Surah Al-Baqarah Bag. 13

Cover Tafsir

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُواْ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاء وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

Ingatlah ketika Rabb-mu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau”. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (QS. 2:30)

Allah Ta’ala memberitahukan ihwal penganugerahan karunia oleh-Nya kepada anak cucu Adam, yaitu berupa penghormatan kepada mereka dengan membicarakan mereka di hadapan “الْـمَلأُ الأَعْلَـى” (para malaikat), sebelum mereka diciptakan. Dia berfirman, Î وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَئِكَةِ Ï “Dan ingatlah ketika Rabb-Mu berfirman kepada para malaikat.” Artinya, Hai Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, ingatlah ketika Rabb-mu berkata kepada para malaikat, dan ceritakan hal itu pula kepada kaummu.

Î إِنِّي جَاعِلُُ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً Ï “Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi.” Yakni suatu kaum yang akan menggantikan satu kaum lainnya, kurun demi kurun, dan generasi demi generasi, sebagaimana firman-Nya: Î هُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلَئِفَ فِي اْلأَرْضِ Ï “Dia-lah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi.” (QS. Al-An’am: 165)

Juga firman-Nya: Î وَلَوْنَشَـآءُ لَجَعَلْنَا مِنكُم مَلاَئِكَةً فِـي اْلأَرْضِ يَخْلُفُـونَ Ï “Dan kalau Kami menghendaki, benar-benar Kami jadikan sebagai gantimu di muka bumi ini malaikat-malaikat yang turun temurun.” (QS. Az-Zukhruf: 60)

Yang jelas bahwa Allah tidak menghendaki Adam itu sendiri, karena jika yang dikehendaki hanya Adam, niscaya tidak tepat pertanyaan malaikat, Î أَتَجْـعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِـدُ فِيهَا وَيَسْـفِكُ الدِّمَآءَ Ï “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi ini orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah.” Artinya, para malaikat itu bermaksud bahwa di antara jenis makhluk ini terdapat orang yang akan melakukan hal tersebut. Seolah-olah para malaikat mengetahui hal itu berdasarkan ilmu khusus, atau mereka memahami dari kata “Khalifah” yaitu orang yang memutuskan perkara di antara manusia tentang kezaliman yang terjadi di tengah-tengah mereka, dan mencegah mereka dari perbuatan terlarang dan dosa. Demikian yang dikemukakan oleh al-Qurthubi. Atau mereka membandingkan manusia dengan makhluk sebelumnya.

Ucapan malaikat ini bukan sebagai penentangan terhadap Allah Ta’ala, atau kedengkian terhadap anak cucu Adam, sebagaimana yang diperkirakan oleh sebagian mufassir. Mereka ini telah disifati Allah Ta’ala sebagai makhluk yang tidak mendahului-Nya dengan ucapan, yaitu tidak menanyakan sesuatu yang tidak Dia izinkan. Di sini tatkala Allah Ta’ala telah memberitahukan kepada mereka bahwa Dia akan menciptakan makhluk di bumi, Qatadah mengatakan, “Para malaikat telah mengetahui bahwa mereka akan melakukan kerusakan di muka bumi,” maka mereka bertanya, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi ini orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah.” Pertanyaan itu hanya dimaksudkan untuk meminta pen-jelasan dan keterangan tentang hikmah yang terdapat di dalamnya. Maka untuk memberikan jawaban atas pertanyaan para malaikat itu, Allah Ta’ala berfirman, Î إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ Ï “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ke-tahui.” Artinya, Aku (Allah) mengetahui dalam penciptaan golongan ini (manusia) terdapat kemaslahatan yang lebih besar daripada kerusakan yang kalian khawatirkan, dan kalian tidak mengetahui, bahwa Aku akan menjadikan di antara mereka para nabi dan rasul yang diutus ke tengah-tengah mereka. Dan di antara mereka juga terdapat para shiddiqun, syuhada’, orang-orang shalih, orang-orang yang taat beribadah, ahli zuhud, para wali, orang-orang yang dekat kepada Allah, para ulama, orang-orang yang khusyu’, dan orang-orang yang cinta kepada-Nya, serta orang-orang yang mengikuti para rasul-Nya.

