban lainnya, maka dia mendapat hukuman berdasarkan kewajiban yang ditinggalkannya dan bukan dihukum berdasarkan kewajiban yang dilakukannya. Begitu pula jika dia bertaubat dari satu dosa dan tetap melakukan dosa yang lain. Berarti dia harus bertaubat dari dosa itu.
Ada pula pendapat lain yang mengatakan bahwa taubat adalah satu perbuatan. Artinya, taubat adalah membebaskan diri dari hal-hal yang dimurkai Allah, kembali menaati-Nya dan menyesali apa yang telah diperbuat. Jika taubat itu tidak dikerjakan secara sempurna, maka ia belum dianggap sah, karena ia merupakan satu bentuk ibadah. Melakukan sebagian di antaranya dan meninggalkan sebagian yang lain lagi, sama dengan melakukan sebagian ibadah wajib dan meninggalkan sebagian yang lain.
Ada pula yang berpendapat, setiap dosa mempunyai taubat yang khusus baginya, atau merupakan kewajiban darinya. Satu taubat tidak berkaitan dengan taubat lainnya, sebagaimana satu dosa yang tidak berkaitan dengan dosa lainnya.
Menurut pendapat saya dalam masalah ini, bahwa taubat itu tidak dianggap sah dari satu dosa tertentu, jika dosa lain yang sejenis tetap dikerjakan. Sedangkan taubat dari satu dosa tertentu dianggap sah, sekalipun ada dosa lain yang tidak berkait dengannya masih tetap dilakukan. Contohnya, seseorang bertaubat dari dosa riba, tapi belum bertaubat dari dosa minum khamr atau bahkan tetap melakukannya. Taubatnya dari riba ini dianggap sah. Tapi jika dia bertaubat dari riba fadhl dan tidak bertaubat dari riba nasi’ah, atau dia bertaubat dari mengkonsumi ganja namun tetap meminum khamr, maka taubatnya itu tidak dianggap sah. Keadaannya seperti bertaubat dari zina dengan seorang wanita, namun dia tetap berzina dengan wanita lainnya. Ini pada hakikatnya belum bertaubat dari dosa tersebut. Dia hanya beralih dari satu jenis dosa ke jenis lainnya yang serupa, berbeda andaikan dia beralih dari satu kedurhakaan ke kedurhakaan lain yang tidak serupa.
Ketiga:
Agar taubat menjadi sah, apakah ada syarat bagi orang yang bertaubat untuk tidak kembali lagi melakukan dosa sama sekali, ataukah tidak ada syarat seperti itu?
Sebagian orang mensyaratkan larangan mengerjakan kembali dosa yang sama. Jika kembali melakukannya secara sengaja, berarti taubatnya tidak sah. Namun kebanyakan orang tidak mensyaratkan seperti itu. Sah-nya taubat tergantung kepada pembebasan dirinya dari dosa itu, menyesalinya dan bertekad untuk tidak melakukannya kembali. Jika permasalahannya menyangkut hak manusia, maka apakah disyaratkan pembebasan hak itu? Masalah ini harus dirinci lebih lanjut. Jika dia kembali melakukannya, padahal dia sudah bertekad untuk tidak melakukannya kembali saat bertaubat, maka keadaannya seperti orang yang mulai melakukan kedurhakaan, dan taubat sebelumnya tidak gugur.
Permasalahan ini dikembalikan kepada asal-muasalnya, bahwa jika seorang hamba bertaubat dari suatu dosa, kemudian dia melakukannya kembali, maka apakah dosa yang telah dimintakan taubat itu kembali lagi, sehingga dia berhak mendapat siksaan atas dosanya yang pertama dan yang terakhir, jika dia mati dalam keadaan tetap melakukan dosa itu? Dengan kata lain, apakah dia harus menanggung seluruh dosanya? Ataukah dia hanya mendapat siksa atas dosanya yang terakhir?
Dalam hal ini ada dua pendapat. Golongan pertama berpendapat, dosanya yang pertama kembali kepadanya lagi karena taubatnya dianggap batal. Menurut mereka, karena taubat itu bisa disejajarkan dengan Islam setelah kufur. Jika orang kafir masuk Islam, maka keislamannya itu menghapus segala dosa semasa kekufurannya. Namun jika dia murtad, maka dosanya yang pertama akan kembali lagi kepadanya dan ditambah dengan dosa murtad. Hal ini seperti yang disebutkan di dalam Ash-Shahih, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,
من أحسن في الإسلام لم يؤاخذ بما عمل في الجاهلية ومن أساء في الإسلام أخذ بالأول والآخر
“Barangsiapa berbuat kebaikan semasa Islam, maka tidak ada hukuman yang dijatuhkan kepadanya dari amalnya semasa Jahiliyah, dan barangsiapa berbuat keburukan semasa Islam, maka dia mendapat hukuman karena keburukannya yang pertama dan yang terakhir.”
Inilah keadaan orang yang masuk Islam dan berbuat keburukan setelah dia masuk Islam. Sebagaimana yang diketahui, murtad merupakan keburukan yang paling besar dalam Islam. Jika dia dihukum setelah murtad dan juga dosanya sewaktu kufur, sementara Islam yang membatasi dua keadaannya tidak berperan apa-apa, maka begitu pula taubat yang membatasi antara dua dosa, yang tidak bisa menggugurkan dosa yang lampau, sebagaimana ia yang juga tidak bisa menggugurkan dosa berikutnya.
Masih menurut mereka, sahnya taubat ini disyaratkan dengan kelangsungannya. Sesuatu yang digantungkan kepada syarat akan dianggap musnah jika syaratnya musnah, sebagaimana sahnya Islam yang disyaratkan dengan kelangsungannya. Jadi taubat merupakan keharusan sepanjang hayat, sehingga hukumnya juga berlaku sepanjang hayat. Hal ini ditunjukkan sebuah hadits shahih, yaitu sabda beliau,
إن العبد ليعمل بعمل أهل الجنة حتى ما يكون بينه وبينها إلا ذراع فيسبق عليه الكتاب فيعمل بعمل أهل النار فيدخلها
“Sesungguhnya seorang hamba benar-benar mengerjakan amal penghum surga, sehingga jarak antara dirinya dan surga itu hanya sejengkal. Namun dia didahului ketetapan takdir, sehingga dia mengerjakan amal penghuni neraka, lalu dia pun masuk ke dalam neraka.”
Sumber: Madarijus Salikin, Ibnul Qayyim Al Jauziyah, Pustaka Al Kautsar, h 65-71