Pribadi yang Menuju Allah

Sebagai hamba Allah, kita harus mengerti tentang arti diri sendiri. Sehingga kemudian berusaha untuk meningkatkan kualitas diri sesuai dengan yang dikehendaki Allah Subhanahu wa ta’alaa. Karena hamba Allah yang mengerti tentang dirinya, adalah hamba yang sungguh-sungguh mengenal Allah Subhanahu wa ta’alaa. Sehingga tidak ada potensi pada dirinya yang sia-sia, semua diberdayakan sesuai dengan kehendak Penciptanya. Dia akan sangat menghargai apapun yang ada pada dirinya. Sehingga tidak ada bagian dari kehidupannya yang sia-sia.

أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثاً وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ

Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (Al Mukminun:115).

Karenanya kita harus memberdayakan seluruh potensi yang ada pada diri kita untuk Allah Subhanahu wa ta’alaa.

Jika kita perhatikan, bahwa potensi manusia yang paling utama adalah kalbunya. Jika kalbu mengenal Allah, maka dia akan menuju kepada Allah Subhanahu wa ta’alaa. Jika ia tidak mengenal Allah, maka yang terjadi, ia akan mengikuti kehendak hawa nafsunya.

Oleh karena itu, pengenalan seseorang kepada Allah, menjadikan hidup seseorang lebih hidup. Sehingga, hamba Allah Subhanahu wa ta’alaa tidak boleh sedikit pun lalai dari mengingat Allah. Pengenalan kepada Allah menjadi misi utama dalam hidupnya. Sehingga ketika ia mengenal Allah dengan sebenar-benarnya, sesuai dengan keterangan yang Allah turunkan, maka selanjutnya ia akan berusaha untuk memahami, apa yang diinginkan Allah dari hamba-Nya.

Kita tidak pernah merasakan kehidupan yang hakiki, jika kita tidak pernah memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya. Dan jika kalbu manusia tidak diarahkan kepada Allah, ia akan terhalang dari Allah, sehingga ia akan menjauh dari Allah Subhanahu wa ta’alaa. Pada saat itulah terjadinya kerusakan dalam diri manusia.

Seorang tabi’in bernama Khalid bin Ma’dan berkata, “Tidaklah seorang hamba, kecuali ia memiliki empat mata. Dua mata yang ada diwajahnya, dengan keduanya ia melihat perkara-perkara duniawi. Dan dua mata dikalbunya, dengan keduanya ia memandang ke arah akhirat.”

Jika kalbu manusia, diberikan jalannya oleh Allah, ia mengenal Allah, tahu apa maunya Allah, mengikuti petunjuk Allah, maka kalbu seorang hamba akan hidup, dan dia akan selalu memandang ke arah akhirat.

Dalam kaitannya dengan kalbu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan,

Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung)” (Riwayat Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).

Kalbu ini harus kita isi dengan sesuatu yang Allah sukai, agar kita tahu dan sadar akan arti kehidupan ini tidaklah sia-sia, kemudian memberdayakannya ke arah Allah.

Karena jika demikian, berarti kita berada di sisi yang benar. Karena Allah Maha Benar, akan selalu mengarahkan kita kepada kebenaran. Jika kemudian kita lalai kepada Allah, menyebabkan kita berpaling dari Allah, sehingga muncul dan menguasai diri kita adalah hawa nafsu. Inilah yang menyebabkan manusia jauh dari Allah Subhanahu wa ta’alaa.

Jika kalbu ini mengenal Allah, maka akan terjalin hubungan yang baik pula antara sesama manusia. Begitu pula sebaliknya, jika hubungan seseorang tidak baik dengan sesamanya, maka hal ini disebabkan hubungannya dengan Allah yang tidak berjalan dengan baik. Hubungan manusia dengan Allah, akan terefleksikan dalam hubungan manusia dengan sesamanya.

Inilah hakikat dari kebahagiaan manusia. Ketika kalbunya terhubung kepada Allah dan selalu hidup untuk mengarah kepada Allah, kemudian yang selalu dipikirkan adalah bagaimana membangun akhiratnya.

Membangun pribadi yang utuh, harus dimulai dari membangun kalbu yang benar. Jika kalbu dibangun dengan benar, kemudian diarahkan menuju Allah, maka dia akan selalu mengikuti apa yang dikehendaki Allah Subhanahu wa ta’alaa. Sebagaimana firman Allah,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (Al-Anfal: 24)

Islam, memberikan jawaban lengkap kepada manusia terhadap arti dari keberadaan manusia itu sendiri, kenapa manusia lahir di dunia, apa yang harus dilakukan di dunia ini, dan kemana mereka akan menuju. Maka Islamlah yang akan mengarahkan manusia, sebagaimana firman Allah ta’alaa,

فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإسْلامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ كَذَلِكَ يَجْعَلُ اللَّهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ

