Allah dengan sifat kasih sayang-Nya menghendaki manusia hidup dalam keselamatan dan kedamaian, sehingga Dia mengutus rasulnya. Di antaranya adalah Nabi Musa a.s. dengan kitab Taurat membimbing Bani Israil (Israel). Tetapi, setelah Nabi Musa a.s. tiada, bangsa tersebut melakukan penyimpangan dan pengrusakan terhadap agama, terutama terhadap kitab sucinya. Ayat-ayat palsu diciptakan untuk melegitimasi tindakan politiknya akibat perpecahan yang membelah mereka menjadi dua kerajaan, Yehuda (Yahudi) yang beribu kota di Yerusalem yang terdiri dari dua suku, dan Israel yang beribu kota di Samaria yang terdiri dari 10 suku. Sehingga, sampai kini kita mengenal bahwa kitab suci Yahudi (Perjanjian Lama) yang juga disucikan oleh umat Kristen, berasal dari dua sumber (versi): Yahwis dari Yehuda dan Elohis dari Israel.
Di antara ayat-ayat yang berasal dari sumber Elohis adalah ayat yang sering menyudutkan keturunan Yehuda, seperti: Yehuda berzina dengan mantan menantunya bernama Tamar (Kejadian 38: 1-30), Nabi Daud berzina dengan Batsyeba (II Samuel 11 :2-5), Nabi Sulaiman memiliki 700 istri dan 300 gundik serta durhaka kepada Allah (I Raja-raja 11: 1-4).
Setelah kaisar Aleksander Agung dari Yunani meluaskan wilayahnya di Timur Tengah yang sekaligus membawa Hellenisme, Bani Israel mengagumi filsafat Yunani, yang pada akhirnya kitab sucinya diterjemahkan dan ditafsirkan menurut alam pikiran Yunani. Sehingga, bentuk dan isi ajaran nabi yang berasal dari Allah pun berubah, dan mengalami penyimpangan yang lebih jauh.
Kemudian, Allah mengutus Nabi Isa a.s. (Yesus) dengan kitab Injil untuk membimbing Bani Israil sekaligus meluruskan penyimpangan agama tersebut. Namun, karena dia menyampaikan misinya selama sekitar tiga tahun, ajarannya bersentuhan dan bercampur-aduk dengan paganisme dan filsafat Yunani, sehingga risalah Yesus mengalami metamorfose (berubah bentuk) menjadi Kristen sekarang ini. Bahkan, sampai kini umat Kristen yang mengaku sebagai pengikut Yesus tidak mengetahui di mana Injil dari Allah yang dibawa oleh Yesus seperti yang disebut-sebut oleh Injil karangan Matius 4:23; 9:35; Markus 1:14-15; Lukas 8:1.
Kerusakan Taurat pada mulanya hanya berada pada lingkaran Israel. Tetapi, setelah Yesus meninggalkan umatnya, ajaran Allah dan Rasul-Nya (Musa dan Isa) yang sudah bermetamorfose sudah menyebar sampai ke Eropa. Sehingga, Allah mengutus Muhammad saw. yang membawa misi universal untuk meluruskan penyimpangan agama tersebut. (Baigent, Leigh, & Lincoln, The Messianic Legacy [Corgi Books: Transworld Publisher Ltd, London, 1992]).
Dia adalah nabi Allah yang terakhir sekaligus sebagai penutup para nabi sebelumnya, yang semuanya membawa risalah untuk membimbing manusia ke jalan kebenaran yang diajarkan oleh Allah. Agama Islam yang dibawa olehnya bukanlah ajaran baru, melainkan agama yang sudah dianut oleh para nabi terdahulu seperti Adam, Idris, Nuh, Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub, Yusuf, Musa Daud, Sulaiman, Yahya dan Isa (Al-Baqarah: 132). Al-Qur’an menyatakan, kedatangan Nabi terakhir ini sudah dijelaskan oleh Allah dalam kitab Taurat dan Injil (Al-Baqarah: 146, Al-A’raf: 157, Ash-Shaf:6). Alkitab, sebagai kitab suci agama Kristen, juga menyatakan bahwa Nabi tersebut akan membawa manusia ke dalam kebenaran dan akan menegakkan hukum-hukum Allah secara tegas (Ulangan 18:15- 18,33:1-3,34:10, Yesaya 41 :1-4, 42:1-4, Habakuk 3:33, Yohanes 1:19-25, 16:7-15).
