Surah Al-Baqarah, Ayat 45 – 48

Cover Tafsir

وَاسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِينَ , الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلاَقُوا رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (QS. 2:45) (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Rabb-nya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya. (QS. 2:46)

Melalui firman-Nya ini, Allah Ta’ala menyuruh para hamba-Nya untuk mencapai kebaikan dunia dan akhirat yang mereka dambakan, dengan cara menjadikan kesabaran dan shalat sebagai penolong.

Sebagaimana yang dikatakan Muqatil bin Hayyan dalam tafsirnya me-ngenai ayat ini, “Hendaklah kalian mengejar kehidupan akhirat dengan cara men-jadikan kesabaran mengerjakan berbagai kewajiban dan shalat sebagai penolong.”

Menurut Mujahid, yang dimaksudkan dengan kesabaran adalah shiyam (puasa). Al-Qurthubi dan ulama lainnya mengatakan, “Oleh karena itu bulan Ramadhan disebut sebagai bulan kesabaran.”

Ada juga yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan sabar pada ayat tersebut adalah menahan diri dari perbuatan maksiat, karena itu disebutkan bersama dengan pelaksanaan berbagai macam ibadah, dan yang paling utama adalah ibadah shalat.

Dari Umar bin Khattab Radhiallahu ‘anhu, ia menuturkan, “Sabar itu ada dua: sabar ketika mendapatkan musibah adalah baik, dan lebih baik lagi adalah bersabar dalam menahan diri dari mengerjakan apa yang diharamkan Allah.”

Hal yang mirip dengan ucapan Umar bin Khattab juga diriwayatkan dari Hasan al-Bashri.

Ibnul Mubarak meriwayatkan dari Sa’id bin Juba’ir, katanya, “Kesabaran itu adalah pengakuan hamba kepada Allah atas apa yang menimpanya dan mengharap keridhaan di sisi-Nya serta menghendaki pahala-Nya. Terkadang seseorang merasa cemas sedang ia tetap tegar, tidak terlihat darinya kecuali kesabaran.”

Imam Ahmad meriwayatkan dari Hudzaifah bin al-Yaman Radhiallahu ‘anhu katanya: “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam jika ditimpa suatu masalah, maka segera mengerjakan shalat”. (HR. Abu Dawud)

Mengenai firman-Nya, Î وَاسْتَعِينُوا بِاالصَّـبْرِ وَالصَّلاَةِ Ï “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolong kamu.” Sunaid meriwayatkan, dari Hajjaj, dari Ibnu Juraij, ia mengatakan, bahwa sabar dan shalat merupakan penolong untuk mendapatkan rahmat Allah Ta’ala.

Dhamir (kata ganti) pada firman-Nya, Î وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ Ï kembali ke kata shalat. Demikian dinyatakan oleh Mujahid dan menjadi pilihan Ibnu Jarir. Bisa juga kembali kepada apa yang menunjukkan pada kandungan ayat itu sendiri, yaitu wasiat (pesan) untuk melakukan hal tersebut, seperti firman Allah Ta’ala dalam kisah Qarun:

Î وَقَالَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَيْلَكُمْ ثَوَابُ اللهِ خَيْرٌ لِّمَنْ ءَ امَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا وَلاَ يُلَقَّاهَآ إِلاَّ الصَّابِرُونَ Ï “Orang-orang yang dianugerahi ilmu berkata: ‘Kecelakaan yang besar bagi kamu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal shalih, dan tidak diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang sabar.’” (QS. Al-Qashash: 80)

Bagaimanapun, firman Allah Ta’ala, Î وَ إِنَّـهَا لَكَبِيـرَةٌ Ï berarti beban yang sangat berat, kecuali bagi orang-orang yang kusyu.

Mujahid mengatakan, “yaitu orang-orang mukmin yang sebenarnya.”

Sedangkan adh-Dhahhak mengatakan, Î وَإِنَّهَـا لَكَبِيـرَةٌ Ï berarti bahwa yang demikian itu sangat berat kecuali bagi orang-orang yang tunduk kepada ketaatan-Nya, yang takut akan kekuasaan-Nya, serta yang percaya dengan janji dan ancaman-Nya.

Ibnu Jarir mengatakan, makna ayat tersebut “Wahai sekalian orang-orang alim dari kalangan ahlul kitab, mohonlah pertolongan dengan menahan diri kalian dalam ketaatan kepada Allah dan mendirikan shalat yang dapat mencegah kalian dari kekejian dan kemungkaran serta dapat mendekatkan diri kepada keridhaan Allah, yang penegakkannya sangat berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, yaitu mereka yang patuh dan tunduk kepada ketaatan-Nya serta merendahkan diri karena takut kepada-Nya.”

Yang jelas, meskipun ayat tersebut ditujukan kepada Bani Israil dalam konteks sebagai peringatan, namun yang dimaksud bukan mereka semata-mata, tetapi ditujukan secara umum baik kepada mereka maupun selain mereka. Wallahu a’lam.