Barang siapa dikehendaki Allah akan mendapat hidayah (petunjuk), Dia akan membukakan dadanya untuk (menerima) Islam. Dan barang siapa dikehendaki-Nya menjadi sesat, Dia jadikan dadanya sempit dan sesak, seakan-akan dia (sedang) mendaki ke langit. Demikianlah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.” (Al-An’am: 125)

Jika Allah menghendaki kebaikan pada diri seorang hamba, maka Allah akan mengarahkan kalbunya, dirinya ke arah Islam. Maka jika kita ingin benar, menuju kepada Allah tidak cukup jika hanya sebatas dalam kalbu tetapi harus dipraktekkan dengan keislaman dalam setiap aspek kehidupannya. Karena Islam adalah pedoman yang telah Allah tetapkan bagi hamba-Nya di dalam menjalani kehidupannya di dunia ini.

Ketika bangunan pribadi ini benar-benar terealisasi, maka kalbu akan menggerakkan seluruh potensi seorang hamba untuk diarahkan menuju Allah Subhanahu wa ta’alaa. Ketika kita mampu membawa pribadi ini menuju Allah, maka kita akan menjadi Khalifah Allah di muka bumi. Karena sesungguhnya, kehidupan kita di dunia ini tidak memiliki arti, manakala kita tidak mengenal Allah. Kita akan gagal dalam kehidupan ini, jika kita tidak menuju kepada Allah Subhanahu wa ta’alaa.

Maka, saat diri kita menuju kepada Allah, yang timbul dalam diri kita adalah rasa nyaman dan tenang. Sebagaimana firman Allah,

أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

Bukankah dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang.” (Ar-Ra’du: )

Jika kemudian dalam diri seorang hamba tidak terbangun dengan benar, maka akan muncul dua hal, yang pertama adalah panjang angan-angan yang dengannya ia dijauhkan dari Allah. Dia hanya memandang dengan kedua mata yang ada diwajahnya, dan tidak memandang dengan kedua mata hatinya. Sehingga yang dipikirkan hanya urusan dunia. Hal ini dapat kita lihat saat ini, dimana manusia berbangga-bangga dengan bangunan-bangunan yang megah, tapi tidak memberikan porsi cukup terhadap pembangunan kepribadian manusia.

Namun Islam, tidak hanya mengajarkan bagaimana membangun kehidupan dunia yang baik, tetapi lebih kepada pembangunan kepribadian-kepribadian yang utuh dan tangguh. Inilah peradaban modern Islam yang diusung oleh para sahabat Radliyallahu ‘anhum, hasil didikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal sebelumnya mereka dikenal sebagai manusia-manusia primitif yang tidak mengenal peradaban, penuh dengan kejahiliyyahan. Tapi dengan nilai-nilai Islam mereka berubah menjadi cahaya yang menyinari peradaban dunia. Menjadi tokoh-tokoh yang menggerakkan peradaban umat manusia. Islam selalu meninggalkan nilai-nilai yang membangun kepribadian manusia.

Inilah yang seharusnya kita kedepankan, memberikan perhatian terhadap bangunan kepribadian manusia, daripada mencurahkan perhatian terhadap bangunan-bangunan yang bersifat fisik dan materialistik.

Allah ta’alaa berfirman,

لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ

Sungguh, Allah telah memberi karunia kepada orang-orang beriman ketika Allah mengutus seorang Rasul (Muhammad) di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab (Al Qur’an) dan Hikmah (As Sunnah). Sesungguhnya sebelum itu, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Ali Imran: 164)

Dalam ayat tersebut disebutkan karunia Allah, ketika Allah mengaruniakan kepada umat manusia seorang Rasul dari golongan mereka, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah. Kemudian disebutkan pada kalimat selanjutnya bahwa Rasulullah mendidik manusia guna membangun kepribadian yang suci.

Ada dua hal penting dalam diri manusia. Yang pertama adalah (الزكاء)  dan yang kedua adalah (الذكاء). Ayat ini menekankan pada az-Zakaa’, kesucian jiwa. Adapun pendidikan yang di negara kita, lebih menekankan pada adz-Dzakaa’, kecerdasan. Az-Zakaa’ mengarahkan pada kesucian jiwa, sehingga kalbu menjadi hidup, menuju kepada Allah, dan orientasinya adalah, bagaimana membangun akhirat secara benar, tanpa mengesampingkan bagiannya di dunia ini. Namun jika pembangunan manusia hanya difokuskan pada adz-Dzakaa’, kecerdasan, yang tidak dibangun di atas fondasi az-Zakaa’, maka potensi kecerdasan ini akan menyimpang dan menimbulkan banyak kerusakan.

Ketika Allah berfirman, “وَيُزَكِّيهِمْ” Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan tazkiyah kepada para sahabat Radliyallahu ‘anhum dengan menanamkan ajaran Islam yang dipraktekkan dalam kehidupan mereka.