Mengingat Nabi Muhammad saw. sebagai penerus dan pembawa kesempurnaan ajaran Allah yang telah diberikan kepada para nabi sebelumnya, maka tidaklah heran bila dijumpai banyak kesamaan hukum antara ajaran Allah yang diberikan kepada Ibrahim, Musa, dan Muhammad saw. Oleh karena itu, umat Islam diperintah oleh Allah untuk menyatakan kepada seluruh umat manusia sebagai berikut: “Kami beriman kepada Allah, dan apa saja yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub, dan anak-anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa, serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk dan patuh kepada-Nya.” (Al-Baqarah: 136).
Seperti yang telah dijelaskan oleh Al-Qur’an, sebelum dia lahir ke dunia, umat Israel telah diberi tahu oleh Musa melalui Tauratnya (Ulangan 34:10), bahwa suatu saat nanti akan datang seorang rasul Allah yang lahir dari bangsa yang bukan Israel. Ternyata mereka tidak mengharapkan datangnya nabi terakhir nanti yang berasal dari luar bangsanya, dengan berupaya merancukan nubuat kedatangannya yang terdapat di dalam kitab suci mereka. Sehingga, seakan-akan setiap nabi itu harus lahir dari bangsa Israel.
Oleh karena itu, sebelum Nabi Muhammad lahir ke dunia, mereka sudah mempersiapkan penyimpangan ajaran yang akan disusupkan ke dalam agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Setelah nabi terakhir ini berada di Madinah dan membangun masyarakat Islam di kota itu, bangsa Yahudi berusaha melakukan pengacauan melalui cerita-cerita israiliat dan provokasi politik. Bahkan, di masa khalifah Abu Bakar as-Sidiq, mereka melahirkan nabi-nabi palsu.
Kepahitan sejarah yang sangat menusuk nurani umat Islam adalah keberhasilan si Yahudi yang bernama Abdullah bin Saba, yang menimbulkan fitnah besar yang mengakibatkan kematian khalifah Usman bin Affan, khalifah Ali bin Abi Thalib, dan timbulnya permusuhan sesama Muslim, serta munculnya aliran-aliran teologi Islam yang saling mengkafirkan sesama Muslim, dan pengaruhnya dapat kita rasakan sampai hari ini.
Usaha merancukan Islam pada periode berikutnya tidak hanya dilakukan oleh Yahudi saja. Kaum Kristen juga ingin melumatkan Islam yang sering menghantam dogma dan kepalsuan kitab sucinya. Keduanya saling bekerja sama melakukan kontaminasi terhadap ajaran-ajaran Islam dengan mencemari sejarah, hukum, dan tatanan masyarakat Islam. Terutama mereka menyerang sumber pokok yakni, Al-Qur’an dan hadis Nabi.
Lahirnya ribuan orientalis dari kalangan Yahudi dan Kristen tidak bisa dilepaskan dari tujuan pengerusakan terhadap Islam dan masyarakatnya. Dengan biaya besar dan program yang terpadu, mereka melakukan penelitian di seluruh dunia Islam, dan berhasil menerbitkan ribuan buku tentang Islam dan umatnya.
Sebagai gambaran, pada abad ke-18 Spanyol telah menelurkan beberapa orientalis dari kalangan pendeta antara lain: Fransisco Canes, Estaban Arleage, Mariano Pizzi, Jose Antonio Conde. Orientalis Spanyol yang muncul pada abad ke- 20 antara lain: Fascual Gayanngos, Feransisco Javier Simonet, Miquel Asin Palacios, Angel Gonzales Palencia, Felix Pareja Casanas, Emilio Garcia Gomes, Manuela Manzanares de Ciree, Juan Vernet Gines, Maria Jesus Viquera Molins.
Sedangkan Inggris telah menelurkan deretan orientalisnya sejak abad ke-16. Mereka antara lain: William Bedwe, Edward Pococke, George Sale, Edward William Lane, Sir Thomas Arnold, D.S Margoliouth, R.A. Nicholson, A.J Arberry, W. Montgomery Watt, Bernard Lewis, dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Di Indonesia sendiri kita mengenal tokoh orientalis kawakan Belanda Christian Snouck Hurgronje yang menjadi adviser Nederland untuk masalah Islam Indonesia. Kini berbagai negara Kristen baik di Eropa dan Amerika telah bermunculan berderetan orientalis baru.