Firman-Nya, Î الَّذِيـنَ يَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلاَقُوا رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ Ï “Yaitu orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Rabb-nya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” Ayat ini menyempurnakan kandungan ayat sebelumnya. Maksudnya, bahwa shalat atau wasiat itu benar-benar berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, yaitu yang yakin bahwa mereka akan menemui Rabb-nya. Yakni, mereka mengetahui bahwa dirinya akan dikumpulkan kepada-Nya pada hari kiamat, ditampilkan dan dikembalikan kepada-Nya. Artinya, semua persoalan mereka kembali kepada kehendak-Nya, Dia memutuskan per-soalan itu menurut kehendak-Nya sesuai dengan keadilan-Nya. Oleh karena itu, ketika mereka meyakini akan adanya hari pengembalian dan pemberian pahala, maka terasa ringan bagi mereka untuk melaksanakan berbagai ketaatan dan meninggalkan berbagai kemungkaran.

Sedangkan firman-Nya, Î يَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلاَقُوا رَبِّهِمْ Ï “Mereka meyakini bahwa mereka akan menemui Rabb mereka,” Ibnu Jarir rahimahullah mengatakan, masyarakat Arab terkadang menyebut yakin itu dengan sebutan dzan (dugaan). Hal seperti itu juga dapat kita lihat pada firman Allah Ta’ala berikut ini:

Î وَرَءَ ا الْمُجْرِمُونَ النَّارَ فَظَنُّوا أَنَّهُم مُّوَاقِعُوهَا Ï

Dan orang-orang yang berdosa melihat neraka, maka mereka meyakini, bahwa mereka akan jatuh ke dalamnya.” (QS. Al-Kahfi: 53)

يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اذْكُرُواْ نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَنِّي فَضَّلْتُكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ

Hai Bani Israil, ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepada-mu dan (ingatlah pula) bahwasanya Aku telah melebihkan kamu atas segala umat. (QS. 2:47)

Allah Ta’ala mengingatkan Bani Israil akan berbagai nikmat yang telah di-anugerahkan-Nya kepada nenek moyang mereka serta para pendahulu mereka, juga keutamaan yang telah diberikan kepada mereka berupa pengutusan para rasul dari kalangan mereka sendiri serta penurunan kitab-kitab kepada mereka dan diutamakannya mereka atas umat-umat lain pada zaman mereka, sebagai-mana firman Allah Ta’ala:

Ïوَإِذْقَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ يَاقَوْمِ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِيَآءَ وَجَعَلَكُم مُّلُوكًا وَءَ اتَاكُم مَّالَمْ يُؤْتِ أَحَدًا مِّنَ الْعَالَمِينَ Î

“Dan ingatlah ketika Musa berkata kepada kaumnya: ‘Wahai kaumku, ingatlah nikmat Allah yang diberikan kepadamu ketika Dia mengangkat Nabi-Nabi di antara kamu dan dijadikan-Nya kamu orang-orang yang merdeka serta Dia berikan kepada kamu apa yang belum pernah Dia berikan kepada seorang pun di antara umat-umat yang lain.’” (QS. Al-Maidah: 20)

Mengenai firman Allah Ta’ala, Î وَأَنِّي فَضَّلْتُكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ Ï “Sesungguhnya Aku telah mengunggulkan kamu atas semua umat,” Abu Ja’far ar-Razi meriwayatkan, dari Rabi’ bin Anas, dari Abu al-Aliyah, katanya: “Keunggulan mereka itu diwujudkan melalui pemberian kekuasaan, pengutusan para rasul dan penurunan kitab-kitab-Nya kepada umat-umat pada zaman tersebut, karena setiap zaman memiliki umat.”

Ayat tersebut di atas harus ditafsirkan seperti ini, karena umat ini (umat Islam) lebih unggul daripada Bani Israil. Hal itu sebagaimana firman Allah Ta’ala ditujukan kepada umat ini:

Ïكُنتُمْ خَيْـرَ أُمَّةٍ أُخْـرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلَوْءَ امَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ Î

“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh ke-pada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahlul kitab beriman, tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (QS. Ali Imran: 110)

Dalam kitab Musnad dan Sunan, diriwayatkan dari Mu’awiyah bin Haidah al-Qusyairi, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَنْتُمْ تُوْفُوْنَ سَبْعِيْنَ أُمَّةً أَنْتُمْ خَيْرُهَا وَأَكْرَمُهَا عَلَى اللهِ

“Kalian sebanding dengan tujuh puluh umat, kalian adalah umat yang terbaik dan paling mulia menurut Allah.

