Al-‘Aliyy (Yang Maha Tinggi)

Asmaul Husna

Kata Al-’Aliyy disebutkan di dalam Al Quran sebanyak 8 kali.

ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ

“(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) yang haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha besar.” (Al Hajj: 62)

Al-‘Aliyy adalah pengembangan kata al-‘Uluwwu yang berarti dzat Allah yang Maha Tinggi, kedudukan dan kemuliannya lebih tinggi dari selain-Nya. Dia Mahatinggi dalam kemahadekatan-Nya, semua jenis ketinggian berlaku bagi Allah, maka bagi Allah:
1. Tinggi Dzat-Nya: bahwa Allah bersemayam di atas ‘arsy, di atas seluruh makhluk, namun Dia tetap melihat dan mengatur segala kondisi hamba-hamba-Nya.
2. Tinggi kedudukan-Nya, yaitu ketinggian dan keagungan sifat-sifat-Nya, maka tidak satu sifat makhluk pun yang menyamai sifat-Nya, bahkan makna satu sifat saja tidak mampu diketahui oleh seluruh makhluk secara rinci.
3. Tinggi kemampuan-Nya; bahwa Allah Maha Mengalahkan. Dia mengalahkan seluruh makhluk hingga ubun-ubun mereka berada di tangan-Nya, apapun yang Dia kehendaki pasti terjadi, dan apa saja yang Dia tidak kehendaki niscaya tidak akan terjadi. Andaikata seluruh makhluk bersatu untuk mengadakan apa yang tidak Allah kehendaki, atau untuk menggagalkan apa yang Allah kehendaki niscaya mereka tidak akan mampu karena kesempurnaan kemampuanNya, karena semua keinginanNya pasti berlaku dan karena tingginya kebutuhan makhluk kepada-Nya.

Berdoa dengan Nama Al-‘Aliyy

Doa Ibadah

  • Keimanan kepada Al-‘Aliyy mengharuskan penetapan segala ketinggian bagi Allah tanpa memahaminya dengan cara ta’thil atau takwil.
  • Para ulama telah bersungguh-sungguh menetapkan sifat “tinggi” bagi Allah untuk membantah teori sesat kelompok ahli bid’ah bahwa Allah manunggaling dengan tubuh sejumlah manusia atau dengan rumah tertentu atau tempat-tempat tertentu, mereka menduga bahwa bersemayamnya Allah di atas ‘arsy adalah majaz bukan hakikat sebenarnya.
  • ‘Kriminal’ ilmiah ini disanggah oleh para ulama dengan menetapkan sifat tinggi bagi Allah:

— Bersemayamnya Allah di atas ‘arsy adalah hakikat, istiwa’ secara bahasa berarti tetap (istiqrar) pada ketinggian, Allah berfirman

… وَاسْتَوَتْ عَلَى الْجُودِيِّ وَقِيلَ بُعْدًا لِلْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

“… Dan bahtera itupun berlabuh di atas bukit Judi dan dikatakan: “Binasalah orang-orang yang zalim.” (Huud: 44).

–Turun itu pasti dari ketinggian dan sejumlah ungkapan Al Quran menyatakan hal itu(nazzala, anzalna, tanzil) seperti halnya naik dan mengangkat pasti ke tempat yang tinggi.

تَعْرُجُ الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ (٤)

“Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun.” (Al Ma’aarij: 4)

–Amal-amal shalih dan ucapan-ucapan yang baik naik kepada Allah, Nabi ‘Isa alaihis salam diangkat kepada Allah, dan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa salam menempuh perjalan mi’raj kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

  • Kaum Arab dan non Arab saat mengadakan keadaan buruk, secara spontan mereka mengangkat tangan ke atas untuk meminta pertolongan kepada Allah. Nabi shallallahu alaihi wa salam bertanya kepada seorang budak wanita, “Di mana Allah?” Ia menjawab, “Di langit.” Sambil memberi isyarat dengan kepalanya. Selanjutnya Nabi shallallahu alaihi wa salam memerintahkan majikannya untuk membebaskannya.
  • Tinggi bagi manusia memiliki beberapa makna:
    a. Tinggi kedududkan di sisi Allah dan di kalangan manusia, sebagaimana Allah menyatakan hal itu untuk Nabi Idris alaihis salam,

وَرَفَعْنَاهُ مَكَانًا عَلِيًّا

“Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi.” (Maryam : 57)

b. Pujian yang baik dan julukan-julukan yang positif, sebagaimana Allah menyatakan hal itu untuk Nabi Ibrahim, Ishaq dan Ya’kub.

وَوَهَبْنَا لَهُمْ مِنْ رَحْمَتِنَا وَجَعَلْنَا لَهُمْ لِسَانَ صِدْقٍ عَلِيًّا

“Dan Kami anugerahkan kepada mereka sebagian dari rahmat Kami dan Kami jadikan mereka buah tutur yang baik lagi tinggi.” (Maryam: 50)

Doa Permohonan

‘Aliyy dalam riwayat yang shahih tidak sekedar menjadi sebab dikabulkannya do’a , tetapi juga menjadi sebab diterimanya amal, Nabi shallallahu alahi wa salam bersabda

عَنْ عُبَادَةُ بْنُ الصَّامِتِ رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: مَنْ تَعَارَّ مِنَ اللَّيْلِ فَقَالَ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ. الْحَمْدُ لِلَّهِ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ. ثُمَّ قَالَ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي، أَوْ دَعَا، اسْتُجِيبَ. فَإِنْ تَوَضَّأَ قُبِلَتْ صَلاَتُهُ.

Dari ‘Ubadah bin Ash Shamit radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang bangun dari (tidur) malam lalu mengucapkan: (Tiada tuhan -yang berhak disembah- kecuali Allah satu-satu-Nya tiada sekutu bagi-Nya. Hanya milik-Nya segala kerajaan. Hanya milik-Nya segala pujian, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Segala puji hanya milik Allah. Mahasuci Allah,Tiada tuhan -yang berhak disembah- kecuali Allah. Allah Mahabesar. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan -pertolongan- Allah). Kemudian dia mengucapkan: (Ya Allah, berikanlah ampunan kepadaku) atau dia berdoa (apa saja), niscaya dia akan dikabulkan. Jika dia berwudhu, maka sholatnya pasti diterima.” (HR. Ibnu Majah).

Sumber: Muallifah, The Miracle of Asmaul  Husna, Jakarta, Griya Ilmu.