Di samping ada yang jujur dalam mengungkapkan tentang Islam, namun sebagian besar dari mereka sengaja melakukan upaya distruksi. Kita bisa membaca pandangan mereka yang sangat serampangan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan, baik dari kalangan Yahudi maupun Kristen. Sebagai contoh kita dapat membaca tulisan sejarawan Yahudi, Max I Dimont, yang berbunyi:
“Muhammed (569-632 A.D) lost both parents before he was six. He was brought up first by his grandfather, and later by an uncle. Both forgot to have him tutored in reading and writing, an oversight quickly remedied in later life when Muhammed learned the art of instant reading by revealation. As with Abraham, Moses, and Jesus, we know nothing of his early youth, except that at the age of twelve he was taken by caravan to Syria. Where he for the first time come into contact with Jewish and Christian religion. From this encounter he carried away a lifelong respect for ‘the Book’ of the Jews. The Jewish Patriarchs became his heroes, heroes whom he later enshrined in the Koran, the Bible of the Mohammedans. At the age of twenty-five he married a wealthy, fourty-year old widow, with whom he live in monogamy for a quarter of a century. After her death, in Mohammed’s fifty-first year, his penchant for younger women between the age of seven and twenty-one found its full expression. His later harem of ten wives and two concubines contained houris of various ages and stages of experience.” (Max I. Dimont, Jews, God and History [Signet Book: The New American Library, New York, Tenth Printing], hlm. 189).
“Muhammad (596-632 M) kehilangan kedua orang tuanya sebelum berusia 6 tahun. Mula-mula ia diasuh oleh kakeknya, kemudian oleh pamannya. Keduanya lupa mengajari baca tulis kepada Muhammad, tapi kemudian Muhammad mempelajari seni membaca cepat melalui wahyu. Seperti tentang riwayat Ibrahim, Musa, dan Yesus, kita tidak mengetahui sedikit pun perihal masa mudanya, kecuali di usia 12 tahun ia ikut kafilah pergi ke Syria. Di saat itulah ia pertama kali mempelajari agama Yahudi dan Kristen. Oleh karena itulah dia sangat menghormati “kitab-kitab” Yahudi sepanjang hidupnya. Para imam Yahudi (Patriarch) menjadi pahlawannya. Pahlawan-pahlawan yang kemudian diabadikan dalam Al-Our’an, kitab suci pengikut Muhammad. Di usia 25 tahun ia memperistri seorang janda kaya raya berumur 40 tahun selama seperempat abad. Setelah istrinya meninggal, di saat Muhammad berusia 51 tahun, kegemarannya kepada wanita muda yang berusia 7 sampai 21 tahun sangat menyolok. Kesepuluh istrinya dan dua gundiknya yang cantik-cantik itu dianggap sebagai bidadari yang memiliki pengalaman dan usia yang berbeda.”
Tulisan Max I. Dimont ini, disamping menuduh Muhammad sebagai lelaki maniak yang haus wanita muda, salah satu hal lain yang sering menjadi sorotan para orientalis adalah perjalanan niaga Muhammad saw. Bagi mereka, adalah mustahil jika Muhammad yang mengerti perdagangan ekspor-impor sampai ke Syria tidak bisa membaca dan menulis, dan mustahil tidak berinteraksi dengan bangsa lain. Padahal, di saat itu banyak pendeta Kristen dah rabbi Yahudi hidup dan mengajar di negara Syria. Kemungkinan besar Muhammad telah belajar Alkitab atau Bibel kepada seorang pendeta.
Dugaan ini diperkuat dengan kedudukan kakek dan paman beliau sebagai tokoh masyarakat di kota Makkah atau Ummul Qura (ibu desa-desa, di masa sekarang lebih tepat disebut ibu kota). Di saat itu, Makkah adalah pusat para penyair yang setiap tahun sering menyelenggarakan festival puisi dan syair. Oleh karena itulah, Muhammad pasti sudah belajar tulis baca sejak kecil, dan setelah berdagang barang ekspor-impor ke Syria pada usia 12 tahun (menurut kalangan Islam berumur 14 tahun), dia sudah mempelajari kitab suci Yahudi dan Kristen, kemudian dirumuskan kembali menjadi Al-Our’an. Sehingga, banyak kesamaan cerita dan ajaran yang terdapat dalam Perjanjian Lama (kitab suci Yahudi) dengan Al-Our’an. Ensiklopedi Britanica mengatakan: “The word Ummi, literally ‘Populer’ or ‘Plebein’ (according to one etymology), applied to him in the Koran, is said to mean ‘One who can neither read nor write’, a Supposition But the word may mean ‘Meccan’, i,e, native of ‘The Mother of villages’ (Ummu al Qura; and it is probable that he could both read and write, but unskilfully.”