Dan hadits-hadits dalam masalah ini banyak sekali, yang disebutkan berkenaan dengan firman Allah Ta’ala: Î كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ Ï “Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia.” (QS. Ali Imran: 110)

وَاتَّقُواْ يَوْماً لاَّ تَجْزِي نَفْسٌ عَن نَّفْسٍ شَيْئاً وَلاَ يُقْبَلُ مِنْهَا شَفَاعَةٌ وَلاَ يُؤْخَذُ مِنْهَا عَدْلٌ وَلاَ هُمْ يُنصَرُونَ

Dan jagalah dirimu dari (‘adzab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan (begitu pula) tidak diterima syafa’at dan tebusan daripadanya, dan tidaklah mereka akan di-tolong. (QS. 2:48)

Setelah Allah Ta’ala mengingatkan Bani Israil akan nikmat-Nya, lalu Dia menyambung peringatan tersebut dengan ancaman akan lamanya siksaan yang diberikan kepada mereka pada hari kiamat, di mana Allah Ta’ala berfirman, Î وَاتَّقُوا يَوْمًا Ï “Dan jagalah dirimu dari (adzab) pada hari.” Maksudnya adalah hari kiamat. Pada hari di mana, Î لاَّ تَجْـزِي نَفْسٌ عَـن نَّفْسٍ شَيْئًا Ï “Seseorang tidak dapat membela orang lain meskipun sedikit.” Artinya, tidak ada seorang pun yang dapat mencukupi orang lain, sebagaimana firman-Nya:

Î وَلاَتَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى Ï

“Dan seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.(QS. Al-An’am: 164)

Î لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ يَـوْمَئِذٍ شَـأْنٌ يُغْنِيهِ Ï

“Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya.(QS. ‘Abasa: 37)

Dan firman-Nya, Î وَلاَ يُقْـبَلُ مِنْهَـا شَـفَعَةٌ Ï “Dan tidak diterima darinya syafa’at.” Yakni dari orang-orang kafir, sebagaimana firman-Nya:

Î فَمَا تَنفَعُهُمْ شَفَعَةُ الشَّافِعِينَ Ï

“Maka tidaklah berguna bagi mereka syafaatnya pemberi syafa’at.” (QS. Al-Mudatstsir: 48)

Sedang firman-Nya, Î وَلاَ يُؤْخَذُ مِنْهَا عَدْلُُ Ï “Dan juga tidak diambil tebusan darinya.” Artinya, Allah tidak akan menerima tebusan yang diserahkan oleh mereka. Sebagaimana firman-Nya:

Î إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَمَاتُوا وَهُمْ كُفَّارُُ فَلَن يُقْبَلَ مِنْ أَحَدِهِم مِّلْءُ اْلأَرْضِ ذَهَبًا وَلَوِ افْتَدَى بِهِ Ï

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan mati sedang mereka tetap dalam ke-kafirannya, maka tidaklah akan diterima dari seseorang di antara mereka emas sepenuh bumi, walaupun ia menebus diri dengan emas (yang sebanyak itu).(QS. Ali Imran: 91)

Allah Ta’ala memberitahukan bahwa jika mereka tidak beriman kepada rasul-Nya dan tidak mengikuti ajaran yang dibawanya serta tidak memenuhi kewajiban yang telah dibebankan kepada mereka, maka pada hari kiamat kelak kedekatan kaum kerabat dan syafa’at seorang pemilik kehormatan (kedudukan) tiada akan bermanfaat bagi mereka. Dan tidak akan diterima pula tebusan dari mereka meski berupa tumpukan emas sepenuh bumi ini.

Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

Î مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَ يَوْمُُ لاَّ بَيْعُُ فِيهِ وَلاَخُلَّةٌ وَلاَ شَفَعَةٌ Ï “Sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafa’at.” (QS. Al-Baqarah: 254)

Firman-Nya, Î وَلاَهُـمْ يُنصَـرُونَ Ï “Dan tidaklah mereka akan ditolong.” Artinya, tidak ada seorang pun yang marah demi (membela) mereka, lalu memberikan pertolongan dan menyelamatkan mereka dari adzab Allah. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa kaum kerabat dan orang yang mempunyai kehormatan tidak akan merasa kasihan terhadap mereka, serta tidak pula akan diterima darinya tebusan, yang semua karena belas kasihan. Tidak ada lagi seorang penolong dari kalangan mereka sendiri maupun lainnya. Sebagaimana firman-Nya: Î فَمَـالَهُ مِن قُوَّةٍ وَ لاَنَاصِرٍ Ï “Maka sekali-kali tidak ada bagi manusia itu suatu kekuatanpun dan tidak pula seorang penolong.” (QS. Al-Thariq: 10)

Artinya, bahwa Allah Ta’ala tidak akan menerima tebusan dan syafa’at dari orang-orang yang kafir kepada-Nya, serta tidak ada seorang penyelamat pun yang dapat menyelamatkan dan menghindarkan mereka dari adzab-Nya.

Sumber: Diadaptasi dari Tafsir Ibnu Katsir, penyusun Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ishak Ali As-Syeikh, penterjemah Ust. Farid Ahmad Okbah, MA, dkk. (Pustaka Imam As-Syafi’i)