Di antara az-Zakaa’ yang dimiliki para sahabat adalah sebagaimana yang dicontohkan oleh sahabat Muadz bin Jabal Radliyallahu ‘anhu. Beliau memeluk Islam pada umur 18 tahun. Karena keseriusan beliau menimba ilmu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menjadi seorang ulama besar. Dan wafat pada usia 34-36 tahun. Seorang ulama muda yang sangat berbobot dan dikagumi oleh para sahabat Radliyallahu ‘anhum. Muadz bin Jabal berkata, “Sejak saya masuk Islam, saya tidak pernah meludah di sebelah kanan saya.” Hal ini beliau lakukan, karena kecintaan beliau kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Rasulullah mencintai segala kebaikan yang berkaitan dengan “kanan”, adapun meludah adalah perkara yang tidak baik, sehingga Muadz bin Jabal tidak pernah meludah ke sebelah kanan beliau.

Begitulah, bagaimana Rasulullah mendidik para sahabat, istri-istri beliau, dan masyarakat pada masa itu. Sehingga mereka menjadi pribadi-pribadi yang tidak hanya baik kepada sesamanya namun lebih utama lagi, mereka berinteraksi dengan baik kepada Allah Subhanahu wa ta’alaa.

Ketika jiwa sudah bersih, kemudian Rasulullah menanamkan al-Qur’an dan Sunnah. Sehingga kita ketahui bersama, para sahabat Radliyallahu ‘anhum, mereka belajar al-Qur’an setiap harinya, antara 5-10 ayat. Mereka baca, mereka fahami, mereka dalami artinya, sampai kemudian mereka amalkan, baru kemudian mereka beralih pada ayat berikutnya. Inilah suatu bentuk pendidikan yang diberikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membangun pribadi yang utuh pada diri para sahabat Radliyallahu ‘anhum, yang kemudian menjadi contoh nyata dalam kehidupan umat manusia.

Ibnu Mas’ud Radliyallahu ‘anhu berkata kepada para tabi’in, “Kalian sekarang berada pada zaman dimana banyak ulama dari golongan kalian, namun sedikit para penceramahnya. Namun akan datang suatu zaman, sedikit ulama dari golongan mereka, dan lebih banyak penceramahnya.” Hal ini menunjukkan bahwa ilmu tentang hakikat Islam sudah mulai luntur.

Begitu pula para tabi’in yang mengingatkan para murid-murid mereka, di antaranya Maimun bin Mahran, beliau adalah tabi’in yang memperhatikan bagaimana prilaku para sahabat Radliyallahu ‘anhum, beliau berkata, “Aku menemukan orang-orang (dari kalangan para sahabat) tidak berbicara kecuali dengan kebenaran, jika tidak maka mereka diam.” Ini adalah praktek dari sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaknya ia berkata baik, atau diam.

Kemudian Maimun bin Mahran melanjutkan, “Aku menemukan mereka ini (para sahabat) tidak berbicara setelah shalat Shubuh sampai matahari terbit kecuali hal-hal yang diridhoi Allah Subhanahu wa ta’alaa.” Artinya mereka banyak berdzikir.

Ini adalah praktek dari sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

Barangsiapa yang shalat subuh berjamaah, kemudian dia duduk – dalam riwayat lain: dia menetap di mesjid – untuk berzikir kepada Allah sampai matahari terbit, kemudian dia shalat dua rakaat, maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala haji dan umrah, sempurna sempurna sempurna.” (Riwayat at-Tirmidzi (no. 586), dinyatakan hasan oleh at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani dalam “Silsilatul-Ahaadits ash-Shahihah” (no. 3403)

Kemudian Maimun bin Mahran melanjutkan, “Sesungguhnya aku menemukan di antara para sahabat itu, nampak sekali dari mata mereka, bahwa mereka adalah orang-orang yang begitu besar rasa takutnya kepada Allah.” Ini adalah pengaruh shalat malam yang mereka kerjakan, mereka banyak menangis karena rasa takut mereka terhadap Allah.

Ini adalah pesan Maimun bin Mahran pada masa tabi’in yang disampaikan kepada generasi tabi’ut tabi’in. Lantas bagaimana dengan generasi kita saat ini? Banyak waktu kita yang terbuang sia-sia, banyak prilaku kita yang tidak benar, banyak harta kita yang habis sia-sia, dan masih banyak lagi hal-hal yang tidak diridhai oleh Allah Subhanahu wa ta’alaa.

Sehingga karenanya mari kita berusaha membangun pribadi yang utuh menuju Allah Subhanahu wa ta’alaa, dibangun di atas fondasi Islam yang Allah turunkan, kemudian dipraktekkan sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Agar kita kemudian mendapatkan arti kehidupan, sebagaimana firman Allah ta’alaa,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (Al-Anfal: 24)