“Kata ‘ummi’ yang menurut arti asalnya adalah ‘umum’ atau ‘kampungan’ dicantumkan dalam Al-Our’an khusus untuk Muhammad dengan arti ‘orang yang tidak bisa membaca dan menulis’, menjadi kepercayaan yang masuk dalam doktrin mukjizat Al-Qur’an. Tetapi kata ‘Makkah’ yang arti asalnya adalah ‘ibu desa-desa’ (Umm al-Qura), memberi kemungkinan bahwa Muhammad bisa membaca dan menulis.”
Ternyata di kalangan para penulis enslikopedi Britannica sendiri saling berselisih. Di satu pihak mengatakan bahwa Muhammad pasti bisa membaca, tetapi di pihak lain mengatakan bahwa dia buta huruf. Sebagaimana penuturan mereka sebagai berikut: “There is no evidence that he was able to read, and his dependence on oral communications may explain some of his misconceptions; e.g., the confusion of Haman, the minister of , Ahasuerus, with the minister of Pharaoh (xl 38), and the identification of Miriam, the sister of Moses, with Mary (Miryam), the mother of Jesus (xix, 2.9). It is certain that in Medina he had opportunities of becoming acquainted with Jews of some culture, and there is linguistic as well as literary evidence for his inebtedness to members of Nestorian Church. Even in rare passages where we can trace direct resemblance to the of the Old Testament (cf. xxi, 48, with Ps. xxxviii, 29; i,5, with Ps. xxvii, 11) or the New (cf. vii, 48 with Luke xvi, 24; xlvi, 19, with Luke xvi, 25), there is nothing more than might readly have been picked up in conversation with any Jew or Christian. “ (Encyclopaedia Britannica, Vol. 13, hlm. 483).
“Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa dia dapat membaca, dan ketergantungannya kepada komunikasi lisan mungkin mengakibatkan kesalahan konsep ajarannya. Seperti kesimpangsiuran mengenai Haman, Menteri Ahasuerus, disebutkan sebagai Menteri Fir’aun (QS XI: 38), dan tentang identitas Miryam, saudara Nabi Musa, disebut Maryam yang melahirkan Yesus (QS Maryam: 29). Lebih jelas lagi ketika di Madinah. Muhammad memiliki kesempatan untuk bergaul akrab dengan orang-orang Yahudi, dan dari segi bahasa terdapat bukti literal bahwa Muhammad menyerap cerita dari orang-orang Kristen Nestoria. Bahkan, pada beberapa halaman Al-Qur’an, kita dapat menemukan kemiripan teksnya dengan kitab Perjanjian lama (QS Al-Anbiya: 105 dengan Mazmur 38: 29, QS Al-Fatihah: 5 dengan Mazmur 17: 11) atau dengan Perjanjian Baru (QS Al-A’raf: 48) dengan Lukas 16: 24, QS Al-Ahqaf: 19 dengan Lukas 16: 25. Itu semua tidak lebih dari “hasil jiplakan dalam percakapannya dengan orang-orang Yahudi atau Kristen.”
Tampak sekali kealpaan mereka terhadap konsep bahwa Muhammad adalah penutup dan penyempurna risalah Islam. yang dibawa oleh para nabi sebelumnya, sehingga mereka lupa bahwa hukum dan ajaran pokok agama Islam sejak masa Nabi Adam a.s. sampai Muhammad saw. adalah sama. Kemungkinan besar firman Allah yang disampaikan kepada Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad banyak kesamaannya baik dalam lafadnya (teks) maupun makna dan pengertiannya. Namun, sebagaimana yang kami sebutkan sebelumnya, karena kitab Taurat dan Injil sudah mengalami bencana pengerusakan oleh tangan-tangan manusia, maka kesamaan teks itu sulit dijumpai. Sedangkan masalah identitas Maryam dan Miryam, akan kita bahas pada edisi berikutnya.