Dalam hadits shahih telah ditegaskan bahwa jika para malaikat naik menghadap Rabb dengan membawa amal hamba-hamba-Nya, maka Dia akan menanyakan kepada mereka, padahal Dia lebih tahu tentang manusia, “Dalam keadaan bagaimana kalian meninggalkan hamba-hamba-Ku?” Mereka menjawab, “Kami datang kepada manusia ketika mereka sedang mengerjakan shalat, dan kami tinggalkan dalam keadaan mengerjakan shalat pula.” Yang demikian itu karena mereka datang silih berganti mengawasi kita berkumpul dan bertemu pada waktu shalat Subuh dan shalat Ashar. Maka di antara mereka ada yang tetap tinggal mengawasi, sedang yang lain lagi naik menghadap Allah dengan membawa amal para hamba-Nya. Ucapan para malaikat, “Kami datangi mereka ketika sedang mengerjakan shalat dan kami tinggalkan mereka juga ketika dalam keadaan mengerjakan shalat,” merupakan tafsiran firman Allah Ta’ala kepada mereka, Î إِنِّى أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُـونَ Ï “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”

Ada juga pendapat yang mengatakan, hal itu merupakan jawaban atas ucapan para malaikat, yaitu firman-Nya, Î وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ Ï “Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan-Mu.” Maka Dia pun berfirman, Î إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ Ï “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Yakni mengetahui akan adanya Iblis di antara kalian, dan Iblis itu bukanlah seperti yang kalian sifatkan untuk diri kalian sendiri.

Ada juga yang berpendapat, ucapan para malaikat yang terdapat dalam firman Allah Ta’ala:

Î قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَآءَ وَنَحْـنُ نُسَبِّحُ بِحَـمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ Ï “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi ini orang yang akan membuat ke-rusakan padanya dan menumpahkan darah. Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan-Mu,” mengandung permohonan agar mereka di tempatkan di bumi sebagai pengganti Adam dan keturunannya. Maka Allah Ta’ala pun berfirman kepada mereka (para malaikat), Î إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ Ï “Sesungguh-nya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Maksudnya, tempat tinggal kalian di langit itu lebih baik dan tepat bagi kalian. demikian yang dikemukakan oleh ar-Razi. Wallahu a’lam.

Beberapa pendapat para Mufassirin

Bersumber dari Hasan al-Bashri dan Qatadah, Ibnu Jarir mengatakan, Firman Allah Î إِنِّى جَاعِلٌ فِى اْلأَرْضِ خَلِيْفَةً Ï “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Maksudnya Allah berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku akan melakukan hal itu.” Artinya, Dia memberitahukan hal itu kepada mereka.

Ibnu Jarir mengatakan, artinya, Allah Ta’ala berfirman, “Aku akan menjadikan di muka bumi seorang khalifah dari-Ku yang menjadi pengganti-Ku dalam memutuskan perkara secara adil di antara semua makhluk-Ku. Khalifah tersebut adalah Adam dan mereka yang menempati posisinya dalam ketaatan kepada Allah dan pengambilan keputusan secara adil di tengah-tengah umat manusia.”

Berkenaan dengan firman Allah Ta’ala, Î وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ Ï “Pada-hal kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan-Mu,” Abdurrazak, dari Mu’ammar, dari Qatadah, berkata: “Tasbih adalah tasbih, sedang taqdis adalah shalat.”

Ibnu Jarir mengatakan, taqdis berarti pengagungan dan penyucian. Misalnya ucapan mereka, “سُـبُّوحٌ قُدُّوسٌ artinya, سُـبُّوحٌ Allah dan قُدُّوسٌ adalah menyucikan serta pengagungan bagi-Nya. Demikian juga dikatakan untuk bumi, “أرْضٌ مُقَدَّسَةٌ” (tanah suci).”

Dengan demikian, firman-Nya, Î وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ Ï “Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu,” berarti, kami senantiasa menyucikan-Mu dan menjauhkan-Mu dari apa yang dilakukan oleh orang-orang musyrik kepada-Mu. Î وَنُقَدِّسُ لَكَ Ï “Dan kami menyucikan-Mu,” artinya, kami menisbatkan kepada-Mu sifat-sifat yang Engkau miliki, yaitu kesucian dari berbagai kenistaan dan dari apa yang dikatakan kepada-Mu oleh orang-orang kafir.

Dalam shahih Muslim diriwayatkan hadits dari Abu Dzar:

أَنَّ رَسُـولَ اللهِ e سُئِلَ، أَىُّ الْكَلاَمِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: (مَا اصْطَفَـى اللهُ لِمَلاَئِكَتِهِ: سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ)

“Bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, ‘Ucapan apa yang paling baik?’ Beliau menjawab, “Yaitu apa yang dipilih oleh Allah bagi para malaikat-Nya; ‘Maha-suci Allah, segala puji bagi-Nya.’”

Mengenai firman-Nya, Î إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ Ï “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui,” Qatadah mengatakan, “Allah sudah mengetahui bahwa di antara khalifah itu akan ada para nabi, rasul, kaum yang shalih, dan para penghuni surga.”

Al-Qurthubi dan ulama lainnya menjadikan ayat ini sebagai dalil yang menunjukkan keharusan mengangkat pemimpin untuk memutuskan perkara di tengah-tengah umat manusia, mengakhiri pertikaian mereka, menolong orang-orang teraniaya dari yang menzhalimi, menegakkan hukum, mencegah berbagai perbuatan keji, dan berbagai hal yang penting lainnya yang tidak mungkin ditegakkan kecuali dengan adanya pemimpin, dan “Sesuatu yang menjadikan suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengannya, maka sesuatu itu sendiri merupakan hal wajib pula.”

Imamah itu diperoleh melalui nash, sebagaimana yang dikatakan oleh segolongan ulama ahlus sunnah terhadap Abu Bakar. Atau melalui pengisyaratan menurut pendapat lainnya. Atau melalui penunjukkan pada akhir masa jabatan kepada orang lain, sebagaimana yang pernah dilakukan Abu Bakar ash-Shiddiq terhadap Umar bin Khatthab. Atau dengan menyerahkan permasalahannya untuk dimusyawarahkan oleh orang-orang shalih, sebagaimana yang pernah dilakukan Umar bin Khatthab. Atau dengan kesepakatan bersama ahlul halli wal ‘aqdi untuk membai’atnya, atau dengan bai’at salah seorang dari mereka kepadanya dan dengan demikian wajib diikuti oleh mayoritas anggota. Hal tersebut menurut Imam al-Haramain merupakan ijma’ (konsensus), Wallahu a’lam. Atau juga dengan memaksa seseorang menjadi pemimpin untuk selanjutnya ditaati. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi perpecahan dan perselisihan, sebagaimana dinyatakan oleh Imam Syafi’i.

Apakah harus ada saksi atas terbentuknya imamah ?

Mengenai masalah ini terdapat perbedaan pendapat. Di antara mereka ada yang menyatakan, bahwasanya hal tersebut tidak disyaratkan. Dan ada juga yang menyatakan, hal itu memang suatu keharusan dan cukup dua orang saksi saja.

Pemimpin harus seorang laki-laki, merdeka, baligh, berakal, muslim, adil, mujtahid, berilmu, sehat jasmani, memahami strategi perang dan berwawasan luas serta berasal dari suku Quraisy, menurut pendapat yang shahih. Namun tidak disyaratkan harus berasal dari keturunan al-Hasyimi dan tidak harus se-orang ma’shum (terlindungi) dari kesalahan. Hal terakhir berbeda dengan pen-dapat golongan ekstrim Rafidhah (Syi’ah).

Jika seorang imam itu telah melakukan suatu kefasikan, apakah ia harus dicopot atau tidak ?

Mengenai hal ini terdapat perbedaan pendapat, tetapi yang shahih adalah bahwa pemimpin tersebut tidak perlu dicopot. Berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam:

إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ

“Kecuali jika kalian menyaksikan kekufuran nyata sementara kalian memiliki bukti dari Allah dalam hal itu.

Apakah ia berhak mengundurkan diri ?

Terdapat pula perbedaan pendapat dalam masalah ini. Hasan bin Ali telah mengundurkan diri dan menyerahkan kepemimpinan kepada Mu’awiyah, tetapi hal itu didasarkan pada suatu alasan, dan karena tindakannya itu ia mendapatkan pujian.

Sedangkan pengangkatan dua imam (pemimpin) atau lebih di muka bumi ini (pada masa yang sama), maka yang demikian sama sekali tidak diperbolehkan. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ جَاءَ كُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيْعٌ يُرِيْدُ أَنْ يُفَرِّقَ بَيْنَكُمْ فَاقْتُلُوْهُ كَائِنًا مَنْ كَانَ

“Barangsiapa yang mendatangi kalian sedang semua urusan kalian sudah menyatu, dengan maksud akan memecah belah di antara kalian, maka bunuhlah ia, siapapun orangnya.

Yang demikian itu merupakan pendapat jumhurul (mayoritas) ulama. Ada pula yang menyatakan ijma (konsensus) sebagaimana disebutkan oleh beberapa ulama seperti Imam al-Haramain.

Sumber: Diadaptasi dari Tafsir Ibnu Katsir, penyusun Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ishak Ali As-Syeikh, penterjemah Ust. Farid Ahmad Okbah, MA, dkk. (Pustaka Imam As-Syafi’i)